cari cari ...

Showing posts with label kekhilafahan. Show all posts
Showing posts with label kekhilafahan. Show all posts

Friday, December 3, 2010

Hijrah dari Kapitalisme Menuju Islam

Tak lama lagi tahun 1431 H akan berakhir. Tahun baru Islam 1432 H pun telah di ambang mata. Ada sejarah yang sarat makna tentang hijrah dan tahun baru Islam.

Alkisah ketika daerah kekuasaan Islam terus meluas dari Mesir sampai Persia pada masa pemerintahan khlifah Umar ibn Khattab (634-644 M), tersebutlah seorang Gubernur Irak Abu Musa al-Asy'ari berkirim surat pada Khalifah Umar ibn Khattab sekitar tahun 638 M.
Di dalam suratnya Gubernur Irak ini menyatakan, "Surat-surat kita memiliki tanggal dan bulan namun tidak memiliki angka tahun. Sudah saatnya umat Islam memiliki penanggalan sendiri dalam perhitungan tahun".
Khilafah Umar pun menyetujui usulan Gubernur Irak tadi. Maka untuk merealisasikannya dibentuklah satu panitia khusus yang diketuai langsung oleh Khlifah Umar dan beranggotakan sahabat Rasulullah di antaranya Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Talib, Abdurrahman ibn Auf, Sa`ad ibn Abi Waqqas, Talhah ibn Ubaidillah, dan Zubair ibn Awwam.
Mereka pun bermusyawarah untuk menentukan awal perhitungan kalender Islam. Banyak usulan cerdas yang muncul. Ada yang mengusulkan agar menjadikan kelahiran Nabi sebagai patokan perhitungan dan ada pula yang mengusulkan tahun turunnya wahyu pertama sebagai awal perhitungan tahun.
Namun dari semua usulan, yang diterima adalah usulan Ali ibn Abi Thalib yang mengusulkan momentum hijrahnya kaum Muslimin bersama Rasulullah dari Mekkah menuju Madinah dijadikan tonggak awal perhitungan tahun Islam.
Ada tiga argumentasi cerdas yang diungkapkan oleh Syaidina Ali hingga mampu meyakinkan Sahabat yang lain untuk menjadikan momentum hijrah sebagai awal perhitungan tahun.
Pertama, dalam Al Quran banyak sekali pujian Allah kepada orang-orang yang berhijrah. Pujian ini memang wajar diberikan kepada mereka.
Hijrah Rasulullah adalah momentum untuk menguji dan melihat kadar keikhlasan serta pengorbanan kaum Muslimin. Banyak kaum Muslimin yang memilih meinggalkan harta, keluarga dan kenikmatan dunia lainnya kemudian mengikuti langkah Rasulullah untuk berhijrah menuju Madinah.
Mereka yakin tanpa sedikit pun keraguan, bahwa hijrah adalah perintah Allah yang wajib dilaksanakan, walaupun dengan itu mereka harus menuai penderitaan.
Di sinilah ajang seleksi yang mampu membedakan individu Muslim yang betul-betul memiliki kualitas keimanan yang teguh dan individu Muslim yang lebih mencintai dunia daripada Allah dan Rasul-Nya. Bagi mereka yang berhijrah kenikmatan dunia dirasakan begitu kecil dibanding kenikamatan surga yang akan mereka dapatkan kelak di yaumil akhir sebagai imbalan atas ketaatan mereka menjalankan syariat Allah.
               Mandiri-Berdaulat
 Kedua, peristiwa hijrah Rasulullah adalah momentum awal terbentuknya masyarakat Islam yang mandiri dan berdaulat. Setelah Rasulullah berdakwah sekitar 13 tahun di Mekah ternyata perkembangannya tidak terlalu signifikan. Bahkan penolakan dan perlawanan sampai penyiksaan tak jarang dialami oleh Rasulullah dan para Sahabat yang tetap teguh mempertahankan akidahnya.
Namun kondisi ini justru berbalik ketika Rasulullah hijrah ke Madinah dan melanjutkan perjuangan dakwahnya. Berkat pertolongan Allah dan kegigihan pejuangan Rasulullah dengan dibantu para sahabat pilihan, dakwah Islam di Madinah berkembang dengan sangat pesat.
Dalam hal ini para ulama dan ahli sejarah Islam telah sepakat bahwa setelah hijrah Rasulullah Madinah yang awalnya adalah hanya kota biasa berubah menjadi sebuah negara Islam. Bahkan menurut Robert N Bellah-seorang cendikiawan barat- negara yang didirikan oleh Rasulullah di Madinah terlalu modern untuk ukuran zamannya.
Dan pada saat itu Rasulullah sendiri yang menjadi kepala negaranya. Negara inilah yang nantinya  mempersatukan dua pertiga belahan dunia dan mampu tetap eksis berdiri selama 1300 tahun.
Ketiga, alasan Syaidina Ali ibn Abi Thalib menjadikan momentum hijrah sebagai awal penanggalan Islam adalah agar semangat hijrah Rasulullah dapat dikenang sekaigus menjadi spirit perjuangan untuk seluruh kaum Muslimin sepanjang masa. Namun sayang harapan Syaidina Ali tampaknya belum terwujud sempurna untuk saat ini.
Sebenarnya kondisi umat Islam kekinian tak ada bedanya dengan kondisi umat Islam pada masa jahiliah dulu. Dalam sistem ekonomi misalnya. Pilar penting yang menopang sistem ekonomi jahiliah dulu adalah riba, kecurangan, bahkan menghalakan segala cara untuk memperoleh keuntungan.
Fenomena tersebut kembali terulang saat ini. Riba menjadi pilar penting ekonomi kapitalisme yang ironisnya diadopsi oleh sebagian besar negeri kaum Muslimin termasuk Indonesia. Tampat-tempat riba dibiarkan untuk tumbuh subur, sementara ekonomi berbasis syariah ditinggalkan.
                            Hak Prerogatif
Dalam aspek sosial budaya, pola kehidupan sekarang sama bahkan dalam beberapa kasus lebih rusak dibanding masa jahiliah dulu. Kalau pada masa jahiliah dulu keluarga-keluarga Arab membunuh anak perempuan karena dianggap sebagai aib keluarga yang memalukan, namun saat ini lebih tragis lagi.
Bayi-bayi kecil tak berdosa tanpa pandang bulu, laki-laki atau permpuan dibunuh jika kelahirannya tidak diinginkan. Bahkan yang lebih keji ketika janin belum diketahui jenis kelaminnya sudah dibunuh atas nama aborsi.
Dari berbagai data resmi yang dilaporkan ternyata dalam kurun waktu satu tahun terdapat seiktar 2,6 juta kasus aborsi. Artinya dalam setiap jam ada 300 tindakan pengguguran janin. Dari jumlah itu 700 ribu di antaranya dilakukan oleh remaja yang berusia di bawah 20 tahun.
Kehidupan politik pun tidak lebih baik. Pada masa jahiliah kedaulatan pembuatan hukum ada ditangan para pemuka masyarakat dan elit politik pada masanya. Manusia yang serba terbatas diberikan hak prerogatif untuk memutuskan benar atau salahnya suatu perkara kehidupan. Persis sama dengan fakta saat ini.
Atas nama demokrasi manusia dijadikan sebagai pembuat hukum dengan meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Walapun dalam praktiknya yang mengambil keputusan bukanlah rakyat namun elit politik yang didukung oleh para korporat sang pemilik modal. Hukum manusia dianggap lebih layak untuk diterapkan daripada hukum yang bersumber dari Allah SWT sebagai  satu-satunya Dzat yang berhak mebuat hukum.
Inilah realitas kesempitan hidup yang sementara melilit kaum muslimin, sebagai konsekuensi logis yang harus ditanggung karena kaum muslimin lebih memilih hidup berkubang dengan sistem jahiliah daripada sistem Islam.
Maka tidak ada solusi lain ketika kaum Muslimin ingin kembali hidup mulia dan mensejahterakan dunia (seperti apa yang dilakukan oleh Rasulullah dan para khalifah setelahnya) kecuali menjadikan momentum tahun baru hijrah kali ini untuk beralih dari aturan jahilyah yang rusak dan menyengsarakan menuju syariat Islam yang suci lagi mensejahterakan. Yakinlah hanya Islam yang mampu menjadi solusi tuntas atas problematika hidup yang semakin mencekik saat ini.
Dan perlu diingat sistem Islam tak akan bisa diterapkan secara kaffah tanpa kekuasaan suatu negara. Islam pun telah memberikan jawaban untuk sistem ketatanegaraan terbaik berbasis syariah. Daulah khilafah islamiyah, itulah sistem negara yang disyariatkan oleh Islam. Maka tunggu apalagi saatnya berhijrah dari sistem jahiliah menuju sistem Islam. Tegakkan syariah dan khilafah, itu solusinya.

Thursday, November 18, 2010

Apakah Khilafah Islamiyyah Hanya Berumur 30 Tahun dan Selebihnya Kerajaan?

Sebagian kaum muslim ada yang berpendapat bahwa masa kekhilafahan hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Mereka mengetengahkan hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan ulama-ulama lainnya.


Rasulullah saw bersabda, "Setelah aku, khilafah yang ada pada umatku hanya berumur 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan." [HR. Imam Ahmad, Tirmidziy, dan Abu Ya'la dengan isnad hasan]

"Khilafah itu hanya berumur 30 tahun dan setelah itu adalah raja-raja, sedangkan para khalifah dan raja-raja berjumlah 12." [HR.. Ibnu Hibban]

" Sesungguhnya awal adari agama ini adalah nubuwwah dan rahmat, setelah itu akan tiba masa khilafah dan rahmat, setelah itu akan datang masa raja-raja dan para diktator. Keduanya akan membuat kerusakan di tengah-tengah umat. Mereka telah menghalalkan sutr, khamer, dan kefasidan. Mereka selalu mendapatkan pertolongan dalam mengerjakan hal-hal tersebu; mereka juga mendapatkan rejeki selama-selamanya, sampai menghadap kepada Allah swt." [HR. Abu Ya'la dan Al-Bazar dengan isnad hasan]

Hadits-hadits inilah yang dijadikan dalil bahwa masa kekhilafahan itu hanya 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Lebih dari itu, mereka juga menyatakan bahwa perjuangan menegakkan khilafah Islamiyyah hanyalah perjuangan kosong dan khayalan. Sebab, Rasulullah saw telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa masa kekhilafahan itu hanya berumur 30 tahun. Walhasil, kekhilafahan tidak mungkin berdiri meskipun diperjuangkan oleh gerakan-gerakan Islam. Kalau pun pemerintahan Islam berdiri bentuknya tidak khilafah akan tetapi kerajaan.

Lalu, apakah benar bahwa hadits-hadits di atas dalalahnya menunjukkan bahwa umur khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan?

Untuk menjawab pendapat-pendapat ini kita harus menjelaskan satu persatu maksud dari hadits-hadits di atas.

Hadits Pertama

Kata khilafah yang tercantum dalam hadits pertama maknanya adalah khilafah nubuwwah, bukan khilafah secara mutlak.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bariy berkata, "Yang dimaksud dengan khilafah pada hadits ini adalah khilafah al-Nubuwwah (khilafah yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu'awiyyah dan khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. Akan tetapi mereka tetap dinamakan sebagai khalifah." Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud, "Khilafah Nubuwwah itu berumur 30 tahun" [HR. Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud no.4646, 4647]

Yang dimaksud khilafah Nubuwwah di sini adalah empat khulafaur Rasyidin; Abu Bakar, Umar , Utsman, dan Ali Bin Thalib. Mereka adalah para khalifah yang menjalankan roda pemerintahan seperti Rasulullah saw. Mereka tidak hanya berkedudukan sebagai penguasa, akan tetapi secara langsung benar-benar seperti Rasulullah saw dalam mengatur urusan pemerintahan. Sedangkan kebanyakan khalifah-khalifah dari dinasti Umayyah, Abbasiyyah dan Utsmaniyyah banyak yang tidak menjalankan roda pemerintahan seperti halnya Rasulullah saw, namun demikian mereka tetap disebut sebagai amirul mukminin atau khalifah.

Ada diantara mereka yang dikategorikan sebagai khulafaur rasyidin, yakni Umar bin Abdul Aziz yang dibaiat pada bulan Shafar tahun 99 H. Diantara mereka yang menjalankan roda pemerintahan hampir-hampir dekat dengan apa yang dilakukan oleh Nabi saw, misalnya Al-Dzahir bi Amrillah yang dibaiat pada tahun 622 H. Ibnu Atsir menuturkan, Ketika Al-Dzahir diangkat menjadi khalifah, keadilan dan kebaikan telah tampak di mana-mana seperti pada masa khalifah dua Umar (Umar bin Khaththab dan Ibnu Umar). Seandainya dikatakan, "Dirinya tidak ubahnya dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz, maka ini adalah perkataan yang baik."

Para khalifah pada masa-masa berikutnya meskipun tak ubahnya seorang raja, akan tetapi mereka tetap menjalankan roda pemerintahan berdasarkan sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah Islamiyyah. Mereka tidak pernah menggunakan sistem kerajaan, kesultanan maupun sistem lainnyan. Walaupun kaum muslim berada pada masa-masa kemunduran dan keterpurukan, namun mereka tetap menjalankan roda pemerintahan dalam koridor sistem kekhilafahan bukan dengan sistem pemerintahan yang lain. Walhasil, tidak benar jika dinyatakan bahwa umur khilafah Islamiyyah itu hanya 30 tahun. Yang benar adalah, sistem kekhilafahan tetap ditegakkan oleh penguasa-penguasa Islam hingga tahun 1924 M.

Hadits Kedua & Ketiga

Kata "al-muluuk"(raja-raja) dalam hadits di atas bermakna adalah, "Sebagian tingkah laku dari para khalifah itu tidak ubahnya dengan raja-raja". Hadits di atas sama sekali tidak memberikan arti bahwa mereka adalah raja secara mutlak, akan tetapi hanya menunjukkan bahwa para khalifah itu dalam hal-hal tertentu bertingkah laku seperti seorang raja. Fakta sejarah telah menunjukkan pengertian semacam ini. Sebab, para khalifah dinasti Abbasiyyah, Umayyah, dan Utsmaniyyah tidak pernah berusaha menghancurkan sistem kekhilafahan, atau menggantinya dengan sistem kerajaan. Mereka tetap berpegang teguh dengan sistem kekhilafahan, meskipun sebagian perilaku mereka seperti seorang raja.

Meskipun kebanyakan khalifah pada masa dinasti Abbasiyyah, Umayyah, dan Utsmaniyyah ditunjuk selagi khalifah sebelumnya masih hidup dan memerintah, akan tetapi proses pengangkatan sang khalifah tetap dilakukan dengan cara baiat oleh seluruh kaum muslim; bukan dengan putra mahkota (wilayat al-ahdi).

Makna yang ditunjuk oleh frasa “dan setelah itu adalah raja-raja" adalah makna bahasa, bukan makna istilah. Dengan kata lain, arti dari frasa tersebut adalah raja dan sultan" bukan sistem kerajaan dan kesultanan. Atas dasar itu, dalam hadits-hadits yang lain dinyatakan bahwa mereka adalah seorang penguasa (khalifah) yang memerintah kaum muslim dengan sistem khilafah. Dituturkan oleh Ibnu Hibban, Rasulullah saw bersabda,

"Setelah aku akan ada para khalifah yang berbuat sebagaimana yang mereka ketahui dan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan kepada mereka. Setelah mereka berlalu, akan ada para khalifah yang berbuat tidak atas dasar apa yang diketahuinya dan mengerjakan sesuatu tidak atas apa yang diperintahkan kepada mereka. Siapa saja yang ingkar maka ia terbebas dari dosa, dan barangsiapa berlepas diri maka ia akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridlo dan mengikuti mereka maka ia berdosa."

Penjelasan di atas sudah cukup untuk menggugurkan pendapat yang menyatakan bahwa sistem khilafah Islamiyyah hanya berumur 30 tahun dan selebihnya adalah kerajaan. Hadits-hadits yang mereka ketengahkan sama sekali tidak menunjukkan makna tersebut. Sistem khilafah Islamiyyah tetap berlangsung dan terus dipertahankan di sepanjang sejarah Islam, hingga tahun 1924 M. Meskipun sebagian besar khalifah dinasti Abbasiyyah, Umayyah, dan Utsmaniyyah bertingkah laku tak ubahnya seorang raja, namun mereka tetap konsisten dengan sistem pemerintahan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw, yakni khilafah Islamiyyah.

Tugas kita sekarang adalah berjuang untuk menegakkan kembali khilafah Islamiyyah sesuai dengan manhaj Rasulullah saw. Sebab, tertegaknya khilafah merupakan prasyarat bagi tersempurnanya agama Islam. Tidak ada Islam tanpa syariah, dan tidak ada syariah tanpa khilafah Islamiyyah. syabab.com

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More