cari cari ...

Wednesday, October 6, 2010

Penyusupan Intelijen di Gerakan Islam Bukan Modus Baru

TEMPO Interaktif, Jakarta - Munculnya tudingan Sofyan Tsauri sebagai intel menyusup bukan kali pertama. "Semua gerakan Islam pasti disusupi intelijen," ujar Ketua Majelis Mujahidin Indonesia Irfan Awwas kepada Tempo, Rabu (6/10). "Kalau ada gerakan Islam yang tidak disusupi intel, malah patut dicurigai."

Menurutnya, intelijen ada yang datang terang-terangan untuk memantau kegiatan mereka dan ada juga yang menyusup. Intel penyusup, dia mengatakan, "Sulit teridentifikasi, tapi bisa dirasakan."


"Intel tidak bisa dihindari karena mereka digaji negara untuk melakukan itu," kata Irfan. Hanya saja, dia menyesalkan intelijen selalu menempatkan gerakan Islam sebagai musuh negara. "Sehingga mereka bekerja dengan memprovokasi dan merusak citra Islam," kata adik dai kenamaan Abu Jibril ini.

Ustad yang pernah dipenjara 13 tahun pada 1986 karena tudingan makar ini mengatakan cara kerja Tsauri mirip intel masa Orde Baru: berawal dari adanya gerakan yang dipandang membahayakan negara, lalu membuat gerakan serupa yang lebih radikal. "Gerakan yang lama merasa terbantu karena mereka datang dengan senjata lengkap dan sifatnya lebih militan," kata Irfan.

Adanya radikalisasi membuat aparat bisa menciduk orang lain yang tidak berkaitan dengan gerakan tersebut. Contohnya, dia melanjutkan, penangkapan Pemimpin Jemaah Anshorut Tauhid dan Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Abu Bakar Ba'asyir.

"Saya lihat pelatihan teroris di Aceh (yang dipimpin Tsauri), bagian dari radikalisasi itu," ujarnya. Klaimnya didukung fakta tersebarnya gambar pelatihan kombatan di Jantho, Aceh, yang bertolak belakang dengan karakteristik gerakan bawah tanah. "Jangankan video, membuat tulisan dokumentasi saja sudah diharamkan," ujarnya.

Beberapa fakta lain memperkuat klaim itu. Dalam wawancara, Tsauri, yang mengklaim menjalin hubungan dengan Al-Qaidah dan Abu Sayyaf, beberapa kali menyebut Usamah bin Ladin. "Aneh, kalau ada kombatan yang menyebut Usamah tanpa didahului gelar 'Syekh'," kata Noor Huda Ismail, Direktur Eksekutif Yayasan Pelangi Perdamaian, lembaga yang berfokus mengembalikan mantan terpidana terorisme di tengah masyarakat.

Sebab, semua mantan teroris yang pernah dia temui selalu menyebut "Syekh Usamah". "Syekh adalah gelar kehormatan, setara dengan 'mbah' dalam Bahasa Jawa," kata alumnus Pondok Pesantren Ngruki ini.

Kejanggalan lain adalah penampilan istri kedua Tsauri, Inong. Perempuan asal Aceh ini mengenakan setelan jilbab kuning, lengkap dengan sederet gelang dan cincin emas, saat menghadiri sidang suaminya di Pengadilan Negeri Depok.

Menurut Noor Huda, hampir semua istri kombatan mengenakan cadar saban keluar rumah. "Terlebih mereka menganggap memperlihatkan emas itu tidak baik," katanya. www.tempointeraktif.com

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More