cari cari ...

Saturday, September 18, 2010

Kritik Terhadap Konsep Perubahan Bertahap (Tadarruj)

Tatkala pemahaman kaum muslim terhadap Islam mengalami kemunduran, dan hampir-hampir berada pada titik nadir, muncullah gagasan-gagasan ganjil yang diklaim berasal dari ajaran Islam Padahal, gagasan-gagasan itu telah menyimpang jauh dan tidak memiliki akar dalam syariat dan ‘aqidah Islam. Diantara gagasan-gagasan itu adalah:


1. Perubahan harus dilakukan secara bertahap.

2. Perubahan harus dimulai dari mengubah negeri-negeri muslim, kemudian semuanya bergabung membentuk Khilafah Islamiyyah.

3. Perubahan harus dimulai dari perubahan individu, keluarga, baru masyarakat.

4. Perubahan harus dimulai dari perubahan akhlaq dan penjernihan hati (qalbun salim).

Kami terpanggil untuk menjelaskan dan menyingkap kekeliruan gagasan-gagasan tersebut, demi obyektivitas, kemurnian ajaran Islam, serta keselamatan dan masa depan umat.



1. Perubahan Harus Dilakukan Secara Bertahap?

Sebelum membahas tentang tadarruj, kita mesti mendefinisikan terlebih dahulu apa itu tadarruj. Ada beberapa pemahaman mengenai tadarruj (bertahap).

Pertama, tadarruj sering diartikan dengan menerapkan syariat Islam secara bertahap, atau melalui tahapan-tahapan. Dengan kata lain, tadarruj adalah menerapkan atau mengakui hukum kufur yang dianggap dekat dengan syariat Islam sebagai tahapan untuk menerapkan syariat Islam secara sempurna. Contoh dari tadarruj model ini adalah partai-partai Islam yang mengikuti pesta demokrasi untuk meraih jabatan presiden, sebelum mengangkat seorang Khalifah. Presiden adalah kepala negara dalam sistem pemerintahan kufur demokratik. Presiden dianggap sebagai sebuah tahapan untuk menuju pembai’atan seorang Khalifah. Contoh lain adalah partai-partai Islam yang melibatkan diri dengan parlemen kufur untuk mengubah sedikit demi sedikit hukum negara dengan hukum Islam; atau mencalonkan orang-orang kafir sebagai wakil umat sebagai tahapan untuk mendakwahi mereka. Mereka menganggap parlemen kufur sebagai wasilah untuk melakukan perubahan sistem, meskipun mereka juga memahami bahwa parlemen demokratik bertentangan dengan Islam secara diametrical. Inilah beberapa contoh yang berhubungan dengan tadarruj.

Kedua, tadarruj juga bermakna, menerapkan sebagian syariat Islam, dan “berdiam diri” terhadap sebagian hukum-hukum kufur untuk sementara waktu, sampai tibanya waktu untuk menerapkan syariat Islam secara sempurna. Contoh yang palang gamblang adalah apa yang dilakukan oleh anggota-anggota gerakan Islam di parlemen demokratik. Mereka berdiam, bahkan melibatkan diri dalam aturan-aturan kufur untuk mengubah hukum-hukum kufur secara bertahap.

Ketiga, tadarruj kadang-kadang juga berhubungan dengan pemikiran-pemikiran yang menyangkut ‘aqidah, misalnya demokrasi Islam, sosialisme Islam, dan lain sebagainya. Kadang-kadang juga berhubungan dengan masalah hukum syariat, misalnya, seorang wanita muslimah mengenakan jilbab yang tidak panjang –sebatas lutut--, hingga tiba waktunya mengenakan jilbab yang sempurna. Tadarruj kadang-kadang juga berkaitan dengan system, misalnya, adanya keinginan sebagian gerakan Islam yang memasukkan anggotanya ke dalam parlemen kufur, atau jabatan-jabatan kenegaraan kufur, sebagai tahapan untuk menuju sistem yang Islam. Tadarruj, juga diartikan sebagai upaya untuk menerapkan hukum syariat dan berdiam diri terhadap hukum-hukum kufur, dengan harapan semakin lama akan semakin banyak hukum Islam yang diterapkan, hingga seluruh sistem berubah sesuai dengan syariat Islam.

Alasan-Alasan Tadarruj

Sebagian kaum muslim yang berpendapat bahwa perubahan harus dilakukan secara bertahap mengajukan beberapa argumentasi sebagai berikut;

Pertama, al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur dan bertahap, bukan dengan cara serentak.

Kedua, dalam penetapan hukum atas beberapa kasus, syara’ juga melakukannya secara bertahap. Contohnya adalah kasus pelarangan riba dan khamer. Mereka menyatakan bahwa pelarangan riba dan khamer dilakukan secara bertahap, bukan secara langsung. Untuk itu, dalam menerapkan aturan-aturan Allah SWT boleh dilakukan secara bertahap, dan tidak harus secara serentak.

Inilah argumentasi-argumentasi yang diketengahkan oleh sebagian gerakan Islam yang membolehkan gagasan tadarruj.

Bantahan atas argumentasi-argumentasi di atas adalah sebagai berikut:

Pertama, benar, al-Qur'an memang diturunkan secara bertahap bukan serentak. Allah SWT menurunkan al-Qur'an sesuai dengan kejadian dan perkara yang terjadi agar ia semakin menguatkan hati kaum muslim. Ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah SWT pertama kali berhubungan dengan masalah keimanan, surga dan neraka, baru kemudian masalah halal dan haram. Namun, ini tidak bisa dipahami bahwa bolehnya kaum muslim mengambil sebagian ajaran Islam dan meninggalkan ajaran yang lainnya.

Kaum muslim di awal-awal Islam senantiasa mengikatkan diri dan menjalankan apa yang diturunkan kepada mereka secara sempurna, tidak secara bertahap. Mereka tidak pernah meninggalkan satupun hukum yang telah kepada mereka. Ketika turun ayat tentang iman, mereka langsung menerapkan dan mengamalkannya secara sempurna. Begitu juga ketika turun ayat berhubungan dengan halal haram, kaum muslim segera melaksanakan dan terikat dengan apa yang ditetapkan oleh Allah SWT.

Ketika Allah SWT baru menurunkan 5 ayat, mereka langsung mengerjakan 5 ayat tersebut secara sempurna. Mereka segera mengerjakan secara serentak lima ayat yang telah diturunkan kepada mereka, bukan secara bertahap. Sebab, ayat yang baru turun kepada mereka hanya lima ayat. Jadi lima ayat ini telah sempurna diturunkan dan diamalkan secara serentak oleh para shahabat. Ketika telah turun 5 ayat, mereka tidak pernah mengerjakan 2 ayat saja, dan meninggalkan 3 ayat yang lain, tadarruj atau dengan alasan al-Qur'an diturunkan secara bertahap.

Para pengusung gagasan tadarruj memahami bahwa al-Qur'an diturunkan secara bertahap, sehingga ketika semua ayat telah sempurna diturunkan kepada kaum muslim, maka kaum muslim boleh mengaplikasikannya secara bertahap sejalan dengan cara diturunkannya al-Qur'an. Akibatnya, sebagian hukum boleh diaplisikasikan terlebih dahulu, sedangkan yang lain tidak diaplikasikan; meskipun hukum yang ditinggalkan itu telah diturunkan kepada mereka. Pemahaman semacam ini jelas-jelas sesat dan keliru. Sebab, aplikasi hukum ketika hukum sudah diturunkan secara sempurna, tidak ada hubungannya dengan periode turunnya al-Qur'an, akan tetapi berhubungan dengan ahkaam takliifiy dan ahkaam al-wadl’iy, dan prinsip istitha’ah (kemampuan). Jika hukum itu telah diturunkan, maka kaum muslim wajib melaksanakan hukum tersebut sesuai dengan syarat-syaratnya (hukum taklifiy dan wadl’iy, istitha’ah).

Atas dasar itu, generasi awal Islam pun telah mengaplikasikan semua ayat yang diturunkan kepada mereka secara sempurna, bukan secara bertahap sebagaimana yang dipahami oleh pengusung gagasan tadarruj. Dengan kata lain, para shahabat tidak pernah melakukan tadarruj, akan tetapi mereka melaksanakan semua hukum yang diturunkan kepada mereka secara sempurna. Para shahabat juga tidak pernah kompromi dengan hukum-hukum kufur sebagai tahapan untuk melaksanakan hukum Islam. Mereka tidak pernah terlibat atau melibatkan diri dengan hukum kufur dengan alasan tadarruj. Ini semakin membuktikan bahwa para shahabat tidak pernah melakukan tadarruj.

Tidak berbeda dengan kaum muslim saat ini. Pada dasarnya, ketentuan Allah telah diturunkan secara sempurna. Dalam kondisi semacam ini, tidak dibenarkan secara syar’iy, kita hanya melaksanakan sebagian hukum Islam dan meninggalkan hukum Islam yang lain dengan alasan tadarruj. Sebab, kaum muslim mesti melaksanakan seluruh ketentuan Allah SWT tanpa terkecuali. Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Iislam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 208).*1)

Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan: “Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi system keyakinan Islam (‘aqidah) dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, I/247).

Imam al-Nasafiy menyatakan bahwa, ayat ini merupakan perintah untuk senantiasa berserah diri dan taat kepada Allah SWT atau Islam. Kata “kaaffah”adalah haal dari dlamir “udkhulu”, dan bermakna “jamii’an” (menyeluruh) (Imam al-Nasafiy, Madaarik al-Tanzil wa Haqaaiq al-Ta’wiil, I/112).

Imam Qurthubiy menjelaskan bahwa, lafadz “kaaffah” merupakan “haal” dari dlamir “mu’miniin’. Makna “kaaffah” adalah “jamii’an” (Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, III/18).

Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi. Mereka mengajukan permintaan kepada Rasulullah Saw agar diberi ijin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya mereka. Selanjutnya, permintaan ini dijawab oleh ayat tersebut di atas.

Imam Thabariy menyatakan: “Ayat di atas merupakan perintah kepada orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.” (Imam Thabariy, Tafsir Thabariy, II/337).

Demikianlah, kami telah menjelaskan kesalahan istinbath sebagian kaum muslim yang membolehkan tadarruj. Turunnya al-Qur'an secara berangsur sama sekali tidak menunjukkan adanya tadarruj, atau kebolehan kaum muslim melakukan perubahan secara bertahap sebagaimana pemahaman sebagian kelompok dan partai Islam. Lebih-lebih lagi jika ada sebagian orang yang memahami bolehnya kaum muslim menerapkan hukum kufur sebagai tahap untuk melaksanakan syariat Islam secara sempurna. Misalnya, fatwa bolehnya kepala negara wanita dengan alasan bahwa ini merupakan satu tahapan untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah. Contoh yang lain adalah, mengangkat orang kafir sebagai caleg sebagai tahapan pertama untuk mendakwahi mereka. Jelas, tadarruj seperti adalah tadarruj yang tidak memiliki akar dalam syariat Islam.

Walhasil, jika masih ada yang menyerukan tadarruj, sementara hukum Allah SWT telah diturunkan secara sempurna, maka seruan ini adalah seruan bathil dan menyalahi nash-nash yang qath’iy.

Adapun dalam konteks aplikasi hukum, maka seluruh hukum yang dibebankan kepada setiap kaum muslim harus dijalankan oleh setiap kaum muslim tanpa pengecualian. Misalnya, sholat, zakat, puasa, nikah, dan lain sebagainya. Demikian juga, jika aplikasi suatu hukum disandarkan kepada partai atau kelompok Islam, maka pelaksanaannya tergantung pada keberadaan partai atau jamaah. Misalnya, kewajiban menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah. Hukum-hukum ini tidak akan bisa diaplikasikan tanpa keberadaan sebuah jama’ah atau partai politik Islam. Sebab, kewajiban ini hanya bisa dipikul oleh kelompok atau gerakan Islam. Bila aplikasi suatu hukum tergantung pada eksistensi negara, maka pelaksanaan hukum tersebut digantungkan kepada negara. Individu tidak boleh menerapkan hukum tersebut. Sebab, individu tidak berhak melaksanakan hukum tersebut. Contohnya adalah, memberikan sanksi hudud dan jinayat, pengaturan urusan publik, politik luar negeri, futuhat dan perang. Hukum-hukum semacam ini, aplikasinya digantungkan kepada eksistensi negara. Sebab, hanya negara yang berhak menerapkan hukum-hukum semacam ini.

Kedua, adapun mengenai kasus pelarangan khamer dan riba, maka siapa saja yang mengkaji masalah ini secara jernih dan mendalam akan berkesimpulan bahwa tidak ada tadarruj dalam kasus tersebut. Lebih dari itu, kasus ini sama sekali tidak boleh digunakan sebagai dalil untuk membenarkan gagasan bathil semacam tadarruj.

Ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum khamer adalah sebagai berikut;

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah, pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat kepada manusia. Tetapi dosa keduanya lebih besar.” (Qs. al-Baqarah [2]: 219).

Ini adalah ayat pertama yang berbicara tentang khamer. Setelah itu turunlah ayat kedua:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 43).

Sedangkan ayat terakhir yang menetapkan keharaman khamer secara tegas adalah firman Allah SWT:

“Sesungguhnya khamer, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilkah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan.” (Qs. al-Maa'idah [5]: 90).

Inilah ayat-ayat yang dijadikan dalil keharusan untuk melakukan perubahan secara berangsur-angsur (tadarruj). Berdasarkan keseluruhan ayat ini mereka berargumentasi bahwa pada awalnya khamer diperbolehkan bagi kaum muslim berdasarkan ayat yang pertama. Selanjutnya, kebolehan khamer tersebut dipersempit; yakni janganlah mengerjakan sholat dalam kondisi mabuk. Artinya, kaum muslim masih diperbolehkan minum khamer, akan tetapi mereka dilarang sholat dalam kondisi mabuk. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 43). Setelah itu, turunlah ayat yang secara tegas mengharamkan khamer. Mereka menambahkan lagi, khamer adalah penyakit masyarakat. Sedangkan jalan untuk mengenyahkan penyakit ini dilakukan secara berangsur-angsur dan bertahap. Walhasil, kisah pelarangan khamer memberikan satu pelajaran bagi kaum muslim, agar dalam mengenyahkan penyakit masyarakat atau melakukan perubahan harus ditempuh secara bertahap, bukan secara serentak. Inilah argumentasi-argumentasi sebagian kaum muslim yang membolehkan tadarruj.

Adapun bantahan atas pendapat di atas adalah sebagai berikut;

Bila ayat-ayat di atas dikaji dengan pemahaman dan istinbath yang benar, maka siapapun tidak pernah berkesimpulan bahwa generasi awal Islam telah melakukan tadarruj, sebagaimana pemahaman sebagian gerakan dan partai Islam.

Apabila ayat-ayat tadi diperhatikan dengan pandangan yang syar’i, maka tidak akan ditemukan tahapan apapun di dalam pengharaman khamer. Sebab, tidak ada hukum atas khamer sebelum turunnya ayat yang mengharamkannya. Artinya, sebelumnya khamer itu dibiarkan, atau maskût ‘anhu (didiamkan) meskipun mereka melakukannya, sampai turunnya ayat yang ke tiga.

Pendiaman atas status hukum khamer ini bisa disimpulkan dari perkataan Umar bin Khattab ra: ‘Wahai Allah, jelaskanlah bagi kami hukum khamer dengan penjelasan yang memuaskan, karena khamer itu menghabiskan harta dan menghilangkan akal.’ Selanjutnya, turunlah firman Allah SWT:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi.” (Qs. al-Baqarah [2]: 219).

Umar lalu dipanggil, dan ayat tersebut dibacakan kepadanya, kemudian ia berkata: ‘Wahai Allah, jelaskanlah bagi kami hukum khamer dengan penjelasan yang memuaskan’; setelah itu turunlah ayat:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk.” (Qs. an-Nisaa' [4]: 43).

Umar lalu dipanggil, dan ayat tersebut dibacakan kepadanya. Umar pun berdoa kembali: ‘Wahai Allah, jelaskanlah kepada kami tentang hukum khamer dengan penjelasan yang memuaskan.’ Kemudian turunlah ayat:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamer (arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah.” (Qs. al-Maa'idah [5]: 90).

Umar pun dipanggil dan ayat tersebut dibacakan kepadanya hingga ketika sampai pada bacaan:

“Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Qs. al-Maa'idah [5]: 91); Umar lalu berkata: ‘Kami berhenti wahai Rabb, kami berhenti wahai Rabb.’ [HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i dan Abu Dawud].

Dari riwayat ini kita bisa menyimpulkan bahwa, hukum khamer didiamkan (maskût ‘anhu) meskipun para shahabat melakukannya. Sayidina Umar terus memohon agar Allah menjelaskan hukum khamer dengan penjelasan yang memuaskan, dimana sebelumnya didiamkan kebolehannya sebelum turunnya ayat yang pertama. Beliau terus memohon meskipun telah diturunkan dua ayat yang pertama dan yang kedua. Hal itu menunjukkan bahwa khamer tetap dalam kebolehannya hingga turunnya ayat pengharaman khamer pada ayat yang ketiga.

Larangan yang terdapat di dalam ayat yang kedua difokuskan kepada shalat dalam keadaan mabuk, bukan ditujukan kepada (haramnya) khamer. Ayat ini berhubungan dengan shalat. Jika kita perhatikan secara lebih seksama terhadap fiqih ayat ini, maka ayat tersebut tidak melarang kaum Muslim meminum khamer selain pada waktu shalat. Yang dilarang atas kaum Muslim adalah shalat dalam keadaan mabuk, sehingga mereka mengetahui apa yang mereka ucapkan. Seandainya -setelah turunnya ayat ini- tercium dari mulut seorang muslim bau khamer ketika dia shalat, atau dia membawa segentong khamer, atau telah meminum khamer dalam jumlah yang tidak sampai membuatnya mabuk, maka hal itu tidak apa-apa baginya (boleh saja).

Allah telah mencela khamar pada ayat yang pertama karena merugikan. Kemudian Allah melarang shalat dalam keadaan mabuk pada ayat yang kedua. Setelah itu Allah mengharamkan khamer pada ayat yang ketiga. Hal semacam ini tidak bisa dikatakan adanya tahapan di dalam pengharaman khamer, karena tidak seorangpun menganggap khamer itu mubah setelah turunnya ayat pengharaman khamer (surat al-Maidah), baik pada masa Rasulullah Saw maupun pada masa sahabat, atau pada masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tidak ada satu pun kitab-kitab fiqih yang dikarang oleh ulama-ulama besar dan para mujtahid umat ini yang membahas masalah tadarruj dalam kasus pengharaman khamer.

Bukti yang lain adalah kisah-kisah futuhât yang dilakukan oleh para shahabat. Dahulu kala, futuhât Islam dilakukan hanya dengan berjalan kaki. Saat itu banyak negeri-negeri dibuka. Pada waktu itu manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah. Kaum Muslim yang membuka negeri itu tidak mempedulikan ke-Islaman saudara-saudara mereka yang masih baru, dan tidak membiarkan mereka minum khamer melalui tahapan sebagaimana ‘tahapan’ yang telah dilewati dalam pengharaman khamer. Artinya, setelah turun ayat pelarangan khamer, para shahabat tidak pernah membolehkan kaum muslim meminum khamer dengan alas an pelarangan khamer itu dilakukan secara bertahap. Hukum terakhir adalah hukum yang ditegakkan, bukan hukum yang telah dihapus atau dianulir.

Padahal, kondisi saat itu sangat menuntut mereka untuk memberikan keringanan kepada saudara-saudaranya yang baru masuk Islam. Namun, para shahabat tetap melarang kaum muslim –meskipun baru masuk Islam—untuk meminum khamer. Ini menunjukkan bahwa, ketika mereka menerapkan hukum, mereka hanya berpatokan pada ayat yang terakhir turun, tidak melakukannya secara bertahap. Wajar saja, karena para ulama kita terdahulu tidak pernah membahas masalah tadarruj.

Demikianlah, anda telah kami jelaskan dengan gamblang kesalahan proses istinbath dan dalil yang diketengahkan para penggagas tadarruj.

Sesungguhnya, tadarruj merupakan pembahasan baru yang dipicu oleh keadaan sulit dan kerasnya situasi. Mereka berusaha menghadapi situasi dakwah yang sulit ini dengan cara menundukkan nash-nash syara’ di bawah keinginan dan kondisi yang sulit. Metodeologi berfikir mereka menjadi terbalik. Mereka telah menetapkan tadarruj terlebih dahulu, baru kemudian dicarikan argumentasi syar’iynya. Mereka beranggapan bahwa tadarruj adalah strategi yang paling mungkin. Namun mereka lupa, bahwa fakta bukanlah dalil syara’, namun obyek yang harus dihukumi. Bahkan dengan congaknya mereka menjadikan tadarruj sebagai metoda berpikir yang tidak hanya mencakup sebagian hukum saja tetapi juga melampaui agama seluruhnya. Benarlah sabda Rasulullah Saw:

“Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang menjumpai perbedaan yang banyak, maka berhati-hatilah kalian dari segala perkara yang menambah-nambah sesuatu yang baru (dalam masalah agama), karena yang demikian itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah (tempatnya) di dalam neraka.” [HR. Tirmidzi dan Abu Dawud].

Seandainya tadarruj diperbolehkan, maka kita bisa mengajukan pertanyaan kepada para penggagas tadarruj: Apakah boleh bagi kita mengambil hukum sebelum Islam dengan alasan tadarruj dalam penerapan hukum?

Tentunya, orang yang beriman kepada Allah akan menjawab dengan tegas: Tidak! Alasannya, hukum pengharaman khamer adalah qath’i, dan secara syar’i kita tidak boleh merujuk kembali kepada hukum sebelumnya, dengan alas an tadarruj. Jika kita melaksanakan hukum sebelumnya –membolehkan meminum khamer--, kemudian secara bertahap diharamkan, berarti kita telah melaksanakan apa yang tidak diperintahkan Allah SWT kepada kita. Sebab, kita hanya diperintahkan untuk mengambil ketetapan hukum yang paling akhir, bukan hukum sebelumnya. Inilah (pendapat) yang dianut oleh orang-orang terdahulu dan kemudian. Hukum khamer sekarang ini hanya satu, yakni haram, dan tidak akan pernah berubah dalam kondisi bagaimanapun. Siapa saja yang membolehkan meminum khamer dengan alasan tadarruj, sungguh ia telah keluar dari kelompok orang-orang beriman. Sebab, ia telah menghalalkan sesuatu yang jelas-jelas dilarang oleh Allah SWT.


2. Perubahan Harus Dimulai Dari mengubah Negeri-Negeri Muslim, Kemudian baru Membentuk Khilafah Islamiyyah?

Gagasan semacam ini merupakan turunan dari cara berfikir tadarruj. Akibatnya, mereka melupakan nash-nash syara’ sharih yang berbicara tentang strategi perubahan serta keharusan untuk hanya menegakkan system pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyyah tanpa melalui tahapan non syar’iy. Mereka menetapkan strategi ini lebih karena mengacu kepada fakta dan kondisi yang ada, bukan berdasarkan pemikiran syar’iy dan pertimbangan strategis yang mendalam dan matang. Anehnya, mereka menyatakan bahwa strategi ini lebih realistis dan mudah, daripada langsung menegakkan Khilafah Islamiyyah.

Padahal, menegakkan secara langsung Khilafah Islamiyyah merupakan strategi yang paling efisien, ampuh, dan memperpendek masa transisi reformasi. Dalam teori transformasi, ada sebuah adagium, “Apakah strategi yang diterapkan itu bisa memperpendek masa transisi, reformasi atau malah memperpanjang.” Contohnya, ketika partai-partai Islam mengangkat Gus Dus sebagai presiden, mereka berharap akan terjadi proses transformasi. Sayangnya, pengangkatan Gus Dur malah memperpanjang masa transisi reformasi. Yang terjadi bukan transformasi atau perubahan, akan tetapi malah muncul problem baru yang harus direformasi. Begitu seterusnya. Begitu juga bila arah perjuangan diarahkan untuk menegakkan Daulah Islamiyyah di masing-masing negeri Islam. Perjuangan semacam ini, malah akan memperpanjang transisi reformasi, bukan memperpendeknya.

Walhasil, mengangkat pemimpin-pemimpin di negeri-negeri Islam merupakan langkah yang secara obyektif malah memperpanjang transisi reformasi, bukan malah memperpendek. Selain itu, kekuatan kaum muslim akan terpecah belah dalam berbagai nation yang justru memudahkan kapitalisme global untuk menguasai kaum muslim dan mengarahkan arah reformasi kaum muslim di setiap negeri Islam. Dengan begitu, kapitalisme global akan lebih mudah dalam mengontrol dan menghancurkan kekuatan kaum muslim yang telah tercerai berai itu.

Selain malah memperpanjang proses dan transisi reformasi, perjuangan untuk mengubah negeri-negeri Islam menjadi Daulah Islamiyyah, justru akan melanggengkan paham nasionalisme dan negara bangsa. Dalam kondisi seperti ini, sangat sulit rasanya melawan konspirasi internasional yang dilancarkan oleh AS dan sekutu-sekutunya. Jika kita menengok kembali sejarah kehancuran kaum muslim, senjata ampuh yang digunakan kaum kafir untuk menggerogoti Khilafah Islamiyyah dan eksistensi kaum muslim sebagai umat wahidah adalah nasionalisme.

Benar, dalam tataran perjuangan atau aktivitas, maka dakwah harus dilakukan dimana kita berada. Ketika kita di Indonesia, maka konteks aktivitas kita adalah di Indonesia, bukan di Malaysia. Namun demikian, secara konsepsi perjuangan di negeri ini juga harus diarahkan untuk menegakkan system pemerintahan yang syar’iy yakni Khilafah Islamiyyah, bukan mendirikan “Daulah Islamiyyah”; atau dipersiapkan untuk menyongsong tegaknya Khilafah Islamiyyah di negeri yang lain. Sebab, sistem ini (Daulah Islamiyyah) jelas-jelas bertentangan dengan nash-nash sharih yang mengharuskan kaum muslim hidup di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyyah.

Dengan kata lain, pada tataran idealitas dan konsepsi, setiap gerakan Islam harus hanya mengusung ide-ide, dan strategi Islamiy ideal. Sedangkan dalam tataran praktis, setiap gerakan Islam harus memfokuskan aktivitasnya di tempat di mana ia tinggal. Yang tidak dibenarkan adalah, mengubah idealitas hanya karena kita berada di sebuah local tertentu, Indonesia misalnya. Contohnya, gerakan ataui partai Islam tidak berjuang menegakkan Khilafah Islamiyyah, akan tetapi malah terlibat dalam system republik, dan berjuang untuk meraih kedudukan-kedudukan yang secara syar’iy tidak dibenarkan, misalnya jabatan presiden, maupun anggota legislative.

Terakhir, gagasan untuk mengubah negeri-negeri Islam baru kemudian menegakkan khilafah Internasional, adalah gagasan yang secara normative jelas-jelas melanggar ketentuan syara’. Gagasan ini sama saja telah menghalalkan sesuatu yang diharamkan dengan alasan tadarruj. Padahal, bukankah system Khilafah merupakan system final yang telah ditetapkan oleh Rasulullah; dan bukankah tidak ada tadarruj di dalamnya? Apakah kita akan memperjuangkan system yang tidak Islamiy, sebagai tahapan menegakkan system Khilafah Islamiyyah? Jawab: tentu tidak! Sebab, jika kita membenarkan gagasan semacam ini, sama artinya kita telah membolehkan sesuatu yang jelas haram, dan melakukan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT. Dengan kata lain, sama artinya kita telah mengiyakan gagasan tadarruj yang bathil itu. Bukankah Rasulullah Saw telah menolak Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi yang mengajukan permintaan kepada Rasulullah Saw agar diberi ijin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya mereka? Bukankah ini merupakan dalil yang sangat sharih agar kita tidak menempuh jalan keharaman, dengan alas an tadarruj?


3. Perubahan Harus Dimulai dari Individu, Keluarga, Masyarakat, baru Negara?

Gagasan semacam ini tidak lepas dari metodologi berfikir tadarruj. Pengusung gagasan ini menganggap bahwa masyarakat itu tersusun dari individu. Atas dasar itu, mengubah masyarakat harus dimulai dari individu, keluarga, dan seterusnya.

Kesalahan dari gagasan ini terletak pada asumsi dasarnya. Sesungguhnya, asumsi bahwa masyarakat itu tersusun dari individu, dan perubahan masyarakat tergantung dari individunya, adalah asumsi yang salah. Sebab, masyarakat tidak hanya tersusun oleh individu, akan tetapi juga disusun oleh pemikiran, perasaaan, dan aturan. Bahkan, ketiga hal inilah yang akan menentukan perubahan masyarakat, bukan individunya. Lebih dari itu, perubahan perilaku individu juga ditentukan oleh perubahan pemikiran dan perasaannya. Atas dasar itu, perubahan apapun, baik individu dan masyarakat harus dimulai dari adanya perubahan pemikiran dan perasaannya.

Demikian juga mengenai masyarakat. Sebuah masyarakat tidak akan berubah sebelum pemikiran, perasaan dan aturan yang tumbuh di dalamnya berubah. Jika semesta pembicaraan kita adalah perubahan menuju masyarakat Islam, maka masyarakat kufur tidak akan berubah menjadi masyarakat Islam sebelum pemikiran dan aturan yang diterapkan berubah. Meskipun individu-individunya seluruhnya beragama Islam, namun selama aturan yang diterapkan di dalamnya bukan aturan Islam, maka masyarakat itu tetap disebut masyarakat kufur. Bahkan, meskipun seluruh individunya memahami Islam dan tergerak untuk mengubah sistem tersebut, namun selama sistem aturannya tidak berubah maka masyarakat di dalamnya tidak disebut sebagai masyarakat Islam. Sebaliknya, walaupun mayoritas individu yang ada di tengah-tengah masyarakat adalah kafir, akan tetapi selama aturan yang diberlakukan dan keamanan di negeri itu dijamin oleh kaum muslim, maka masyarakat itu tetap disebut sebagai masyarakat Islam. Ini menunjukkan bahwa perubahan masyarakat harus dimulai dari perubahan aturan dan pemikiran yang ada di dalamnya.

Dengan kata lain, perubahan masyarakat harus dilakukan dengan cara mengubah sistem aturan dan pemikiran mendasar yang dijadikan landasan oleh masyarakat tersebut. Di sisi yang lain, sebuah gerakan maupun partai tidak akan mampu mengubah setiap individu yang ada di tengah-tengah masyarakat sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Bahkan, keadaan semacam ini sudah merupakan sunnatullah yang telah digariskan oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman:

“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat saja, akan tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu…” (Qs. al-Maa'idah [5]: 48).

Keadaan ini semakin memperkuat bahwa perubahan masyarakat tidak disandarkan pada perubahan individu-individunya, akan tetapi pada sistem aturan yang diberlakukan.

Benar, Rasulullah Saw berdakwah seorang diri, kemudian menghubungi para shahabat satu persatu. Akan tetapi, tidak boleh dipahami bahwa dakwah yang ditujukan oleh Rasulullah Saw adalah dakwah yang ditujukan untuk hanya mengubah individu-individunya saja, sehingga jika individu ini berubah maka keluarga dan masyarakat pun juga akan berubah. Pemahamannya tidaklah demikian.

Sesungguhnya, individu-individu ini dipersiapkan oleh Rasulullah Saw untuk melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat dengan jalan menyerang seluruh pemikiran, keyakinan dan aturan-aturan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Jadi watak perubahan yang ditanamkan oleh Rasulullah kepada para kadernya adalah perubahan yang bersifat sistemik, bukan individual.

Di samping itu, Rasulullah Saw juga mengutus para shahabat untuk menghubungi para pemimpin kabilah –sebagai representasi dari kekuatan masyarakat—dan menggalang dukungan dari mereka. Rasulullah Saw juga melakukan thalabun nushrah kepada para pemimpin kabilah Arab untuk diminta kekuasaannya. Kenyataan ini semakin membuktikan bahwa dakwah untuk mengubah masyarakat kufur tidak dilakukan dengan konsens pada perubahan individunya belaka. Lebih dari itu, perubahan masyarakat harus dilakukan dengan cara mengubah sistem aturan yang ada di dalamnya sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw. Sedangkan dakwah Rasulullah Saw, jelas-jelas menunjukkan bahwa beliau melakukan perubahan masyarakat dengan cara mengubah pemikiran, dan aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat dengan cara mendirikan kekuasaan Islam.

Sebuah kesalahan jika dakwah Rasulullah saw difokuskan hanya untuk mengubah individu, sehingga secara otomatis ada perubahan keluarga dan masyarakat. Dakwah Rasulullah Saw tidak seperti itu. Dakwah beliau tetap konsens untuk menyerang pemikiran, aturan, keyakinan dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Sebab, pemikiran dan aturan adalah factor utama penyusun masyarakat sekaligus penentu corak dari sebuah masyarakat.


4. Perubahan Harus Dimulai Dari Perubahan Akhlaq Dan Qalbu

Ini adalah gagasan dangkal dan premature dalam memahami proses perubahan masyarakat.*2) Untuk menjawab gagasan ini, perlu kiranya kami mengemukakan sebuah tamsil yang paling mudah. Jika anda ditanya, bagaimana cara mengoperasikan dan memperbaiki pesawat terbang? Tentu anda tidak mungkin menjawabnya dengan jawaban, “Anda mesti jujur, berhati bersih, murah hati, atau berakhlaq mulia, hingga anda berhasil memperbaiki pesawat ini.” Tentunya anda akan menjawab, “Pesawat ini baru bisa diperbaiki dan dioperasikan jika anda telah mengerti system pengoperasian dan mekanisme perbaikannya.” Seandainya anda pemilik pesawat, kemudian anda disodori seorang pilot yang juga ahli teknisi pesawat, dan seorang pedagang yang terkenal memiliki akhlaq yang baik namun buta mengenai seluk beluk pesawat terbang, lantas mana yang akan anda pilih untuk memperbaiki pesawat terbang; dan mana yang anda anggap bisa menyelesaikan masalah? Tentunya, setiap orang bisa menjawab bahwa untuk menyelesaikan masalah ini dibutuhkan orang yang mengerti sistem pesawat dan pengoperasiannya, bukan orang yang berakhlaq baik. Bahkan, akhlaq dalam masalah ini tidak berhubungan dengan cara pengoperasian dan perbaikan pesawat.

Demikian pula jika pokok pembicaraan kita adalah perubahan sistem. Jika sistem masyarakat yang hendak kita ubah, maka arah perjuangan kita harus difokuskan kepada perubahan sistemnya (aturannya), bukan diarahkan kepada perubahan akhlaq maupun hati. Sebab, akhlaq dan qalbu adalah perkara yang bersifat individual, bukan sistemik.

Perubahan akhlaq dan hati (qalbun salim) tidak berhubungan sama sekali dengan perubahan warna masyarakat. Contohnya, masyarakat Hindu dan Budha terkenal memiliki nilai-nilai akhlaq dan hati yang baik. Bahkan mereka sangat menjunjung nilai-nilai tersebut dan berusaha untuk menerapkannya dalam kehidupan. Akan tetapi, masyarakat mereka tetap disebut sebagai masyarakat kufur, meskipun akhlaq dan hati mereka terkenal baik.

Masyarakat mereka tidak otomatis berubah menjadi masyarakat Islam, meskipun akhlaq dan qalbu mereka baik. Seandainya perubahan system harus dimulai dengan perubahan akhlaq dan hati, tentunya ketika akhlaq dan hatinya berubah, masyarakatnya juga ikut berubah.

Masyarakat di negeri-negeri Islam juga terkenal memiliki akhlaq dan qalbu yang sangat baik, akan tetapi masyarakat di negeri-negeri Islam, misalnya Iraq dan Iran, tetap saja tidak berubah statusnya menjadi masyarakat Islam. Ini disebabkan karena system aturan yang diterapkan di negeri-negeri itu bukan hukum Islam. Akibatnya, masyarakat di Iraq dan Iran tidak bisa disebut masyarakat Islam.

Walhasil, dakwah mengubah masyarakat harus dimulai dengan cara mengubah pemikiran, perasaan dan aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat tersebut.

Namun demikian, bukan berarti kita mengabaikan atau menganggap remeh masalah akhlaq dan qalbu salim, akan tetapi kita hendak mendudukkan secara proporsional keduanya di dalam ranah yang sebenarnya. Bahkan, tidak disebut berakhlaq mulia dan berhati baik, ketika seseorang sibuk berdzikir, wirid, dan memberikan pengajian-pengajian qalbu, namun berdiam diri atau malah melibatkan diri dengan aturan-aturan kufur. Yang benar adalah seorang muslim mesti memiliki akhlaq dan hati yang baik, yang tercermin dalam perilakunya; yakni menjalankan seluruh perintah Allah dan berjuang untuk membidas system kufur dan diganti dengan sistem Islam.

Demikianlah, anda telah kami jelaskan secara ringkas namun detail, gagasan-gagasan seputar perubahan yang mesti diubah. Sungguh, kemulyaan hanya milik Allah. Dialah yang akan memenangkan siapa saja yang teguh dalam membela kebenaran dan kebersihan diinNya dari unsure-unsur kekufuran, kefasikan dan kedzaliman.


Manhaj Rasulullah dalam Mengubah Masyarakat

Meraih kekuasaan dari tangan umat adalah thariqah untuk menerapkan syariah Islam. Akan tetapi, cara untuk meraih kekuasaan dari tangan umat harus dilakukan sesuai dengan manhaj (metode) yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw.

Di bawah ini adalah prinsip-prinsip dakwah Rasulullah Saw untuk mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islamiy.

1. Perjuangan harus dilakukan secara kolektif (amal jama’iy) bukan individual. Perjuangan semacam ini bisa dituangkan dengan cara membentuk harakah, partai, maupun jama’ah yang bersendikan ‘aqidah Islam.

Ini didasarkan pada fakta sejarah perjuangan Rasulullah Saw dan para shahabat. Beliau Saw dan para shahabat merupakan gambaran factual sebuah perjuangan kolektif.

Rasulullah Saw berkedudukan sebagai pemimpin bagi kutlah (kelompok) shahabat yang memimpin para shahabat untuk meruntuhkan rejim kufur saat itu.*3)

Di sisi lain, perjuangan menegakkan kembali sistem Islam tidak mungkin dipikul oleh perjuangan individual, akan tetapi mutlak memerlukan sebuah perjuangan kolektif. Berdasarkan kaedah ushul fiqh, “Tidak sempurnanya suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.”

Menegakkan sistem Islam adalah kewajiban yang tidak mungkin dipikul oleh gerakan individual, akan tetapi harus diemban oleh sebuah kelompok. Walhasil, adanya kelompok merupakan keniscayaan bagi berhasilnya perjuangan menegakkan sistem Islam.

2. Kelompok tersebut melakukan pembinaan (halaqah) anggota-anggotanya dengan tsaqafah Islam, selanjutnya melakukan interaksi dengan masyarakat. Ini ditujukan agar anggota kelompok tersebut memahami visi dan misi perjuangan, dan agar mereka melebur dengan ‘aqidah dan tsaqafah Islam. Namun, kelompok tidak hanya melakukan pembinaan untuk anggota-anggotanya saja, akan tetapi ia harus membina umat agar umat memahami Islam dan mau mendukung perjuangan untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam.

Dengan kata lain, partai Islam harus berjuang sejalan dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, yang dimulai dari (1) pembinaan, (2) berinteraksi dengan masyarakat, (3) mengambil alih kekuasaan melalui umat.

Rasulullah Saw membina para shahabat di rumah Arqam. Beliau juga melakukan halaqah di tempat-tempat yang telah ditentukan. Pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam pada diri shahabat. Tidak hanya itu, pembinaan yang dilakukan oleh beliau Saw juga ditujukan agar para shahabat mampu mendakwahkan Islam kepada masyarakatnya.

Beliau dan para shabahat tidak henti-hentinya menyerang kebusukan aqidah-aqidah dan pranata jahiliyyah yang ada di tengah-tengah masyarakat. Beliau dan para shahabat sering menyinggahi pasar-pasar, baitullah, dan tempat-tempat yang sering dituju oleh masyarakat.

3. Parpol Islam harus mempersiapkan pemikiran dan metode untuk menerapkan pemikiran tersebut kepada masyarakat sedetail dan serinci mungkin. Kelompok Islam tidak boleh hanya berbekal semangat belaka untuk melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat.

Kelompok Islam harus bisa menggambarkan secara detail dan rinci bagaimana sistem pemerintahan, peradilan, politik luar negeri dan dalam negeri, sistem ekonomi, sistem hubungan social Islamiy dan lain-lain. Bahkan ia harus sudah mempersiapkan konstitusi Islam yang menggambarkan sistem Islam secara utuh.

4. Partai atau kelompok tersebut hanya mendakwahkan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum yang lahir dari ‘aqidah dan hukum Islam. Partai tidak akan menerima pemikiran-pemikiran yang sudah disusupi oleh ideologi-ideologi, pranata, maupun tata nilai yang bertentangan dengan Islam. Partai politik Islam juga tidak boleh tunduk dengan syarat-syarat yang tidak Islam; misalnya syarat bahwa partai harus mengakui paham-paham kufur, atau tidak boleh mengubah sistem yang ada dengan sistem Islam.

Al-Quran telah menyatakan dengan sangat jelas;

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 208).

Dalam menafsirkan ayat ini Imam Abu al-Fida' Isma'il Ibnu Katsir menyatakan, “Allah SWT memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai Rasul-Nya, untuk mengambil seluruh ikatan dan syari'at Islam, mengerjakan seluruh perintah-Nya serta meninggalkan seluruh larangan-Nya, selagi mereka mampu.”*4) Sedangkan Imam 'Abdullah bin Ahmad bin Mahmud An-Nasafiy, menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah berserah diri dan ta'at, yakni berserah diri dan ta'at kepada Allah atau Islam.

Diriwayatkan dari Ikrimah, firman Allah di atas diturunkan pada kasus Tsa'labah, 'Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi yang lain. Mereka mengajukan konsensi kepada nabi untuk diijinkan memuliakan hari Sabtu sebagai hari besar orang Yahudi (hari Sabath). Kemudian dijawab oleh Allah dengan ayat di atas.*5) Selanjutnya Imam Thabariy menyatakan bahwa Ikrimah telah menjelaskan dengan pengertian sebagaimana yang kami katakan dalam hal itu. Bahwa ta'wil ayat di atas adalah seruan kepada orang-orang mu'min untuk menolak semua perkara yang tidak lahir dari hukum Islam. Ayat ini juga memerintahkan kaum muslim agar melaksanakan semua syari'at Islam dan melarang kaum muslim untuk melenyapkan hukum-hukum Islam meskipun sebagian hukum saja.*6)

5. Perubahan yang diusung oleh gerakan tersebut haruslah berupa perubahan yang bersifat menyeluruh, bukan parsial. Perubahan harus diarahkan kepada perubahan system, bukan perubahan yang digantungkan kepada perubahan personal atau moral.

Inilah prinsip-prinsip dasar dalam memperjuangkan penerapan Islam di tengah-tengah kehidupan. Masalah ini harus dijadikan focus perhatian setiap gerakan Islam yang ingin berdakwah sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw. Sungguh, apabila parpol-parpol Islam memperjuangkan Islam sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, tentu mereka akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT. Sebaliknya, jika mereka tidak berjuang sejalan dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, mereka akan menuai kegagalan.

Dari seluruh penjelasan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa pemilu dan parlemen sekarang ini bukan jalan syar’iy untuk memperjuangkan penerapan syariat Islam. Akan tetapi, jalan syar’iy untuk melakukan perubahan masyarakat adalah manhaj dakwah Rasulullah Saw.


Catatan Kaki:

1. Lihat Islam Kâffah, M. Harun al-Rasyid Ramadhana, Publikasi 11/01/2004, http://www.hayatulislam.net/comments.php?id=77_0_1_0_C

2. Lihat Akhlaq Dan Kebangkitan Umat, Syamsuddin Ramadhan, Publikasi 10/03/2004, http://www.hayatulislam.net/comments.php?id=101_0_1_0_C

3. Lihat Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam. Bandingkan pula dengan Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Daulah al-Islamiyyah, hal. 13-14

4. Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir ; I/247

5. Lihat Imam Ibnu Jarir al-Thabariy, Tafsir al-Thabariy, II/337

6. ibid; hal. 337

 sumber : pemahaman seputar perubahan yang mesti diubah 

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More