cari cari ...

Showing posts with label Amerika. Show all posts
Showing posts with label Amerika. Show all posts

Sunday, November 4, 2012

Permainan Amerika Dalam Revolusi Suriah

Analisis: Permainan Amerika Dalam Revolusi Suriah


Inilah revolusi yang sangat mengkhawatirkan Amerika Serikat dan Sekutu Baratnya: Revolusi Syam. Kekhawatiran terutama muncul karena  hingga saat ini Amerika belum menemukan pengganti yang pas dari Bashar Assad dan rezimnya. Berbeda dengan Arab Spring di kawasan lain, Amerika relatif lebih mudah mencari pengganti kompradornya sehingga kepentingan penjajahannya di kawasan itu menjadi relatif lebih terjaga dan aman.
Padahal melalui penguasa baru yang menjadi komprador Amerika ini berbagai kebijakan Amerika untuk membajak perubahan hingga sejalan dengan kepentingan Amerika bisa direalisasikan.  Visi perubahan Amerika untuk Arab Spring—berupa sekularisme berbalut Islam—dengan mengiring perubahan ke arah demokratisasi (negara demokrasi sekuler) bisa diwujudkan.
Konsep-konsep seperti dawlah madaniyah (negara madani) dan al-Islam al-Mu’tadil (Islam moderat) menjaga jargon-jargon baru untuk menutupi ide pokok yang sebenarnya, yaitu Kapitalisme dengan asas sekularismenya. Visi ini juga cukup sukses, paling tidak hingga saat ini, dalam menyesatkan sebagian umat Islam yang tidak sadar yang menganggap ide-ide demokrasi dan sekular itu sejalan dengan Islam. Apalagi dalam rangka memperkuat visi sekularisme berbalut Islam ini Amerika menggunakan kelompok-kelompok Islam atau tokoh-tokoh Islam.
Di Tunisia, Amerika dan negara sekutu Baratnya  bisa tetap mengontrol perubahan melalui militer Tunisia yang masih menunjukkan loyalitasnya kepada Barat. Menguasai militer tentu sangat penting  sebagai  robot penjaga dan mesin pemukul dan siapapun yang berseberangan dengan Amerika atau mengancam kepentingan mereka.
Amerika pun bisa bernapas lebih lega karena visi demokratisasi yang dia tawarkan berjalan mulus. Kekuatan-kekuatan politik di negeri itu memilih membangun Tunisia yang demokratis dan sekular namun berbalut baju Islam. Amerika dan sekutunya juga berhasil memanfaatkan keberadaan kelompok Islam seperti an-Nahdhah sebagai pemain utamanya. Kelompok ini pun sibuk berkampanye dan membela diri untuk menunjukkan bahwa mereka bukan kelompok Islam fundamentalis, puritan. Secara terbuka mereka juga bukan menolak dikatakan memperjuangkan syariah Islam, apalagi Khilafah. Semua ini mereka lakukakan untuk mendapatkan kepercayaan dari Amerika dan sekutu Baratnya sebagai pemain politik baru.
An-Nahdhah, yang muncul sebagai partai terbesar dalam Pemilu demokratis pertama di Tunisia, telah menyatakan pihaknya akan terus menjaga pasal pertama Konstitusi 1956 dalam hukum konstitusi baru yang sedang dirancang. Ayat ini mengabadikan pemisahan agama dan negara, saat dinyatakan bahwa: Tunisia adalah negara yang merdeka dan berdaulat, agama adalah Islam, bahasanya adalah bahasa Arab dan merupakan sebuah republik.
“Kami tidak akan menggunakan hukum untuk memaksakan agama,” kata pemimpin an-Nahdhah,  Rachid Ghannouchi, kepada wartawan setelah komite konstituen partai memilih mempertahankan ayat konstitusi.
Dia menambahkan, ”Ayat tersebut merupakan obyek konsensus di antara semua elemen masyarakat yang melestarikan identitas Tunisia sebagai negara Arab-Muslim serta menjamin prinsip-prinsip negara demokratis dan sekuler.”
Hal yang lebih kurang sama juga terjadi di  Mesir. Hingga saat ini Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) yang dipenuhi oleh para jenderal warisan Mubarak masih berkuasa penuh mengontrol Mesir. Untuk mengokohkan kedudukannya Dewan Militer ini membubarkan Parlemen Mesir dan mengarahkan Dewan Konstituante yang akan membuat UU baru Mesir untuk tetap menjadikan Mesir sebagai negara sekular bukan Negara Islam. Dewan Militer ini juga masih memberikan loyalitasnya kepada Amerika dan sekutunya.
Visi perubahan Amerika—sekularisme  berbalut Islam—dengan pas bisa diwujudkan oleh partai  yang berasal dari gerakan Islam Ikhwanul Muslimun. Presiden Mursi dengan sigap menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang pluralis. Untuk memperkuat citra itu, partai ini pun menolak mentah-mentah hendak menjadikan Mesir menjadi Negara Islam yang akan menerapkan syariah Islam secara sempurna. Mesir tetap menjalin hubungan diplomatik dengan entitas penjajah Zionis Israel dan mempertahankan perjanjian damai  Camp David.
Kerjasama dengan IMF dan Bank Dunia yang merupakan organ penjajahan ekonomi Kapitalisme pun tetap berjalan. Untuk menyelesaikan persoalan ekonomi Mesir, Mursi  memilih untuk meminjam dana dari IMF. Padahal semua tahu, meminta bantuan dari IMF bukan saja akan menghancurkan ekonomi negara, tetapi juga merupakan jebakan politik yang mematikan. Apalagi pinjaman itu mengandung riba yang jelas-jelas diharamkan dalam Islam. IMF secara resmi memberikan pinjaman 4,9 miliar dolar. Perdana Menteri Mesir Hesham Qandil  menyatakan pinjaman ini harus dibayar dalam waktu 5 tahun dengan suku bunga 1,1 persen.
Di Libya, Amerika mendapatkan jaminan—meskipun tidak sempurna—terhadap kepentingannya melalui Dewan Transisi Nasional Libya (NTC). Dewan ini secara umum bisa dikontrol oleh ‘orang-orangnya’ Amerika, meskipun terdapat juga kelompok Islam di dalamnya.
Amerika dan sekutu Baratnya pun menjadi lebih lega karena dalam Pemilu pertama Libya pasca tumbangnya Khadafi partai nasionalis menang. Aliansi Kekuatan Nasional (NFA) yang dipimpin mantan Perdana Menteri sementara Mahmoud Jibril mendapatkan 39 dari 80 kursi Majelis Nasional Libya yang disediakan untuk partai politik.
Namun, berbeda dengan Mesir, Libya tidak memiliki tentara yang sepenuhnya mapan. Pasca jatuhnya Gaddafi dan rezimnya, Libya tidak memiliki otoritas politik terpusat. Kekuatan tetap di tangan milisi bersenjata, dan tidak satu pun dari mereka yang cukup kuat untuk mulai bertindak sebagai kekuatan militer nasional. Libya masih dikendalikan oleh jaringan milisi bersenjata. Banyak di antara mereka mewakili suku-suku yang kuat. Untuk lebih mengamankan kedudukannya saat ini, agenda Amerika berusaha membentuk militer nasional Libya yang terpusat namun dikendalikan oleh pemimpin yang sekular.
Terbunuhnya Dubes AS Christopher Stevens dan tiga staf Konsulat Jenderal AS di Benghazi dalam aksi pembelaan terhadap Rasulullah saw., digunakan oleh Amerika melalui kaki-tangannya untuk menghabisi milisi-milisi bersenjata yang berideologi Islam. Koran New York Times edisi Senin (15/10) melaporkan pemerintahan Barrack Obama pada bulan lalu telah mendapatkan persetujuan Kongres AS memberikan dana sebesar US $8 juta dari anggaran operasi Pentagon dan bantuan kontra terorisme yang semula diberikan kepada Pakistan kepada Libya. Dana tersebut digunakan untuk membantu Pemerintah Libya membentuk pasukan komando Libya berkekuatan 500 personil pada tahun depan. Pasukan operasi khusus AS akan melatih pasukan komando Libya tersebut guna memerangi “teroris Islam” di Libya.
Kekhawatiran yang lain dari Barat sekarang ini terhadap situasi Suriah adalah menguatnya kelompok revolusioner yang menginginkan penerapan syariah Islam dan Khilafah di negeri Syam itu. Para revolusioner ini pun secara terbuka menentang visi Arab Spring ala Amerika—sekularisme berbalut  Islam. Medan jihad di bumi Syam juga telah mengundang kaum Muslim di seluruh dunia untuk berjihad fi sabilillah untuk menenteng rezim thaghut Ba’ats, Bashar Assad.
Seperti biasa, Barat melalui medianya melakukan penyesatan politik, dengan mengaitkan kelompok yang berjihad ini dengan terorisme dengan tudingan memiliki agenda radikal. Dalam laporannya, Komisi PBB yang melakukan penyelidikan di negara tersebut mengatakan kehadiran para militan asing, Islam radikal atau para jihadi, membuat Barat khawatir. Kepala Komisi Sergio Pinheiro kepada wartawan hari Selasa (17/10) memperkirakan ada ratusan kombatan asing yang ikut bertempur di Suriah. Pinheiro menambahkan bahwa komisi itu khawatir para kombatan asing ini tidak berjuang untuk “membangun negara demokratis di Suriah”, tetapi “untuk agenda mereka sendiri.”

Exit Strategi  Model Yaman
Bagi Amerika dan sekutu Baratnya, cara yang paling aman untuk menyelesaikan krisis Suriah adalah dengan menggunakan model Yaman. Pasalnya, intervensi militer langsung seperti yang dilakukan terhadap Libya membutuhkan dana yang besar dan sulit diduga hasilnya.
Berdasarkan model Yaman, Barat mempersiapkan orang lingkaran dalam Presiden Yaman sendiri, yaitu Wapres Abd a-rRab Mansur Hadi menjadi pejabat presiden baru. Transisi ini dibantu oleh negara-negara sekitarnya seperti Saudi Arabia. Setelah itu diadakan Pemilu yang dikesankan demokratis pada Februari 2012 yang dimenangkan secara telak oleh Hadi.
Rencana non-militer model Yaman ini  membutuhkan satu unsur kunci: diplomasi harus dipimpin oleh aktor-aktor regional, bukan PBB atau Barat. Transisi bergaya Yaman kemudian akan bisa mempertahankan struktur negara Suriah yang pro-Barat  termasuk elit korup yang lama tidak merasa terancam. Dengan model Yaman ini mereka berharap, Assad bisa mengundurkan diri, stabilitas muncul, dan Pemilu demokratis yang sejalan dengan Barat bisa dilakukan.
Untuk merealisasikan model Yaman ini, Amerika Serikat menggunakan jaringan regional pendukungnya, seperti Arab Saudi, Mesir dan Turki. Melalui Menteri luar negeri Turki Ahmed Davutoglu, Amerika  datang dengan membawa usulan lama yang diperbarui agar Wakil Presiden Suriah Farouk as-Sharaa menggantikan presiden antek Amerika Bashar sebagai kepala pemerintahan transisi untuk menghentikan perang sipil yang terjadi di Suriah.
Oglu mengatakan, ash-Shara  adalah seorang yang punya pikiran dan hati nurani. Ia tidak turut serta dalam pembantaian di Suriah dan tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui sistem di Suriah dari dia. Oglu beranggapan bahwa oposisi cenderung menerima ash-Shara untuk memimpin administrasi Suriah pada masa depan. Belum selesai Oglu dengan penyesatan-penyesatan ini, sudah muncul pernyataan dukungan pihak oposisi yang menyatakan diri mereka sebagai Dewan Nasional yang menjadi alat Amerika.
Usulan ini adalah usulan Amerika yang dilontarkan oleh Amerika melalui mulut Oglu maupun selain dia. Padahal sangat jelas Farouk ash-Shara ini adalah seorang pengikut Ba’ats, sekular dan selama ini dipelihara dan dibesarkan oleh Hafezh Asad si bapak dan diwarisi oleh Bashar Asad si anak. Ash-Shara ini telah bekerja sebagai menteri luar negeri pada zaman Hafezh Asad selama 15  tahun. Kemudian ia menjabat Wakil Presiden Bashar Asad pada masa pemerintahannya.
Hal itu jelas-jelas memberikan deskripsi yang gamblang tentang keridhaan penjahat Bashar dan bapaknya kepada ash-Shara. Baik Hafezh maupun Bashar sama sekali tidak membiarkan orang yang menyalahi keduanya meski sekecil apapun. Walhasil, kalau model Yaman ini terealisasi, Suriah akan tetap dalam kendali dan kontrol negara-negara imperialis. Ini jelas merupakan pengkhianatan terhadap darah para syuhada yang telah tertumpah! [Farid Wadjdi]

Seruan Hizbut Tahrir Wilayah Suriah
Untuk mewaspadai  ancaman model Yaman ini terhadap tujuan mulia Revolusi Suriah, Utsman Bakhasy Direktur Maktab I’lami Pusat Hizbut Tahrir (23 Dzulqa’dah 1433 H/09 Oktober 2012 M) memberikan nasihat dan peringatan. Berikut kutipannya:

Hati-hati dan waspadalah! Dia antek Amerika di kawasan ini. Oglu tampil berbicara mengatas-namakan Anda. Dia berkata, “Oposisi Suriah cenderung menerima ash-Shara untuk memimpin tahapan transisi.”
Jika yang dia maksudkan adalah Anda, maka dia itu adalah orang yang melakukan konspirasi yang ingin menjerumuskan Anda ke dalam rencana jahat yang melanggengkan Anda dalam pertempuran dan situasi yang membuat para wanita Anda menjadi janda, tanpa ada perubahan sedikitpun.…Jika yang dia maksudkan adalah Dewan Nasional maka Dewan ini bukan bagian dari Anda. Pihak yang mendirikan Dewan itu adalah Amerika. Keinginan mereka tidak lain adalah melaksanakan rencana-rencana Amerika dalam mengaborsi revolusi Anda dan merealisasi negara sipil yang tunduk kepada Amerika, meminggirkan agama Anda yang lurus dari urusan apapun di antara urusan dunia dan akhirat Anda!
Siapa saja yang beranggapan bahwa Amerika menginginkan kebaikan di dalam revolusi Anda maka hendaknya dia segera sadar diri sebelum terlambat. Perdana Menteri Erdogan telah membuat kita kenyang dengan ucapannya. Dia menawarkan kepada Anda untuk menerima rezim penjahat ini seperti sedia kala, dengan seluruh kejahatan dan kebrutalannya, dengan disertai penggantian deskriptif yang menjaga rezim penjahat dengan disertai pemaafan terhadap presiden rezim jagal Damaskus, berdasarkan apa yang sudah berlagsung di Yaman!
Wahai orang-orang yang melakukan revolusi di negeri Syam. Anda harus menyatukan segenap upaya Anda dan waspada terhadap konspirasi musuh-musuh dari sekeliling Anda. Anda harus bertawakal kepada Allah dengan menjadikan revolusi Anda menjadi revolusi yang ikhlas untuk Allah SWT, tidak disekutui oleh siapapun. Di dalamnya tidak ada bagian sedikit pun untuk Barat. Potonglah tangan-tangan Barat dari sekeliling Anda. Campakkan Barat dan alat-alat lokalnya yang memiliki nama yang sama dengan kita, dan berasal dari generasi kita. Akan tetapi, mereka mempromosikan racun Barat penjajah, terutama Amerika yang melindungi rezim bapak dan anak di Suriah. Menjungkalkan rezim itu bukan berarti menggulingkan kepala rezim saja, tetapi adalah dengan mencabut rezim itu dari akarnya hingga ujung daunnya.
Berjuanglah sungguh-sungguh dan dengan penuh kesungguhan bersama Hizbut Tahrir untuk menegakkan agama Allah di tengah-tengah Anda dengan mewujudkan Daulah Islam, Daulah Khilafah ar-Rasyidah…Tidak ada yang menyelamatkan kami dan Anda kecuali Allah. Tidak ada kemuliaan untuk kami dan Anda kecuali dengan agama-Nya. Tidak ada keamanan kecuali dengan Daulah Islam yang akan melindungi kehormatan, darah dan harta kita serta membuat Rabb kita ridha kepada kita.

Mereka memikirkan tipudaya dan Allah menggagalkan tipu aya itu. Allah sebaik-baik Pembalas tipudaya (QS al-Anfal [8]: 30) 


source: http://hizbut-tahrir.or.id/2012/10/31/analisis-permainan-amerika-dalam-revolusi-suriah/ Permainan Amerika Dalam Revolusi Suriah

Wednesday, November 10, 2010

Tak Mudah Menjadi Muslim Sekaligus Menjadi Orang Amerika

Menjadi orang yang "berbeda" kadang tidak mudah. Tanyalah pada Rafa Nizam dan ia akan menjawab, "Saya merasa memiliki warna kulit berbeda kadang membuat saya merasa diasingkan dari orang banyak," kata Nizam, seorang mahasiswa baru di Universitas Missouri.


Situasinya bertambah sulit karena Nizam juga seorang muslim. Ia dibesarkan di Columbia, kota terbesar di Missouri Tengah, yang populasi muslimnya berkembang pesat. Ia mengakui, menjadi seorang muslim sekaligus orang Amerika bukan perkara gampang. "Setiap hari adalah perjuangan, menjadi tugas sehari-hari untuk merekonsiliasikan keduanya," ujar Nizam.

Menurutnya, kehidupan komunitas Muslim di Columbia lebih nyaman. "Columbia menjadi tempat yang damai bagi komunitas Muslim meski masih ada tindakan dan sikap anti-Muslim di berbagai tempat di negeri ini," imbuh Nizam.

Dr Rezwan Islam, anggota Islamic Center of Central Missouri (ICCM) mengakui bahwa komunitas Muslim di kota itu belum diterima dengan terbuka seperti di Columbia, karena karakter penduduk Missouri.

"Mayoritas penduduk Columbia berpendidikan tinggi. Di sana banyak universitas, banyak orang-orang profesional dan mereka paham untuk tidak menilai seseorang dengan melihat siapa Anda," jelas Islam.

Kehadirian Islamic Center di Missouri Tengah ternyata banyak membantu warga Muslim di kota itu dari sikap sentimen anti-Islam, sehingga komunitas Muslim masih bisa hidup dengan tenang. Ayah Nizam, Rashed Nizam yang pernah menjadi ketua ICCM menceritakan kerja keras komunitas Muslim di Missouri untuk membangun Islamic Center itu.

"Waktu itu, cuma ada lima keluarga muslim yang berasal dari berbagai negara, mereka sedang menuntut ilmu di sini. Dua mahasiswa PhD lalu berinisiatif untuk membangun Islamic Center, karena sebagai muslim kami wajid salat di masjid," tutur Rashed Nizam.

Para mahasiswa muslim di Missouri ketika itu masih menggunakan sebuah tempat yang sekarang sudah dibangun menjadi Tiger Hotel, untuk salat berjamaah. Di tempat itu mereka sering bertemu dan jumlahnya makin banyak sehingga tempatnya tidak mampu menampung mereka lagi.

"Awalnya kami berencana pindah dan menyewa sebuah tempat di universitas, tapi kami tidak bisa menggunakan universitas ini karena saya pikir negara dan agama tidak berjalan beriringan," sambung Rashed Nizam.

Lalu dengan bantuan donasi, kelompok mahasiswa muslim itu membeli sebidang tanah di daerah pinggiran dan sedikit demi sedikit melakukan pembangunan hingga selesai pada tahun 1983. Bangunan itulah yang menjadi gedung ICCM sekarang. "Masjid itu merupakan masjid pertama dan satu-satunya di Columbia," tukasnya.

Selama perjalanannya, banyak peristiwa yang menimpa masjid itu. Pada tahun 2004, masjid ICCM menjadi target pemantauan FBI karena anggota jamaahnya dicurigai terlibat pendanaan terorisme melalui kantor Islamic American Relief Agency di Columbia. Pemerintah AS sendiri lalu melarang dan membubarkan IARA.

ICCM yang juga berfungsi sebagai masjid tetap memainkan peran aktif di tengah masyarakat dan menjadi tempat bertemu serta berinteraksi warga masyarakat setempat yang ingin lebih banyak tahu tentang Islam dan budaya Islam. eramuslim.com

Tur Asia Obama: Sinyal Akhir Hegemoni AS?

Barack Obama sudah dan sedang memulai turnya di empat negara Asia (India, Indonesia, Korea Selatan, dan Jepang). Hubungan antara Jepang dan Cina telah memburuk dengan tajam menyusul penyitaan Jepang terhadap perahu nelayan Cina. Dan Korea Selatan, klien kuat Amerika lainnya, memiliki banyak rasa takut dari transisi politik tetangga mereka yang misterius.


India dan Indonesia juga menyajikan beberapa tantangan strategis yang kompleks. Sengketa di Kashmir—Obama mengidentifikasinya sebagai "tugas-tugas penting"-nya pada tahun 2008—jelas telah melemahkan komitmen Pakistan untuk perang Amerika di Afghanistan. Setelah dua perjalanan dibatalkan ke Indonesia, Obama akhirnya memiliki kesempatan minggu ini untuk bernostalgia dengan masa kecilnya di negara ini, dan untuk kembali berinteraksi dengan negara Muslim paling banyak, sejak ia pertama kalinya tampil di Kairo pada tahun 2009.

Namun, Obama bersikeras mendefinisikan misi di Asia dengan waktu yang sangat mepet. "Kita harus mencari," tulisnya dalam sebuah tulisan di New York Times, "konsumen baru di pasar baru untuk barang buatan Amerika."

Mengunjungi India, Obama berbicara tentang kesepakatan bisnis dan pekerjaan Amerika. Ia mungkin sudah sedikit mawas dri setelah kemunduran dalam pemilu paruh waktu AS pekan lalu. Obama punya tugas besar mengentaskan pengangguran yang tak biasa di negerinya, serta mendorong pemulihan ekonomi jika ia berharap untuk memenangkan masa jabatan keduanya sebagai presiden di tahun 2012. Obama, jadinya, mungkin mencoba untuk menghindari kesan yang terlalu sibuk dengan isu-isu kebijakan luar negeri yang muskil.

Namun, sifat malu-malu geopolitik Obama menyimpan fakta yang tak terbantahkan: bahwa Amerika, melemah oleh resesi ekonomi dan kegagalan militer-diplomatik secara beruntun, tidak bisa lagi mendikte jalannya peristiwa di Asia.

Ingat cerita panjang tentang kebangkitan Cina yang selalu diulang-ulang? Itu hanya bagian dari penjelasan untuk hal ini. Lebih penting lagi, massa politisasi dan regionalisme ekonomi telah membuat banyak negara di Asia sadar, yang sebelumnya selalu mengikuti Amerika; meringkuk dalam sebuah bayangan panjang.

Mungkin tidak ada politisi Amerika yang lebih memperhatikan perubahan di Indonesia lebih daripada Obama. Ia tinggal di Jakarta pada akhir 1960-an, dan mengunjungi Pakistan dan India ketika menjadi mahasiswa pada tahun 1981. Dua tahun sebelum Obama yang baru berusia enam tahun pindah dengan ibunya ke Jakarta, ada hampir setengah juta tersangka komunis di Indonesia. Indonesia selama kepemipinan Jenderal Orde Baru Suharto (1967-1998) menjadi klien sempurna untuk Amerika Serikat.

Selalu ada pembenaran intelektual kelas tinggi yang tersedia untuk kapitalisme kroni dan kebrutalan militer. Pada tahun 1968 Samuel Huntington menerbitkan Political Order in Changing Societies. Dari Suharto sampai Park Chung-hee Korea Selatan, serta jangan lupakan Syah Iran membuktikan dengan cermat apa yang disebutkan oleh Huntington.

Satu lagi, tentu saja Jendral Pakistan Zia-ul-Haq. Pada tahun 1954, Pakistan bersama dengan Turki dan Iran dilibatkan dalam perang dingin. Saadat Hasan Manto, penulis besar bangsa Urdu, menulis serangkaian satir yang ditujukan untuk Amerika. "Dear Uncle," tulisnya, "kau sangat prihatin akan stabilitas negara Islam terbesar di dunia karena kami adalah obat terbaik untuk komunisme Russia.”

Tentu saja, tidak ada pengaturan politik dan ekonomi setelah perang dingin berakhir. Semuanya meleleh dengan cara mereka sendiri, sering menyebabkan kekacauan yang lebih luas bahkan daripada yang ditakuti oleh Huntington sendiri. Massa akhirnya menumbangkan Suharto, dan Indonesia terjun ke masa demokratisasi yang terus bergolak tanpa henti. Jenderal Zia secara misterius mengalami kecelakaan pesawat, tetapi gairah politik yang ia canangkan masih terus ada; sebagian memberi jalan pada ketidakadilan untuk masyarakat feodal Pakistan yang disaksikan langsung oleh Obama dalam kunjungannya ke negara itu.

Tapi kemudian, seperti yang dikatakan oleh Manto kepada Uncle Sam: "Saya keponakan Anda yang berasal dari Pakistan dan saya tahu langkah Anda. Setiap orang sekarang bisa berlaga sok tahu, terima kasih atas gaya politik Anda." Hampir di mana-mana di Asia, Amerika Serikat tidak dipercaya. Ia memupuk semua anak didiknya di beberapa titik; Pakistan, Karzai, Syah Iran, dan Libanon. Di Malaysia, yang kelihatannya tampak konsisten dengan ide ekonomi timurnya, bagi pertumbuhan dalam tiga dekade terakhir, sebenarnya masih berkiblat pada kebijakan stigma lama Amerika jauh sebelum "konsensus Washington."

Obama akan segera tahu, India menjalin lebih banyak kemitraan yang bermanfaat di Asia daripada di Barat yang dilanda resesi. Politik yang rusak di Thailand serta Hong Kong, Singapura, Korea Selatan dan Taiwan telah sembuh. India tahun lalu menandatangani kesepakatan perdagangan bebas dengan Asean. Tidak mengherankan kolumnis di Star, surat kabar terkemuka Malaysia dalam bahasa Inggris, menganggap kunjungan perdana menteri India ke Kuala Lumpur minggu lalu lebih penting daripada pesiar dengan Hillary Clinton, menteri luar negeri AS, ke daerah itu pada waktu yang sama.

Sebuah jalinan perjanjian perdagangan bilateral mendasari kesatuan baru ekonomi Asia. Cina dan negara-negara Asean sudah menjadi zona perdagangan bebas terbesar di dunia. Asia takut akan kebangkitan Cina, yang terus dimonitori oleh Amerika Serikat dengan tajam; fakta bahwa Cina sekarang merupakan pasar ekspor terbesar untuk Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, selain menjadi mitra dagang terbesar India.

Semua ini terdengar seperti dari planet jauh bagi sebagian orang Amerika yang berpikir bahwa AS akan menemukan jalan keluar dari kesulitan politik dan ekonomi luar negerinya. Sekarang semuanya jatuh ke pelukan Obama untuk memajukan pendidikan mereka, dan apakah ia akan berhasil dalam tugasnya itu? Obama, seseorang yang pernah tinggal di Jakarta, mungkin tidak penah membayangkan bahwa ia berada dalam hiruk-pikuk Asia baru yang keras.eramuslim.com

Tuesday, November 9, 2010

Hati-hatilah Terhadap Racun Obama!

Hizbut Tahrir Indoensia (HTI) mengimbau kepada masyarakat agar berhati-hati menghadapi racun Presiden AS Barrack Obama menyusul rencana kunjungannya ke Indonesia pada 9-10 November 2010 mendatang. HTI menilai bahwa racun Obama sangat nyata dan terasa di negeri ini.

"Telah tampak jelas bahwa kunjungan Obama tak lain demi mengimplementasikan rencana beracunnya itu, melemahkan dan mematikan Anda," ucap anggota DPP HTI, Rochmat S Labib di kantor HTI, di Jakarta, Jumat (5/11/2010).

Dikatakan, Amerika adalah aktor di balik masalah terorisme buatan yang menjamur di Indonesia. Amerika juga berupaya mengubah kurikulum di pesantren-pesantren yang memiliki manajemen mandiri, khususnya setelah munculnya masalah teroris.

Selain itu, Amerika, melalui dinas intelejennya, mengikat kerjasama dengan dinas intelejen Indonesia. Bahkan, Amerika ternyata telah mendorong gerakan separatis di Papua untuk melanggengkan hegemoninya atas tambang emas yang merupakan tambang emas terbesar di dunia.

"Sosok Presiden seperti itulah yang rencananya akan berkunjung ke Indonesia. Sebuah sosok yang kejam, yang tidak beda dengan Bush," imbuhnya. tribunnews.com 

Sunday, October 10, 2010

Islamophobia in the US

Last weekend, the ABC television network in the US caused a stir by broadcasting a debate show asking the contentious question: should Americans fear Islam?

The feisty discussion on that show proved that Islamophobia in the US did not fizzle out the day after Pastor Terry Jones agreed not to burn religious texts to commemorate 9/11.

Even Christiane Amanpour, with her reputation for toughness, struggled to balance bigoted comments with voices of reason as she moderated the show. Undoubtedly, the ugly phenomenon of Islamophobia is thriving in the US. But it would be a mistake to hijack this trend by framing it exclusively in terms of US foreign policy, or simply subscribing to the ‘clash of civilisations’ theory that is often conjured up to contextualise the wars in Iraq and Afghanistan. The fact is Islamophobia is primarily a domestic American issue, and one of the most worrying consequences of a country at war with itself.


Present-day Islamophobia has many incarnations: the Cordoba House/Park 51 controversy continues with 68 per cent of Americans (according to a CNN poll) opposing the construction of the ‘ground zero mosque’ at its proposed location. Opposition also rages against the construction of mosques in Wisconsin, Tennessee and Kentucky.

Several hate crimes — incidents of vandalism at Islamic centres and the stabbing of a Muslim taxi driver — occurred this summer. According to the Pew Forum on Religion and Public Life, 38 per cent of Americans have an unfavourable opinion of Islam, as opposed to 30 per cent who have a favourable take on the religion.

One can expect these statistics to nosedive in the foreseeable future. News headlines offer many reasons for Americans to be increasingly suspicious of Muslims and those who have ties with Muslim countries: Faisal Shahzad’s sentencing a few days ago to life imprisonment for the attempted Times Square bombing; rumours of ‘foreign’ militants planning attacks from Pakistan in the West; excessive media coverage of Fata-based converts such as Azzam The American. The knee-jerk reaction in places like Pakistan is to see American responses to Islam as a sign of worsening relations with the Muslim world. But Islamophobia poses the greatest challenge to American national identity and the country’s aspirations to moral leadership. For a nation founded on the basis of religious freedom, pluralism, and tolerance, Islamophobia undermines its raison d’ĂȘtre.

It is telling, then, that the phenomenon is largely political, rather than ideological, in nature. Speaking at an event titled ‘Challenging Islamophobia’ at Washington’s Centre for American Progress (CAP), Haris Tarin, a director at the Muslim Public Affairs Council, pointed out that anti-Muslim rhetoric was initially espoused in state-level campaigns in the 2006 midterm elections in the US.

Those initial incidents of emotionally manipulative politicking now manifest as the game-changing Tea Party Movement, a socially conservative effort with immense financial backing to reclaim the US Senate for Republicans in the upcoming midterm elections. The Tea Party’s success can be attributed to its creation of a compelling American narrative. In this narrative, American-ness is narrowly defined as white, Christian and middle class, and Islam emerges as a symbol of all that threatens the beliefs and traditions of the mythical America.

Glenn Beck, one of the leaders of the Tea Party, has been promoting a narrative of ‘reverse’ grievance, arguing that whites are now suffering at the expense of the US’s diverse racial, ethnic and religious groups. In well-attended rallies, he regularly calls for “taking back” what has, by his logic, been stolen by one group of inauthentic Americans from another group of truer Americans.

This fanciful rhetoric aims to take advantage of the disenfranchisement that working-class whites feel in an economy with a 9.6 per cent unemployment rate. And it’s working: according to an Associated Press-GfK poll released recently, whites without college degrees prefer Republicans to Democrats (58 per cent support the former, while 36 per cent support the latter). In this context, Islamophobia starts to have little to do with a perceived physical or security threat posed by Muslims with extreme or violent views.

It doesn’t help that, unlike Europeans (who are Islamophobic for a host of different reasons), Americans have little interaction with real-life Muslims. Panellists at the CAP event emphasised a shocking statistic: 60 per cent of Americans have never met a Muslim. Their only knowledge or experience of this community — which comprises only two per cent of the US population — comes from the media, and is thus confined to a barrage of horror stories about suicide bombers, decapitators, kidnappers and assorted, bearded crazies.

The failure of American-Muslims to respond to this stereotype stems from the diversity and resulting disconnect among Muslim communities in the US. As occurs globally, American-Muslims are divided along racial, economic, sectarian, national and linguistic lines. To counter a politically motivated Islamophobia, they will have to play by American rules and organise a political response. This will entail organising at the grassroots, creating savvy lobby groups to cultivate congressmen and senators and using a combined American-Muslim voting bloc as a force for change.

American-Muslims will also have to remind their administration that they are the first lines of defence against homegrown terrorism. Wajahat Ali, a US-based, Muslim playwright and blogger, likes to point out that many recent attempted terror plots were foiled by cautious Muslims, for example, it was the father of the Nigerian ‘underwear’ bomber who told security officials about his son’s plans.

For Muslims based outside the US, it is time to see American Islamophobia as the domestic, political issue that it is. Inflating it to epic civilisational and imperialistic proportions is irresponsible and ultimately, dangerous. By buying into a grander ‘us versus them’, ‘America against Islam’ narrative, we are perpetuating the logic that drives militant recruitment from Pakistan to Sudan.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More