cari cari ...

Monday, February 9, 2015

Barat Berupaya Melepaskan Mesir Dari Khilafah (Bagian 2)

Barat Berupaya Melepaskan Mesir Dari Khilafah (Bagian 2)

Tatkala Mesir sudah berada dalam naungan Khilafah, kehidupan masyarakatnya berada dalam kesejahteraan dan kemakmuran. Seluruh kebutuhan hajat hidup masyarakatnya terjamin oleh Negara. Mesir benar-benar dalam masa keemasannya.

Mesir menjadi salah satu negara kunci untuk masuk dan menguasai negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Ini karena negeri dengan luas wilayah sekitar 997.739 km² ini mencakup Semenanjung Sinai (dianggap sebagai bagian dari Asia Barat Daya). Adapun sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika Utara.

Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah barat, Sudan di selatan, Jalur Gaza dan Israel di utara-timur. Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara dan Laut Merah di timur.

Di bawah Khilafah,  Terusan Suez dilalui oleh arus 5% minyak dunia dan dianggap sebagai titik sumbatan. Mesir bisa mengenakan biaya kargo dan melakukan penyulingan minyak mentah yang melewati pelabuhan-pelabuhannya, yang akan menghasilkan miliaran dolar bagi negara. Mesir pada hari ini memiliki 9 kilang minyak yang memproduksi 710.000 barel minyak mentah perhari, yang bisa meningkat secara signifikan.
Perut bumi Mesir pun mengandung barang tambang berupa minyak bumi, fosfat, bijih besi dan mangan. Minyak bumi terdapat di daerah pantai timur Teluk Suez. Fosfat di daerah pantai barat Laut Merah. Bijih besi di tambang di sebelah timur Kota Aswan. Mangan di Semenanjung Sinai.

Kondisi geopolitik yang strategis inilah yang menyebabkan AS, Inggris dan sekutunya berusaha sekuat tenaga untuk mengoyak-ngoyak Mesir dan melepaskannya dari Kekhilafahan.

George Rich, saat membagi ilmunya kepada John Perkins, menuturkan  bahwa Mesir selain punya posisi strategis untuk memainkan peran penting di dunia arab, juga mempunyai dampak strategis di kawasan Afrika. “Negeri ini merupakan jembatan  baik dari sudut pandang geografi, sosial, ekonomi, dan etnik; dan tentu saja agama. Pergilah ke Mesir. Gunakan negeri itu sebagai daerah transit untuk menaklukkan Timur Tengah dan juga daerah transit untuk Afrika,” begitu petuah George Rich kepada kader mudanya John Perkins. 1

Dari sinilah upaya aneksasi dan imperialisasi Mesir mulai dirancang dan dicanangkan secara rapi dan tersistem. Imperialisme mulai merambah Mesir tatkala Prancis, melalui Napoleon Bonaparte, mulai menjejaki tanah Mesir. Prancis selanjutnya sedikit demi sedikit berusaha menancapkan pengaruhnya di tanah tersebut. Usaha yang terlihat nyata adalah tatkala Prancis menempatkan Muhammad ‘Ali Pasya untuk memegang tampuk pemerintahan di negeri tersebut. Muhammad ‘Ali Pasya (1805-1917) kemudian direkayasa oleh Prancis seolah-olah sebagai orang yang sangat berjasa bagi kemajuan Mesir. Dia diopinikan sebagai pembaru yang membawa kemajuan Mesir dari kegelapan yang ditimbulkan oleh Islam. Tahun 1840, Muhammad ‘Ali Pasha diasingkan oleh Sultan Utsmani atas desakan Prancis.

Muhammad ‘Ali mempunyal andil yang sangat besar bagi kemerosotan Islam. Dia menelorkan program ‘pencucian otak’ dengan dalih ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat ke Dunia Islam melalul Mesir. Untuk merealisasikan program tersebut, ia mengirim mahasiswa Mesir untuk belajar ke Prancis. Setelah kembali ke Mesir, tentu dengan berbagai ragam dan corak pemikirannya, mereka menjadi guru di berbagai universitas. Yang lebih parah, para lulusan tersebut ditempatkan terutama di Universitas al-Azhar, tempat ribuan mahasiswa dan berbagai negara Islam menimba ilmu pengetahuan. Dengan demikian, penyebaran ide-ide sesat dari Barat menjadi efektif dan efisien; bukan hanya di Mesir saja, namun lebih jauh dari itu. Ide-ide sesat itu menyebar ke berbagai negeri Islam.

Pada masa selanjutnya, Prancis mulai meniupkan ‘gagasan-gagasan besar dan revolusioner’ kepada para pemikir dan pemimpin umat Islam di Mesir, yaitu ide nasionalisme dan patriotisme. Patriotisme Mesir dipelopori oleh at-Tahtawi (1801-1873) yang berpendirian bahwa Mesir dan negara lain baru bisa maju bila berada di bawah penguasa sendiri, bukan di bawah tangan orang asing. Maksudnya, Mesir, yang selama ini di bawah perlindungan Kekhilafahan slamiyah—oleh Prancis melalui kaki tangannya—harus segera melepaskan diri agar cepat maju dan berkembang. Adapun asionalisme Mesir dipelopori oleh Mustafa Kamil (1874) yang mendirikan Hizb al-Wathan untuk—seolah-olah—memperjuangkan kemerdekaan Mesir dari kekuasaan Prancis. Dari Mesir inilah lahir ide nasionalisme Arab yang dipelopori oleh Gamal Abdul Nasser.
Imperialisme Prancis semakin tak terbendung tatkala dia berhasil ikut campur tangan dalam pemerintahan Mesir pada tahun 1882 walaupun secara de facto tetap tunduk pada Kekhilafahan Utsmani hingga tahun 1914. Atas desakan dan rekayasa Prancis, antara 1914-1922 Mesir menjadi protektorat Prancis. Mesir mendapatkan kemerdekaan dari Prancis tahun 1922. Negara ini mengambil bentuk pemerintahan monarki konstitusional.

Untuk semakin menancapkan pengaruhnya, Prancis melalui Napoleon menerbitkan majalah Le Courtier d’Egypte dan La Degade Egyptienne sebagai media publikasi ide-ide mereka yang berkedok majalah yang memberitakan perkembangan ilmu pengetahuan. Muhammad ‘Ali sendiri menerbitkan surat kabar aI-Waqâ’i al-Misriyah (Peristiwa-peristiwa Mesir). Media tesebut menjadi alat propaganda untuk menjelek-jelekkan Islam dan mengagung-agungkan imperialisme Prancis.

Serentetan rezim sekular selanjutnya silih berganti menguasai Mesir. Sesudah Muhammad ‘Ali Pasha, Mesir diperintah oleh Abbas I (1848- 1854) dan Abbas II (1854-1863). Pemimpin selanjutnya adalah Khedive Ismail (1863-1879). Ia memperbaiki kembali kehidupan sosial politik di Mesir. Pada pemerintahan Ismail inilah intervensi Inggris semakin tajam dan mengakar hingga Terusan Suez mampu dikuasai oleh Inggris.

Penguasaan Terusan Suez berawal dari upaya mencegah kebangkrutan Negara. Ismail menjual Terusan Suez. Karena pembeli saham tersebut adalah Inggris (1875), sejak itu Inggris mulai mendapatkan kesempatan untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah dalam negeri Mesir.

Uang yang diperoleh dari penjualan saham-saham itu ternyata tidak mampu menutupi kekurangan kas negeri Mesir. Pada tahun berikutnya (1876) Khedive Ismail menghadapi kebangkrutan lagi. Kemudian ia mengajukan permintaan pinjaman kepada Prancis dan Inggris. Sebagai jawaban atas permintaan tersebut, pemerintah Inggris mengirimkan Stephen Cave untuk meneliti hal-hal yang berhubungan dengan keuangan Mesir. Hasil laporan itu menerangkan bahwa kemakmuran daerah itu dapat diharapkan tetapi untuk mendapatkannya diperlukan metode-metode pengelolaan keuangan yang lebih teliti dan rapi. Akibat penyelidikan tersebut, dibentuklah suatu panitia terdiri atas negara-negara Eropa yang bertujuan untuk mengurusi kemakmuran Mesir. Efeknya, seperdua penghasilan negara berada di bawah pengawasan panitia internasional yang biasa disebut Comite pour la Caisse de la Dette Publique (1876). Panitia ini beranggotakan Inggris, Austria, Italia, Prancis dan Jerman.22

Ragam pembaruan diadakan baik di bidang politik maupun keuangan. Mesir dijadikan kerajaan konstitusional dengan seorang Inggris, Wilson, sebagai menteri keuangan, dan seorang Prancis, de Blignieres, sebagai menteri pekerjaan umum. Dengan demikian, masalah keuanganlah yang membuka jalan bagi masuknya imperialisme Barat ke Mesir.

Ismail lalu digantikan oleh anaknya, Taufiq. Pemerintahan Taufiq bisa dikatakan sangat dekat dengan Inggris. Oleh sebab itu, terjadilah peristiwa penting, yaitu revolusi yang dipimpin oleh Ahmad Orabi yang berkeinginan memberikan ‘tausiah’ kepada Taufiq agar jangan menjadi kaki tangan Prancis. Karena situasi yang terjadi pada waktu revolusi tersebut sangat tidak menguntungkan Prancis, Inggris menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan agresi militernya. Akhirnya, Inggris berhasil menduduki Kairo 14 Desember 1882.

Seusai Perang Dunia I, pada November 1918, di Mesir muncul pemimpin yang bernama Saad-Zaghlul. Ia berusaha menuntut kemerdekaan dari Inggris. Lalu Inggris menangkap dan mengasingkan dia. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat Mesir. Akibatnya, pada 9 Maret 1919 terjadilah tuntutan besar menentang Inggris di Kairo dan seluruh penjuru Mesir yang menyebabkan Inggris mengubah pola politiknya dan membebaskan Saad-ZagLul. []
Catatan kaki:
1        http://www.theglobal-review.com/content_detail.php? lang=id&id=12502&type=4#.VLtTSSuUe-A
2        https://andreaslantik.wordpress.com/2013/11/02/kejatuhan-mesir-ke-dalam-pengaruh-imperialisme-inggrisperancis-hingga-kebangkitan-nasionalisme

http://hizbut-tahrir.or.id/2015/02/05/barat-berupaya-melepaskan-mesir-dari-khilafah-bagian-2/


0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More