Makna Ibadah Haji dan Kurban. Salah satu makna terbesar yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah haji adalah semangat persatuan dan kesatuan umat. Dalam ibadah haji semua jemaah harus berganti pakaian ikhrom. Karena pakaian sering kali melambangkan status, level, strata, tingkatan, jabatan, pangkat, dan derajat.
Pakaian menciptakan “batas” palsu, dinding penyekat yang menyebabkan perpecahan di antara manusia. Selanjutnya dari perpecahan itu, dari rasa beda baju, beda status, beda golongan, timbul konsep “aku,” bukan “kami atau kita,” sehingga yang menonjol adalah kelompokku, kedudukanku, golonganku, sukuku, ataupun bangsaku.
Padahal penonjolan “keakuan” adalah perilaku orang musyrik yang dilarang oleh Allah SWT. Allah berfirman, “Janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah agama mereka dan mereka menjadi beberapa partai. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum 31-32).
Para jemaah haji mengenakan pakaian yang sama, yaitu kain kapan—biasanya digunakan sebagai pembungkus mayat—yang terdiri dari dua helai kain putih yang sederhana. Semua memakai pakaian seperti ini. Tidak ada bedanya antara yang kaya dan miskin, yang terhormat dan orang kebanyakan, yang berasal dari timur dan dari barat. Mereka memakai pakaian yang sama, berangkat pada waktu dan tempat yang sama dan akan bertemu pada waktu dan tempat yang sama pula. Mereka beraktivitas dengan aktivitas yang sama, dan menggunakan kalimat yang sama “LabbaikAllahumma labbaik, labbaikalaa syariikalaka labbaik, inalhamda, wani’mata lakawalmulk laa syarikalak… (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kekuatan hanyalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu).
Manusia yang tadinya terpecah-pecah dalam berbagai ras, negara, kelompok, suku, dan keluarga, dengan ibadah haji dihimpun oleh Allah SWT dengan berbagai faktor kesamaan agar mereka menjadi satu. Hal ini mengisyaratkan bahwa segala permasalahan umat Islam akan dapat terselesaikan secara mendasar apabila mereka bersatu dan bersama-sama dalam bersikap, berbuat, dan menetapkan pilihan.
Untuk mewujudkan kesatuan umat dan mengatasi problematika umat ini memang membutuhkan pengorbanan, tanpa pengorbanan mustahil hal itu akan terwujud. Kalau November nanti adalah bulan pahlawan, maka pengorbanan adalah jiwa kepahlawanan itu. Jika Nabi Ibrahim rela mengorbankan kebahagiaan keluarga, istri tercinta, bahkan anaknya yang baru semata wayang. Namun kemudian Ibrahim disebut dengan pahlawan tauhid, bapaknya para nabi. Jika Nabi Muhammad ikhlas mengorbankan harta, tenaga, pikiran dan keluarganya, namun kemudian Muhammad-lah sang pahlawan kaum duafa, sang penganjur zakat, nabi akhiruz zaman.
Saat ini Islam menunggu mereka-mereka yang rela berkorban demi tegaknya agama. Berkorban untuk agama bukan berarti merusak fasilitas, mengganggu ketenteraman dan menebarkan ancaman. Walaupun atas nama agama, tapi berkorban demi agama berarti mau berjuang menyebarkan salam, menyebarkan kedamaian Islam sebagai rohmatan lil ‘alamin dan menyampaikan risalah Allah dengan penuh kesabaran. “Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Wal ‘ashr)
Di waktu-waktu menjelang Hari Raya Kurban, menjelang peringatan komitmen keimanan, ketakwaan dan kepasrahan Nabi Ibrahim ini, adalah saat yang tepat untuk menilai dan mengevaluasi kembali sampai sejauh mana kita mengasah dan mengolah rasa, meningkatkan takwa dan mempertebal iman di dada.
Ibrahim adalah contoh sosok yang hatinya selalu mencoba berpetualang. Di kala usia masih belia, Ibrahim muda melihat matahari di siang hari kemudian dia berkata, “Wahai matahari, sinarmu begitu terang, panasmu mencerahkan kehidupan. Berarti kaulah sumber kehidupan! Maka kaulah Tuhan.” Tapi apa dikata, ketika waktu mulai malam, matahari pun menghilang dan Ibrahim muda berkata, “Amboy... Tuhanku bisa hilang?”
Namun kemudian dia melihat rembulan yang bersinar terang benderang. Sehingga gelapnya malam menjadi hilang terkena temaram sinar bulan itu. Ibrahim Muda berkata, “Wahai bulan! Saat ini telah kutemukan dan kupastikan, engkaulah Tuhan sesembahan.” Tapi kemudian menjelang fajar, sang tuhan rembulan hilang temaram dan pelan-pelan tersembunyi di balik awan. Kembali Ibrahim muda merasa kecewa, hatinya gundah-gulana dan bertanya, “Siapakah sebenarnya Tuhanku ini?” Lama Ibrahim merenungkan makna kehidupan, sampai kemudian Allah membisikkan di dalam hatinya untuk melihat ayat-ayat alam, tentang kematian, kehidupan, bergantinya siang dan malam. Maka Ibrahim sampai pada kesimpulan. “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.”
Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim adalah contoh orang yang mampu mengarahkan suara hatinya. Banyak orang yang sudah tidak mampu lagi mengarahkan hatinya, pikirannya atau mentalnya. Hukum dianggap tidak ada, aturan diremehkan, syariah dilupakan. Itu karena di dalam diri kita sendiri minimal ada tiga musuh yang harus kita lawan.
Musuh pertama, adalah nafsu lahiriah atau insting hewani. Musuh ini mudah dikenali. Karena sebenarnya nafsu itu diberikan Allah untuk mempertahankan hidup agar kita tidak lapar, tidak sendiri dan tentu saja tidak mati. Perlu juga kita waspada terhadap nafsu-nafsu turunannya, yaitu nafsu bahimiyyah dan lawwamah. Nafsu bahimiyah adalah sifat hewan yang pemalas, tidak mau susah dan tidak mau berpikir panjang. Sedangkan nafsu lawamah adalah perilaku selalu iri, ingin menang sendiri dan tidak memiliki nurani.
Musuh kedua ini agak susah dideteksi, karena ketika dorongan itu muncul kita sama sekali tidak merasa bersalah. Contoh hasrat ingin berkuasa yang tampak manusiawi saja. Tapi ketika hasrat kekuasaan itu diikuti dengan menghalalkan segala cara, maka akan menimbulkan malapetaka, layaknya Firaun, Namruj, Mao Se Tung, Lenin, ataupun Mussolini.
Mao Setung dan Lenin dengan konsep sama, rata-sama rasa merasa itu adalah tugas mulia, tapi karena tidak dibarengi oleh Nurani Ilahiyah, maka justru menjadikan mereka penguasa-penguasa yang keji. Demikian pula dengan Firaun dan Namruj yang mengangkat dirinya laksana Tuhan. Ini pun mereka rasa sebagai tugas suci, tapi sebenarnya sungguh sangat dibenci. Mungkin demikian pula dengan Dr Azhari, Nurdin M Top ataupun Osama, bagi mereka penegakan daulah Khilafah adalah amanah dari sang Illah, tapi ketika dilakukan dengan cara yang salah, maka tetap salah dan tidak barokah.
Musuh terakhir yang paling berat dan paling sulit disembuhkan adalah dorongan untuk menyembah Tuhan yang lain selain Allah. Sering kita menjadikan harta, jabatan, kehormatan, benda-benda, uang, mobil atau bahkan cinta asmara sebagai Tuhan pengganti Allah. Ingat firman Allah ini, “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Kalau dulu berhala hubal oleh kaum kafir Quresy disembah, dipuja dan diberikan sesajian. Sekarang ini hubal bertransformasi dalam bentuk kekuasaan, uang, jabatan ataupun kedudukan. Kita sering kali mentuhankan materi dan melupakan Allah Ilahi Robbi, kita puja uang dan jabatan dan kita lupakan siapa Penguasa Hari Pembalasan.
Dulu untuk Hubbal diberikan sesajian makanan, hasil berburu dan hasil pertanian. Sekarang sesajian itu bertransformasi dalam bentuk sogokan, kolusi dan amplop picisan. Semoga kita termasuk orang-orang yang tetap istiqomah dalam takwa kita.
Fatkhur Rohman Az Zidani. Staf Perencanaan Kemenag Sanggau. www.equator-news.com Makna Ibadah Haji dan Kurban