cari cari ...

Tuesday, October 26, 2010

Politik Machiavelli ala Dewan Rakyat



Ada dua cara berkelahi kata Machiavelli. Pertama dengan menggunakan hukum dan kedua dengan kekuatan. Pilihan pertama, tutur penulis buku The Prince ini, adalah cara manusia. Sedangkan opsi kedua, menjadi gaya binatang. Satu hal jelas, jika ingin memenangkan pertarungan, maka orang harus berani dengan dua metode itu.

Machiavelli, pemikir politik era renaisance ini juga memberikan ilustrasi menarik, seputar praktek politik harus menang dan harus unggul. Menurutnya, para penguasa harus sanggup menjadi Singa dan Rubah sekaligus. Menjadi Singa perlu karena si penguasa harus tampil kuat dan menakutkan. Tetapi, itu saja tak cukup. Sebab, di lain konteks, para penguasa harus licik dan culas sebagaimana Rubah. Machiavelli akhirnya merumuskan: Singa memang kuat tetapi tak mampu mengendus jebakan sebagaimana Rubah.

Lanskap pemikiran dari Machiavelli "yang masyhur dengan prinsip politik anti moralitas itu" seolah cocok untuk menggambarkan rangkaian kontroversi yang datang dari parlemen kita, yaitu DPR RI. Terkadang, mereka (DPR) tampil galak dan kuat bak Singa terluka. Semisal dalam pengusutan skandal Bank Century. Tetapi, di saat lain, begitu lihai seperti Rubah, ketika membuat argumentasi dan usulan meskipun diserang kanan kiri. Seolah tak pernah lelah, para wakil rakyat di Senayan melempar kontroversi. Mulai dari Dana Aspirasi, Gedung Baru, hingga yang terhangat yaitu plesiran ke luar negeri (dengan cap keren studi banding).

Tak berlebihan bila akhirnya berbagai julukan tersemat kepada Anggota Dewan Tehormat. Mulai yang bersikap sinis hingga antipati datang tak henti. Lihat saja cara media membuat penjudulan terhadap DPR, yang padat dengan istilah-istilah
berikut: rakus, korup, tak berperasaan, tidak punya hati nurani, sampai sebutan tak bermoral. Adakah semua ini membuat DPR gentar? Tidak juga. Apa pasal?

Pertama, secara konkret, DPR memang memiliki posisi politik begitu kokoh. Konstitusi kita memberikan struktur politik yang "melindungi" DPR secara legal, sehingga DPR hari ini adalah lembaga Super Body, dan pendulum kekuasaan berat ke arah mereka, alias Parliament Heavy. Alih-alih mendengar jeritan rakyat, DPR malah sibuk memperbesar keuntungan mereka, sehingga berlahiran politik anggaran yang selalu berangka besar.

Meski digempur kanan-kiri, mereka tak akan surut, karena tahu persis bahwa pengambil keputusan terakhir, yaitu pemerintah, pasti akan selalu menyetujui plafon anggaran dari DPR (entah untuk studi banding atau untuk urusan apa pun).

Kedua, telah lama lahir psikologi politik "aji mungpung" di kalangan anggota dewan. Bahwa proses politik di DPR tak ada kaitannya dengan pemilu. Para politisi Senayan berhitung dengan pasti, bahwa percuma mereka produktif atau bersikap idealis, toh, ketika pemilu berlangsung, rakyat tak lagi ingat siapa yang pernah berjasa di Gedung DPR.

Rakyat juga akhirnya hanya memilih yang punya uang dan mencontreng partai dengan kekuatan kampanye maha dahsyat. Filsafat politik sedemikian, secara pragmatis memang penuh dengan bukti nyata. Misalnya saja, nasib yang terjadi terhadap politisi "idealis" di periode lalu, seperti yang terjadi terhadap Ferry Mursyidan Baldan atau pun Yudi Chrisyandi, mereka perlaya begitu saja? Meskipun sanggup bersikap tegas melawan selera politik saat itu.

Ketiga, apa pun bentuk banjir kontroversi dari rakyat (misalnya kritik pedas dan gugatan keras), selalu bersih tak berbekas. Rakyat seolah hanya menjadi corong kemarahan yang kosong kekuatan. Hingga hari ini, pola gugatan dan sikap oposisi rakyat nyaris berbentuk selebrasi, pesta sesaat, dan menghilang tanpa hasil. Tak pernah lahir gugatan sistematis yang berjangka panjang. Walhasil, anjing menggonggong, kafilah berlalu.

Keempat, begitu juga dengan publikasi media massa. Media memang sangat kritis dan terlihat oposan (apa pun kebijakan DPR, selalu mereka serang bertubi-tubi). Namun, "seperti menanak nasi kemarin sore" yang cepat basi dan tak bergizi. Malah hanya membuat sakit perut!

Tekanan eksposure pemberitaan dari media massa, akhirnya juga jatuh sebagai tontonan politik sesaat. Sudah pasti, para politisi DPR juga cerdik bermain. Mereka percaya bahwa sekeras apa pun kritik media, hanya akan menjadi political showbiz belaka.

Bila faktanya sedemikian, mau tak mau harus ada yang berubah dari pola "perlawanan rakyat". Mengulang-ulang pola yang sama, yaitu mengumbar kemarahan sesaat, mencaci di media massa, dan memberikan julukan-julukan pedas, hanyalah memperlihatkan sikap frustasi publik. Harap ingat, mendambakan perubahan dengan melakukan pengulangan cara yang sama adalah kegilaan (ini menurut Einstein). Artinya, butuh perubahan mendasar sesegera mungkin.

Maknanya menjadi terang benderang. Bahwa, kejengkelan publik ini harus dikelola. Setidaknya ada beberapa skenario.

Saat ini telah terjadi pembangkangan sipil (civil disobedience) terhadap DPR, sekaligus lahir blok oposisi yang tegas dari rakyat, adalah modalitas utama yang harus didesain cerdas. Sudah saatnya blok politik rakyat ini diberikan spirit baru dengan metode baru. Spirit itu adalah kampanye sistematis dan terus menerus bahwa rakyat saat ini mengambil posisi oposan atau kalau perlu menjadi musuh (enemy) bagi DPR.

Sementara metode yang digulirkan adalah dengan melakukan riset, kajian mendalam, dan menggali setiap detil informasi yang memperlihatkan cacat bawaan dari parlemen kita. Pilihan ini tak bisa berjalan sesaat, melainkan butuh nafas panjang dari waktu ke waktu. Blok politik rakyat ini pun harus sinergi dengan kekuatan sipil lainnya. Mulai dari pers, LSM, lembaga riset, kampus, mahasiswa, buruh, tani, dan kekuatan politik lain di masyarakat.

Syarat penting dari semua itu adalah dengan merebut medan opini dan perang wacana atas DPR RI. Selama ini, pola yang berlangsung adalah rakyat menjadi penanggap kagetan. Terkejut dan marah, lalu diam kecapekan. Posisi ini menunjukkan bahwa rakyat didikte, berada dalam objek permainan parlemen. Padahal sejatinya justru rakyat yang melempar opini, mengusung gagasan, dan memperjuangkan gugatan. Untuk itu, peluru tersedia banyak --yang bersumber dari kinerja miskin dari DPR.

Sayangnya, hingga hari ini kita tak pernah mendengar ada clash action yang diusung rakyat terhadap DPR. Publik hingga hari ini kekurangan referensi untuk melawan DPR secara sistematis. Inilah masalah sebenarnya. Publik, dari hari ke hari, hanya menari di atas gendang yang dimainkan DPR RI. Menyedihkan? detik.com

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More