TEMPO Interaktif, Jakarta -Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi, yang rencananya akan diberlakukan mulai Oktober, berpotensi menimbulkan penyimpangan berupa penimbunan atau pengoplosan. Menurut Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, masalah itu terjadi akibat adanya disparitas harga, seperti yang terjadi pada tabung gas 3 kilogram dan 12 kilogram.
"Pemerintah lagi-lagi menciptakan bom waktu yang justru akan merugikan konsumen, operator, dan pemerintah itu sendiri," katanya ketika dihubungi kemarin.
Karena itu, ia meminta pemerintah membuat konsep yang jelas dulu tentang kebijakan pembatasan penggunaan bahan bakar itu. Pemerintah juga harus memiliki antisipasi untuk masalah yang akan terjadi di lapangan. "Pemerintah harus tahu tahun kapan subsidi akan dicabut dan formatnya seperti apa, sehingga masyarakat bisa terlindungi dari efek sosial-ekonomi," ujar Tulus.
General Manager PT Pertamina (Persero) Retail Bahan Bakar Minyak Region III, Hasto Wibowo, memperkirakan akan terjadi antrean panjang kendaraan jika kebijakan itu diberlakukan. Menurut Hasto, antrean panjang akan terjadi karena jatah Premium yang dijual di stasiun pengisian bahan bakar dikurangi.
Namun, kata dia, Pertamina akan berusaha mencari cara supaya antrean di pompa bensin tidak terlalu panjang. Cara paling efektif adalah menyediakan jalur khusus untuk sepeda motor dan angkutan umum di stasiun-stasiun pengisian yang terkena dampak pembatasan itu.
Pengawas tempat pengisian bahan bakar Lor Beteng di Jalan Mayor Kusmanto, Surakarta, Danang Romy Wijaya, mengaku akan kesulitan jika kebijakan itu diterapkan. "Karena, sebagai penjual, kami tidak bisa memaksa pembeli," katanya. Terutama memaksa masyarakat yang sekilas tergolong mampu ternyata membeli bahan bakar bersubsidi. "Di SPBU ini, mobil-mobil mewah pun belinya Premium, bukan Pertamax," katanya.
Menurut dia, selama ini pompa bensinnya hanya berhasil menjual rata-rata 500 liter Pertamax per hari. Jauh lebih sedikit dibanding Premium, yang mencapai 16 ribu hingga 20 ribu liter per hari. Saat ini Premium dijual Rp 4.500 per liter, sementara Pertamax Rp 6.550.
Pengusaha stasiun pengisian bahan bakar Pertamina yang tergabung dalam Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) diperkirakan terancam akan merugi jika pemerintah jadi melakukan pembatasan konsumsi bahan bakar bersubsidi.
Menurut Ketua Hiswana Migas Eri Purnomohadi, jika program pembatasan dilakukan di wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat, sekitar 1.312 pompa bensin akan terpengaruh. Kalau melebar hingga ke wilayah luar Jawa, program itu akan berdampak terhadap 2.780 pompa bensin.
Eri menghitung, untuk mengganti jenis Premium dan solar yang masih disubsidi pemerintah dengan bahan bakar jenis lain dalam satu tangki pompa bensin, dibutuhkan biaya pengurasan sekitar Rp 100 juta.
"Investasi sebesar ini, siapa yang akan menanggung?" kata Eri ketika dihubungi, Senin lalu. "Kami ini pengusaha kecil, bukan konglomerat yang mengemplang pajak."
DANANG WIBOWO | UKKY PRIMARTANTYO
tempointeraktif.com
0 comments:
Post a Comment