cari cari ...

Saturday, December 4, 2010

Gambaran Global Pendidikan Dalam Perspektif Islam

Pendahuluan: Kritik terhadap pendidikan ala kapitalis-sekuler
Sistem kapitalis-sekuler memandang manusia semata-mata sebagai makhluk ekonomi sekaligus sebagai salah satu faktor produksi, yaitu tenaga yang berguna untuk menjalankan roda ekonomi. Pandangan ini berimplikasi langsung terhadap orientasi sistem ini dalam menyelenggarakan pendidikan. Di mana pun, pendidikan sudah barang tentu  digunakan sebagai media untuk melakukan transfer pemahaman dan pembelajaran agar manusia dapat menjalankan aktivitas kemanusiaannya sesuai dengan pemahaman dan ilmu yang telah dia dapat. Oleh karena itu, menu pendidikan akan sangat ditentukan oleh pandangan terhadap manusia dan fungsinya. Maka ketika kapitalisme memandang manusia semata-mata sebagai makhluk ekonomi atau sekedar sebagai salah satu “sumberdaya” dalam konteks ekonomi, maka pendidikan pun sepenuhnya diarahkan ke sana, -atau setidaknya- itulah yang menjadi menu utama pendidikan mereka.

Saat ini kita dapat menyaksikan bagaimana sekolah-sekolah umum berlomba menawarkan diri sebagai sekolah favorit yang akan mampu menghantarkan siswanya ke jenjang perguruan tinggi yang berkualitas. Sementara sekolah-sekolah kejuruan dan perguruan tinggi berlomba-lomba menawarkan diri sebagai tempat yang mampu mencetak tenaga kerja yang siap pakai, atau paling jauh, membekali peserta didik dengan berbagai ilmu dan kemampuan untuk menjadi seorang pencari uang yang handal (intrepreneur). Orientasi para orang tua dan peserta didik pun tidak jauh berbeda, mereka ingin menamatkan pendidikan semata-mata agar nantinya mampu mencari penghasilan. Adapun pemerintah terus ikut menyelenggarakan, mendorong dan memberi ruang untuk pendidikan yang demikian. Singkatnya, sistem pendidikan kapitalis telah menempatkan pendidikan sekedar sebagai alat untuk menopang kehidupan ekonomi.

Yang juga tidak kalah ngerinya adalah sikap pendidikan kapitalis yang meratakan pandangannya terhadap manusia -sebagai sumberdaya ekonomi- tanpa pandang bulu, tidak membedakan antara pria dan wanita. Semuanya dioproses menjadi pencari uang, tanpa memperhatikan fungsi dasar masing-masing -yang sebenarnya dalam sisi tertentu memiliki perbedaan dan pembagian wewenang. Inilah yang saat ini sedang kita rasakan.
Tulisan ini mencoba membuka cakrawala berfikir kita untuk sejenak keluar dari realitas dunia pendidikan yang ada saat ini, untuk kemudian mengintip dunia lain, yakni bagaimana gambaran global mengenai pendidikan islam yang dibangun berdasarkan landasan filosofi tertentu yang berbeda dengan pendidikan kapitalis-sekuler. Wallaahul Musta’aan

Pendidikan Islam Membentuk Kepribadian Islam
            Pendidikan islam dibangun di atas asas aqidah islam yang melihat manusia sebagai hamba Allah yang hidup di dunia dalam rangka mengabdi kepadaNya. Dari asas inilah ditentukan tujuan penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan dalam islam diarahkan agar manusia dapat menjalankan tugas kemanusiaannya dengan baik, yaitu hamba Allah. Secara sederhana, hamba Allah yang baik adalah mereka yang berhak memasuki surga Allah Ta’aalaa. Mereka adalah manusia yang memiliki kepribadian Islam, yaitu sosok yang selalu menggambarkan ajaran islam dalam setiap sepak-terjangnya. Ia adalah islam yang hidup, meski tidak sesempurna malaikat yang tidak pernah melakukan kesalahan. Kepribadian islam itu sendiri dapat terwujud dalam diri seseorang dengan adanya corak pemikiran yang islami (aqliyah islamiyah) dan corak kecenderungan jiwa yang islami (nafsiyah islamiyah). Corak pemikiran yang islami dibentuk dengan menanamkan pemahaman-pemahaman yang islami (mafaahiim islamiyyah), baik berupa aqidah islam maupun berupa hukum-hukum syara’. Pemahaman-pemahaman yang ditanamkan ini akan menjadi ukuran (miqyas) dalam menilai dan mensikapi segala sesuatu. Sedangkan corak kecenderungan jiwa yang islami (nafsiyah) dibentuk dengan menjadikan pemahaman yang telah ditanamkan sedemikian rupa sehingga dapat mempengaruhi jiwa dan perasaan seseorang, sehingga timbul kecendurungan (muyul) dalam jiwanya, berupa rasa cinta dan ketenangan terhadap segala hal yang islami dan benci terhadap segala hal yang tidak islami, senang melakukan hal yang diperintahkan oleh islam dan takut serta berat untuk melakukan segala hal yang dilarang oleh islam. Hasilnya adalah sosok yang senantiasa mencerminkan islam dalam setiap sisi hidupnya baik berupa perbuatan maupun perkataan. Itulah kepribadian islam yang ingin dibentuk oleh pendidikan islam.

Pendidikan Islam Membentuk Manusia Sebagai Individu Yang Baik
Tujuan pendidikan islam adalah membentuk orang yang kepribadian islam. Maka dari itu, anak-anak usia pra baligh yang sudah mampu berfikir sederhana diajak untuk mempersiapkan segala sesuatu dalam rangka memasuki usia baligh. Perbedaan antara orang yang telah baligh dengan yang belum adalah adanya pembebanan hukum (taklif) dan perhitungan amal (hisab) pada mereka yang telah baligh. Maka dari itu, seorang yang telah baligh harus terikat dengan hukum syara’. Untuk itulah anak-anak harus dibekali dengan hukum-hukum syara’ yang dia perlukan saat memasuki masa baligh, seperti akhlaq, hukum-hukum seputar pakaian, thoharah dan ibadah serta hukum-hukum mu’amalah seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam dll. Hukum-hukum tersebut harus disampaikan kepada mereka karena diperlukan oleh setiap orang yang ingin amalnya dinilai benar. Singkat kata, sasaran pada fase ini adalah membekali anak dengan berbagai hukum yang terkait dengan masalah pribadinya.

Di samping itu, potensi otak pada usia anak harus dimanfaatkan dengan baik untuk memperkaya tsaqofah islam. Pelajaran hafalan Al Qur’an, hafalan hadits dan bahasa Arab harus diberikan demi menjamin kelestarian tsaqofah islam. Pelajaran ilmu-ilmu rasional -seperti matematika-, ilmu eksperimental -seperti sains-, serta ilmu lingkungan sosial –seperti geografi- juga perlu diberikan sesuai dengan kebutuhan untuk fase ini.
Pada level yang lebih tinggi, pendidikan untuk membentuk individu yang baik tetap dilakukan. Pelajaran-pelajaran fiqh terkait urusan individu dan akhlaq tetap diberikan pada usia dewasa/baligh dengan pembahasan yang lebih luas, lebih dalam dan lebih rinci sesuai taraf kematangan berfikirnya. Semua itu diberikan kepada peserta didik tanpa membedakan antara pria dan wanita. Hanya saja, perlu diperhatikan bahwa wanita lebih cepat memasuki usia baligh, sehingga proses pembekalan terkait dengan hukum-hukum tertentu harus dilakukan secara lebih cepat. Dengan demikian, sejak awal sudah harus ada pemisahan antara kelas pria dan kelas wanita.

Pendidikan Islam Mendidik Manusia Sebagai Bagian Dari Ummat Islam dan Warga Negara Yang Baik
Pendidikan harus memberi kesadaran kepada kaum muslimin, bahwa disamping menjalankan fungsi sebagai individu, mereka juga mengemban tugas dan fungsi sebagai bagian dari umat islam. Secara bersama-sama, umat islam menanggung kewajiban-kewajiban tertentu (kewajiban kifayah) sehingga harus ada pembagian peran yang baik untuk menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut. sebagai contoh, keberadaan mujtahid di tengah-tengah umat adalah fardhu kifayah. Maka harus ada segolongan orang di antara umat islam yang berusaha keras untuk menjadi mujtahid. Negara wajib memberi fasilitas berupa perguruan yang berkonsentrasi penuh untuk memproduksi para mujtahid. Mereka setiap saat akan berkonsentrasi untuk melumat ilmu-ilmu pendukung dalam berijtihad, mulai dari mendalami ilmu-ilmu Al Qur’an, ilmu-ilmu hadits, Bahasa Arab, ushul fiqh, latihan tahqiqul manath dan mengkaitkannya dengan hukum, mendalami proses dan hasil-hasil ijtihad para ulama, dll. Contoh lain, umat juga wajib memiliki tentara reguler yang kuat demi menopang kewajiban jihad fii sabiliLlaah. Maka negara wajib mendidik dan mempersiapkan para tentara melalui pendidikan kemiliteran yang baik. Negara juga wajib memiliki ketahanan pangan yang bagus. Maka negara juga harus mendidik ahli-ahli pertanian yang handal. Negara juga membutuhkan pengembangan dan penerapan teknologi dalam berbagai bidang, seperti komunikasi, persenjataan, transportasi, infrastruktur dsb. Semua itu membutuhkan pendidikan yang baik untuk mempersiapkannya.
Di samping itu, umat juga membutuhkan pemimpin dan para negarawan yang ulung. Muatan dan simulasi kepemimpinan harus disisipkan dalam setiap jenjang, sehingga jiwa kepemimpinan itu tumbuh pada mereka yang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin umat.

Pendidikan Islam Mendidik Komponen Keluarga Yang Baik
Islam tidak meremehkan keberadaan manusia sebagai bagian dari keluarga. Keluarga merupakan suatu lembaga yang harus ada di tengah-tengah umat. Ia adalah salah satu unit yang menyusun bangunan peradaban umat. Maka dari itu, orientasi untuk mempersiapkan peserta didik agar menjadi komponen keluarga yang baik juga harus diusahakan dengan maksimal.

Pada titik inilah terjadi perbedaan orientasi antara pendidikan untuk kaum pria dengan pendidikan untuk kaum wanita. Dalam konteks keluarga, pria adalah kepala keluarga dengan tugas-tugasnya yang unik. Ia bertanggunjawab memimpin dan mencari nafkah untuk keluarga. Maka dari itu, penyiapan untuk menjadi kepala keluarga dengan kemampuan untuk bekerja adalah hal yang menjadi titik tekan dalam mendidik seorang laki-laki. Singkat kata, setiap laki-laki harus dididik menjadi pemimpin, menjadi suami, menjadi ayah dan menjadi pencari nafkah dengan kemampuan dalam berbagai bidang yang berbeda sesuai kecenderungan masing-masing, seperti perdagangan, pertanian, permesinan, pertukangan, kedokteran, dll.
Sedangkan wanita, tugas utamanya dalam konteks keluarga adalah sebagai pengatur rumah dan ibu bagi anak-anaknya. Ini adalah tugas yang sangat penting dan sangat mulia. Maka dari itu, setiap wanita harus dibekali dengan berbagai ilmu untuk menjadi pengatur rumah tangga yang baik, untuk menjadi istri yang baik, dan untuk menjadi ibu yang baik. Artinya, mereka harus dikenalkan dengan berbagai macam urusan rumah dan diajari bagaimana menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan itu dengan baik. Mereka juga harus dipersiapkan untuk menjadi guru yang baik bagi anak-anaknya. Mereka harus mampu membaca Al Qur’an serta mampu membimbing anak-anak untuk menghafal Al Qur’an dan hadits, mereka harus melek fiqh, mereka juga harus diajari bagaimana berbahasa Arab agar dapat mengajarkannya kepada anak-anak mereka. Namun, mereka juga tidak dihalang-halangi untuk memiliki kemampuan dalam bidang tertentu yang memungkinkan mereka untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut. Bahkan, untuk bidang-bidang tertentu, mutlak dibutuhkan peran utama wanita di dalamnya, seperti bidang kebidanan. Mereka juga tidak dihalangi untuk mendalami ilmu tertentu dan menekuni profesi tertentu yang dihalalkan bagi mereka. Hanya saja, hal utama yang akan ditanyakan oleh Allah kepada mereka –dalam konteks keluarga- adalah bertanggung-jawab mereka sebagai pengatur rumah dan pendidik anak.

Pada sisi inilah kita juga melakukan kritik terhadap sistem pendidikan kapitalis-sekuler sekarang ini. Sistem ini menutup mata pada realitas bahwa manusia adalah anggota keluarga, kemudian memberi materi pelajaran yang sama antara pria dan wanita tanpa memandang perbedaan fungsi masing-masing yang diberikan Allah sebagai suatu fithrah. Dalam pendidikan kapitalis-sekuler, pria dan wanita sama-sama dibentuk sebagai pencari uang semata. Akibatnya, kita melihat institusi keluarga dalam sistem kapitalis tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena para ibu tidak memiliki bekal ilmu untuk menjadi seorang istri dan ibu yang baik. Para ibu justru hanya memiliki kemampuan sebagai pencari uang, sama seperti laki-laki. Maka dari itu, mereka kemudian menyerahankan fungsi ibu yang sebenarnya kepada para ibu bayaran (pembantu). Masalah ini bukan sepenuhnya kesalahan para wanita, namun mereka hanyalah korban dari sistem pendidikan yang salah asas dan salah orientasi. Tidak jauh beda dengan mereka, kaum pria juga tidak benar-benar dididik oleh sistem pendidikan kapitalis sekuler untuk menjadi suami dan ayah. Menu itu benar-benar tidak dianggap penting oleh sistem pendidikan kapitalis-sekuler. Mereka hanya mendidik manusia untuk menjadi bos atau pekerja. Itulah mengapa, kehidupan keluarga menjadi suatu masalah yang pelik dalam masyarakat kapitalis-sekuler.

Penutup
Pendidikan digunakan untuk mencetak manusia yang baik. Manusia yang baik dalam perspektif islam bukanlah sekedar manusia yang mampu mencari uang, namun manusia yang baik adalah mereka yang dapat menunaikan semua tanggungjawabnya dengan benar, baik sebagai individu, sebagai bagian dari umat dan warga negara, maupun sebagai komponen dari keluarga. Islam adalah diin yang membekali manusia dengan seperangkat pemahaman dan hukum, yang harus diaplikasikan dalam segenap aspek kehidupan. Pendidikan dalam islam dibangun berdasarkan aqidah islam dan diorientasikan untuk membentuk manusia yang mampu menjalankan seluruh fungsinya sebagaimana yang diajarkan oleh islam, sehingga mereka menjadi hamba Allah yang baik dan berhak menikmati kehidupan sebagai penghuni jannah. Wallahu a’lam

[  …Tulisan ini merupakan pengembangan dari sedikit hal yang mampu saya tangkap dari diskusi empat mata dengan seorang senior yang membincangkan masalah pendidikan dengan begitu dalam dan inspiratif. Beliau mungkin tidak akan senang jika saya sebutkan namanya. Hanya saja, saya tidak ridho jika apa yang beliau sampaikan itu hanya mengendap di kepala saya…  ]

source: facebook.com/notes/pembasmi-hama/gambaran-global-pendidikan-dalam-perspektif-islam/10150301482080061


0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More