cari cari ...

Sunday, September 5, 2010

Kondisi Darurat Membolehkan Yang Haram

“Al-dharurat tubiih al-mahzhuurat” (Kondisi darurat membolehkan yang diharamkan) (Abdul Hamid Hakim, As-Sulam: hal 59).
Kaidah ini biasanya dipahami secara sederhana, sehingga dengan alasan darurat, maka seseorang dengan mudah membolehkan yang haram. Harus dipahami bahwa, definisi darurat seperti apa yang membolehkan yang haram di dalam Islam? Syaikh Taqiyuddin an Nabhani menjelaskan bahwa darurat yang dimaksud oleh syara’ adalah keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan menimbulkan kebinasaan/kematian. (al idhthirar al mulji’ alladzi yukhsya minhu al-halak). Jadi yang dimaksud dalam kaidah ini adalah untuk memelihara jiwa. (Taqiyuddin an Nabhani. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, hal. 477).

Jika seseorang sudah tidak bisa mendapatkan apa-apa lagi untuk menyambung hidupnya kecuali ia mendapati daging babi dan khamr, dan ketika ia tidak memakan atau meminumnya dapat mengakibatkan kebinasaan/kematian maka ia boleh memakan daging babi dan meminum khamr tersebut sebatas kebutuhannya menyambung hidupnya saja. Inilah yang dimaksud darurat sebagaimana kaidah tersebut yang didasarkan pada QS Al-Baqarah ayat 173 dan QS AL-Maidah ayat 3.

Jadi, tidak benar fatwa yang membolehkan mengambil atau memanfaatkan bunga dari bank konvensional, dengan alasan darurat karena belum adanya bank syariah di suatu tempat. Tidak benar pula “fatwa” yang mewajibkan ikut Pemilu dengan alasan ‘darurat’ karena khawatir kekuasaan legislatif atau eksekutif akan dikuasai oleh orang kafir atau sekular yang tidak memihak kepada umat Islam.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More