cari cari ...

Wednesday, October 26, 2011

Memahami Sikap Politik Remaja

Sebuah survey yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) Jakarta memberi warna tersendiri. Selama ini perbincangan seputar remaja seringkali berputar pada soal kenakalan remaja seperti tawuran, pergaulan bebas, dan segala sesuatu yang terkadang berbau negatif. Namun, hasil sebuah survei terhadap siswa-siswa di 10 kota se-Jabodetabek yang dimaksudkan untuk menggali sikap politik para remaja, ternyata cukup positif.

Dari survei tersebut didapatkan gambaran bahwa remaja kita cukup kritis dalam menyikapi persoalan bangsanya. Dari survei ini melaporkan adanya kekurangpuasaan siswa tentang sistem demokrasi Indonesia.

Pertama, adanya pandangan siswa yang menganggap sistem demokrasi saat ini tidak mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat (67%). Kedua, menganggap pemerintah tidak berhasil menangani sebagian besar persoalan bangsa (76,1%). Ketiga, menilai partai politik tidak mampu menyerap dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat (67,3%). Keempat, siswa menilai para anggota DPR/ DPRD cenderung mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat pada umumnya (80,7%).

Angka-angka statistik hasil survei tersebut merupakan pertanda bahwa di dalam benak para siswa, sistem demokrasi yang ada saat ini tidak berjalan sesuai cita-cita ideal kehidupan berbangsa, yaitu keadilan dan kesejahteraan sosial yang sering mereka baca dan dapatkan dari proses pembelajaran di sekolah. Dalam buku pendidikan kewarganegaraan, misalnya, banyak sekali mengajarkan hal-hal ideal dalam upaya mewujudkan kondisi kehidupan bernegara.

Meski penerimaan siswa terhadap demokrasi sebagai nilai intrinsik cukup tinggi, ketidakpuasan terhadap demokrasi sebagai instrumen untuk menyejahterakan rakyat juga cukup tinggi. Lebih tinggi lagi, tingkat ketidakpuasan terhadap kinerja lembaga-lembaga politik. Hasil survei terbatas ini cukup memberikan gambaran potret remaja dalam memandang dunia politik sekaligus menggambarkan potensi kepedulian remaja terhadap kondisi bangsanya.

Pertama, bahwa potret remaja kita sesungguhnya cukup melek politik. Kedua, menjadi penting untuk menyusun kerangka pembinaan remaja agar mereka betul-betul dipersiapkan dengan matang sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang memiliki kematangan pemikiran. Hal ini menjadi penting karena mereka adalah generasi penerus bangsa ini. Mereka adalah calon-calon pemimpin masa depan. Menjadi penting untuk menggarap remaja sebagai calon-calon agen pengubah kondisi bangsa.

Cara-cara membuat remaja melek politik sudah diawali oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang sejak 2002 membuka panggung ekstrakurikuler berupa Parlemen Remaja Indonesia (PRI). Di dalam PRI, para remaja dibekali materi orientasi antara lain pengenalan kebangsaan dan sejarah demokrasi di Indonesia, seperti apakah itu demokrasi, bagaimana cara mengesahkan keputusan, dasar-dasar berdebat, praktik berdebat, macam-macam system pemerintahan, peran partai politik dan fraksi, membentuk partai politik, dan sebagainya.

Upaya YKAI perlu diapresiasi. Hanya saja perlu dilakukan koreksi tentang makna politik yang diajarkan kepada remaja. Remaja harus diberikan makna politik yang benar, bukan politik praktis-pragmatis seperti yang selama ini dipraktikkan para politikus negeri ini. Definisi politik dan paradigmanya harus diluruskan dan dikembalikan kepada yang sebenarnya. Politik adalah aktivitas memelihara urusan rakyat di mana secara praktis aktivitas pemeliharaan urusan tersebut dilaksanakan oleh negara (pemegang urusan), sementara rakyat/masyarakat bertugas melakukan kontrol dan koreksi. Dengan demikian paradigma politik adalah pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan rakyat, bukan rebutan kekuasaan dan kenikmatan sambil melupakan penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang memilih mereka.

Remaja harus diajarkan bagaimana menjadi pejabat pemerintah yang jujur dan amanah serta bagaimana menjadi politisi yang berani berkata benar dan tidak takut celaan sepanjang ia membawa dan memperjuangkan kebenaran, juga tak tunduk pada rayuan para penyuap.

Remaja juga harus diberikan ruang untuk mengkritisi materi-materi orientasi yang diberikan. Tentang makna demokrasi, misalnya, biarkanlah remaja mengkritisi apakah demokrasi memang sistem terbaik atau ada sistem lain yang lebih baik. Atau, soal sistem pemerintahan, apakah republik adalah bentuk terbaik ataukah ada bentuk sistem pemerintahan lain yang jauh lebih baik. Intinya janganlah panggung-panggung latihan semacam PRI ini dijadikan ajang indoktrinasi sebagaimana kental kita temui di era Orde Baru dulu.

Latihan berpolitik hendaknya lebih ditekankan kepada pembentukan mentalitas dan cara berpikir yang sahih dan bukan sekedar teori-teori politik berikut kegiatan administratif di dalam parlemen. Karena, jika semata-mata hanya itu penekanannya, maka hal itu tak akan membangun kerangka pikir yang mencerdaskan remaja dalam menyikapi persoalan-persoalan bangsa. Yang akan terjadi adalah pengulangan berbagai kekonyolan politik yang saat ini sudah sangat sering kita dengar dari panggung politik negeri ini.

Kita berharap, dengan latihan-latihan berpolitik yang sahih ini, para remaja ini nantinya dapat mendudukkan dan mengembalikan politik kepada maknanya yang mulia, yakni mengatur, memperbaiki dan mengurusi urusan masyarakat. Dengan demikian pencitraan bahwa politik itu penuh rekaan hawa nafsu dan akal-akalan, politik itu jahat, politik itu kotor, sehingga politik itu harus dipisahkan dari agama dengan sendirinya tercerabut dan diganti dengan pemahaman dan fakta bahwa berpolitik itu aktivitas yang tinggi dan mulia.

Remaja-remaja ini kelak akan menampilkan politik yang bersih dan mulia, jauh dari dusta dan tipu daya, jauh dari rekayasa dan penyesatan, jauh dari penyelewengan dan kezaliman terhadap hak-hak rakyat, serta jauh dari tindakan sembrono dalam mengurusi masyarakat. ***

Penulis adalah peneliti di Lembaga Kajian Lingkar Muda Jakarta. suarakarya-online.com. Memahami Sikap Politik Remaja

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More