Barat Berupaya Melepaskan Mesir Dari Khilafah (Bagian 2)
Tatkala Mesir 
sudah berada dalam naungan Khilafah, kehidupan masyarakatnya berada 
dalam kesejahteraan dan kemakmuran. Seluruh kebutuhan hajat hidup 
masyarakatnya terjamin oleh Negara. Mesir benar-benar dalam masa 
keemasannya.
Mesir menjadi salah satu negara kunci 
untuk masuk dan menguasai negara-negara di kawasan Timur Tengah dan 
Afrika. Ini karena negeri dengan luas wilayah sekitar 997.739 km² ini 
mencakup Semenanjung Sinai (dianggap sebagai bagian dari Asia Barat 
Daya). Adapun sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika Utara.
Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah
 barat, Sudan di selatan, Jalur Gaza dan Israel di utara-timur. 
Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara 
dan Laut Merah di timur.
Di bawah Khilafah,  Terusan Suez dilalui
 oleh arus 5% minyak dunia dan dianggap sebagai titik sumbatan. Mesir 
bisa mengenakan biaya kargo dan melakukan penyulingan minyak mentah yang
 melewati pelabuhan-pelabuhannya, yang akan menghasilkan miliaran dolar 
bagi negara. Mesir pada hari ini memiliki 9 kilang minyak yang 
memproduksi 710.000 barel minyak mentah perhari, yang bisa meningkat 
secara signifikan.
Perut bumi Mesir pun mengandung barang 
tambang berupa minyak bumi, fosfat, bijih besi dan mangan. Minyak bumi 
terdapat di daerah pantai timur Teluk Suez. Fosfat di daerah pantai 
barat Laut Merah. Bijih besi di tambang di sebelah timur Kota Aswan. 
Mangan di Semenanjung Sinai.
Kondisi geopolitik yang strategis inilah
 yang menyebabkan AS, Inggris dan sekutunya berusaha sekuat tenaga untuk
 mengoyak-ngoyak Mesir dan melepaskannya dari Kekhilafahan.
George Rich, saat membagi ilmunya kepada
 John Perkins, menuturkan  bahwa Mesir selain punya posisi strategis 
untuk memainkan peran penting di dunia arab, juga mempunyai dampak 
strategis di kawasan Afrika. “Negeri ini merupakan jembatan  baik dari 
sudut pandang geografi, sosial, ekonomi, dan etnik; dan tentu saja 
agama. Pergilah ke Mesir. Gunakan negeri itu sebagai daerah transit 
untuk menaklukkan Timur Tengah dan juga daerah transit untuk Afrika,” 
begitu petuah George Rich kepada kader mudanya John Perkins. 1
Dari sinilah upaya aneksasi dan 
imperialisasi Mesir mulai dirancang dan dicanangkan secara rapi dan 
tersistem. Imperialisme mulai merambah Mesir tatkala Prancis, melalui 
Napoleon Bonaparte, mulai menjejaki tanah Mesir. Prancis selanjutnya 
sedikit demi sedikit berusaha menancapkan pengaruhnya di tanah tersebut.
 Usaha yang terlihat nyata adalah tatkala Prancis menempatkan Muhammad 
‘Ali Pasya untuk memegang tampuk pemerintahan di negeri tersebut. 
Muhammad ‘Ali Pasya (1805-1917) kemudian direkayasa oleh Prancis 
seolah-olah sebagai orang yang sangat berjasa bagi kemajuan Mesir. Dia 
diopinikan sebagai pembaru yang membawa kemajuan Mesir dari kegelapan 
yang ditimbulkan oleh Islam. Tahun 1840, Muhammad ‘Ali Pasha diasingkan 
oleh Sultan Utsmani atas desakan Prancis.
Muhammad ‘Ali mempunyal andil yang 
sangat besar bagi kemerosotan Islam. Dia menelorkan program ‘pencucian 
otak’ dengan dalih ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat ke Dunia 
Islam melalul Mesir. Untuk merealisasikan program tersebut, ia mengirim 
mahasiswa Mesir untuk belajar ke Prancis. Setelah kembali ke Mesir, 
tentu dengan berbagai ragam dan corak pemikirannya, mereka menjadi guru 
di berbagai universitas. Yang lebih parah, para lulusan tersebut 
ditempatkan terutama di Universitas al-Azhar, tempat ribuan mahasiswa 
dan berbagai negara Islam menimba ilmu pengetahuan. Dengan demikian, 
penyebaran ide-ide sesat dari Barat menjadi efektif dan efisien; bukan 
hanya di Mesir saja, namun lebih jauh dari itu. Ide-ide sesat itu 
menyebar ke berbagai negeri Islam.
Pada masa selanjutnya, Prancis mulai 
meniupkan ‘gagasan-gagasan besar dan revolusioner’ kepada para pemikir 
dan pemimpin umat Islam di Mesir, yaitu ide nasionalisme dan 
patriotisme. Patriotisme Mesir dipelopori oleh at-Tahtawi (1801-1873) 
yang berpendirian bahwa Mesir dan negara lain baru bisa maju bila berada
 di bawah penguasa sendiri, bukan di bawah tangan orang asing. 
Maksudnya, Mesir, yang selama ini di bawah perlindungan Kekhilafahan 
slamiyah—oleh Prancis melalui kaki tangannya—harus segera melepaskan 
diri agar cepat maju dan berkembang. Adapun asionalisme Mesir dipelopori
 oleh Mustafa Kamil (1874) yang mendirikan Hizb al-Wathan 
untuk—seolah-olah—memperjuangkan kemerdekaan Mesir dari kekuasaan 
Prancis. Dari Mesir inilah lahir ide nasionalisme Arab yang dipelopori 
oleh Gamal Abdul Nasser.
Imperialisme Prancis semakin tak 
terbendung tatkala dia berhasil ikut campur tangan dalam pemerintahan 
Mesir pada tahun 1882 walaupun secara de facto tetap tunduk 
pada Kekhilafahan Utsmani hingga tahun 1914. Atas desakan dan rekayasa 
Prancis, antara 1914-1922 Mesir menjadi protektorat Prancis. Mesir 
mendapatkan kemerdekaan dari Prancis tahun 1922. Negara ini mengambil 
bentuk pemerintahan monarki konstitusional.
Untuk semakin menancapkan pengaruhnya, Prancis melalui Napoleon menerbitkan majalah Le Courtier d’Egypte dan La Degade Egyptienne sebagai
 media publikasi ide-ide mereka yang berkedok majalah yang memberitakan 
perkembangan ilmu pengetahuan. Muhammad ‘Ali sendiri menerbitkan surat 
kabar aI-Waqâ’i al-Misriyah (Peristiwa-peristiwa Mesir). Media 
tesebut menjadi alat propaganda untuk menjelek-jelekkan Islam dan 
mengagung-agungkan imperialisme Prancis.
Serentetan rezim sekular selanjutnya 
silih berganti menguasai Mesir. Sesudah Muhammad ‘Ali Pasha, Mesir 
diperintah oleh Abbas I (1848- 1854) dan Abbas II (1854-1863). Pemimpin 
selanjutnya adalah Khedive Ismail (1863-1879). Ia memperbaiki kembali 
kehidupan sosial politik di Mesir. Pada pemerintahan Ismail inilah 
intervensi Inggris semakin tajam dan mengakar hingga Terusan Suez mampu 
dikuasai oleh Inggris.
Penguasaan Terusan Suez berawal dari 
upaya mencegah kebangkrutan Negara. Ismail menjual Terusan Suez. Karena 
pembeli saham tersebut adalah Inggris (1875), sejak itu Inggris mulai 
mendapatkan kesempatan untuk melakukan intervensi terhadap 
masalah-masalah dalam negeri Mesir.
Uang yang diperoleh dari penjualan 
saham-saham itu ternyata tidak mampu menutupi kekurangan kas negeri 
Mesir. Pada tahun berikutnya (1876) Khedive Ismail menghadapi 
kebangkrutan lagi. Kemudian ia mengajukan permintaan pinjaman kepada 
Prancis dan Inggris. Sebagai jawaban atas permintaan tersebut, 
pemerintah Inggris mengirimkan Stephen Cave untuk meneliti hal-hal yang 
berhubungan dengan keuangan Mesir. Hasil laporan itu menerangkan bahwa 
kemakmuran daerah itu dapat diharapkan tetapi untuk mendapatkannya 
diperlukan metode-metode pengelolaan keuangan yang lebih teliti dan 
rapi. Akibat penyelidikan tersebut, dibentuklah suatu panitia terdiri 
atas negara-negara Eropa yang bertujuan untuk mengurusi kemakmuran 
Mesir. Efeknya, seperdua penghasilan negara berada di bawah pengawasan 
panitia internasional yang biasa disebut Comite pour la Caisse de la 
Dette Publique (1876). Panitia ini beranggotakan Inggris, Austria, 
Italia, Prancis dan Jerman.22
Ragam pembaruan diadakan baik di bidang 
politik maupun keuangan. Mesir dijadikan kerajaan konstitusional dengan 
seorang Inggris, Wilson, sebagai menteri keuangan, dan seorang Prancis, 
de Blignieres, sebagai menteri pekerjaan umum. Dengan demikian, masalah 
keuanganlah yang membuka jalan bagi masuknya imperialisme Barat ke 
Mesir.
Ismail lalu digantikan oleh anaknya, 
Taufiq. Pemerintahan Taufiq bisa dikatakan sangat dekat dengan Inggris. 
Oleh sebab itu, terjadilah peristiwa penting, yaitu revolusi yang 
dipimpin oleh Ahmad Orabi yang berkeinginan memberikan ‘tausiah’ kepada 
Taufiq agar jangan menjadi kaki tangan Prancis. Karena situasi yang 
terjadi pada waktu revolusi tersebut sangat tidak menguntungkan Prancis,
 Inggris menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan agresi 
militernya. Akhirnya, Inggris berhasil menduduki Kairo 14 Desember 1882.
Seusai Perang Dunia I, pada November 
1918, di Mesir muncul pemimpin yang bernama Saad-Zaghlul. Ia berusaha 
menuntut kemerdekaan dari Inggris. Lalu Inggris menangkap dan 
mengasingkan dia. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat Mesir. Akibatnya,
 pada 9 Maret 1919 terjadilah tuntutan besar menentang Inggris di Kairo 
dan seluruh penjuru Mesir yang menyebabkan Inggris mengubah pola 
politiknya dan membebaskan Saad-ZagLul. []
Catatan kaki:
1        http://www.theglobal-review.com/content_detail.php? lang=id&id=12502&type=4#.VLtTSSuUe-A
2        
https://andreaslantik.wordpress.com/2013/11/02/kejatuhan-mesir-ke-dalam-pengaruh-imperialisme-inggrisperancis-hingga-kebangkitan-nasionalisme
http://hizbut-tahrir.or.id/2015/02/05/barat-berupaya-melepaskan-mesir-dari-khilafah-bagian-2/ 


 
 10:18 PM
10:18 PM
 admin
admin
 
 Posted in:
 Posted in:   







 
0 comments:
Post a Comment