Muthlaq adalah lafadz yang menunjuk pada obyek yang meliputi semua jenisnya, sedangkan muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan pada obyak tertentu seperti Zaid dan Amru. Sebutan muqayyad berlaku juga pada lafadz yang menunjukkan pada sifat yang ditunjuk oleh lafadz mutlak dengan sifat tambahan misalnya diinarun 'iraqiy (dinar Iraq)dan janiihun misriy (poundsterling Mesir). Maka lafadz dinaarun iraqiy itu adalah mutlak pada jenisnya maka dinar Irak mencakup semua dinar Irak.
Namun terkait dengan kata diinar bersifat mutlak, apabila tanpa diikuti dengan penjelasan apakh Irak atau Yordania, adalah muqayyad, maka lafadz tersebut pada satu sisi mutlak dan pada sisi yang lain muqayyad. Seperti raqabatum-mukminah (budak wanita mukminah), lafadz tersebut apabila mencakup semua budak wanita yang mukmin adalah mutlak. Maka lafadz tersebut mencakup semua budak wanita mukminah. Tapi terkait dengan kemutlakan kata raqabah kata tersebut adalah muqayyad.
Maka lafadz raqabah tersebut mutlak pada satu sisi, muqayyad pada sisi yang lain. Artinya bahwa kategori yang kedua dari muqayyad ini adalah apa yang dikeluarkan dari meliputi jenisnya dengan suatu bentu tertentu, seperti mengeluarkan lafadz diinar yang mutlak dengan sifat tambahan yaitu iraqiy. Seperti mengeluarkan lafadz raqabah yang mutlak dengan sifat tambahan yaitu mukminah.
Apabila ada nash yang mutlak seperti firman-Nya Ta'ala:
"Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur." (TQS Al Mujaadilah(58):3)
terdapat nash yang sama yang bersifat muqayyad pada ayat yang lain seperti firman-Nya Ta'ala:
"…dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…" (TQS An Nisa'(4):92)
Maka perlu dikaji terlebih dahulu, jika hukum kedua ayat tersebut berbeda maka yang mutlak tidak mengangkat yang muqayyad karena pada masing-masing terdapat hukum yang berbeda satu dengan yang lain. Tapi jika tidak berbeda hukumnya perlu dikaji terlebih dahulu, jika sebab dari keduanya adalah satu kesatuan maka yang mutlak mengangkat yang muqayyad seperti kalau Allah berfirman tentang dzihar:
"merdekakan budak"
Kemudian Allah berfirman: "merdekan budak wanita yang mukminah". Maka raqabah pada ayat yang pertama mengangkat nash yang kedua yaitu bahwa raqabah tersebut adalah mukminah. sesungguhnya disini terjadi pengangkatan mutlak atas muqayyad, karena barang siapa yang beramal dengan muqayyad maka mencukup beramal dengan dalalah yang mutlak, tapi barangsiapa yang mengamalkan yang mutlak maka tidak memadai untuk mengamalkan dalalah muqayyad. Maka mengumpulkan adalah suatu keharusan dan tentu lebih utama. Tapi apabila terjadi perbedaan sebab dari keduanya maka yang mutlak tidak mengangkat yang muqayyad sebagaimana firman Allah pada kafarat dzihar:
"Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur." (TQS Al Mujaadilah(58):3)
Dan firman-Nya Ta'ala tentang pembunuhan yang keliru:
"…dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…" (TQS An Nisa'(4):92)
memerdekakan budak pada kafarat dzihar datang secara mutlak, sedangkan memerdekakan budak pada pembunuhan orang mukmin karena kekeliruan datang dalam bentuk muqayyad bahwa budak yang dimerdekakan tersebut harus mukmin,sementara sebab memerdekakan (budak) berbeda satu sama lain. Oleh karena itu yang mutlak tidak mengangkat yang muqayyad karena adanya perbedaan pembahasan latar belakang memerdekakan budak sebagimana perbedaan dalam hukum. Maka sebagaimana yang mutlak tidak mengangkat yang muayyad ketika hukumnya berbeda, demikian pula apabila ada perbedaan topik bahasan dalam sebab. Allah merintahkan pada topik dzihar untuk memerdekakan budak yang datang secara mutlak dan tetap dalam kemutlakannya. Adapun perintah Allah pada topik bahasan pembunuhan atas orang mukmin secara tidak sengaja kata budak di dalamnya dalam bentuk muqayyad, maka kata budak wanita mukminah itu terikat dengan topik tersebut dan tidak berlaku pada yang lain. Kafarat tidak mencakup semua kafarat. Dalil bahwa jika ada perbedaan sebab maka yang mutlak tidak mengangkat yang muqayyad adalah tentang puasa (sebagai kafarat) sumpah yang datang secara mutlak, Dia Ta'ala berfirman:
"…Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari…"(TQS Al Maidah(5):89)
Disini datang secara mutlak dan tidak disebutkan apakah puasanya berturut-turut atau terpisah-pisah. Juga terdapat puasa kafarat dzihar yang berturut-turut Dia Ta'ala berfirman:
"…maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut…" (TQS Al Mujaadilah(58):4)
maka kalaulah yang mutlak mengangkat yang muqayyad maka puasa pada kafarat sumpah itu akan memuat puasa pada kafarat dzihar padahal tidak ada orang yang menyatakan demikian. Oleh kerena itu maka mereka yang menyatakan tentang berturut-turutnya puasa sumpah yang tidak mengangkat puasa kafarat dzihar, tapi mereka mengangkat yang muqayyad tersebut berdasarkan qira'at Ubay bin Ka'ab dan Ibnu Mas'ud:"tiga hari berturut-turut". Dengan asumsi bahwa bacaan yang sifatnya ahad itu posisinya layaknya khabar yang dapat mentaqyid yang mutlak serta mentakhsis yang umum.
Padahal ini juga merupakan suatu kekeliruan. Sebab khabar ahad itu adalah bagian dari As Sunnah sedangkan As Sunnah itu dapat mentakhsis keumuman al Kitab serta mentaqyid kemutlakan Al Qur'an. Adapun bacaan-bacaan yang ahad sifatnya bukanlah bagian dari Al Qur'an,yakni qira'at tersebut tidak dianggap sebagai bagian dari Al Qur'an. Karena tidak dikategorikan sebagai bagian dari Al Qur'an kecuali yang diriwayatkan secara mutawatir.
Oleh karena itu qira'ah-qira'ah ini tidak tepat untuk mentaqyid kemutlakan Al Kitab sebagaimana tidak tepatnya untuk mentakhsis keumuman Al Kitab. Berdasarkan ini menjadi jelas bahwa perbedaan sebab itu layaknya perbedaan hukum yang di dalamnya mutlak tidak mengangkat muqayyad, sebagaimana tidak mengangkatnya puasa kafarat sumpah atas puasa kafarat dzihar, begitu pula bahwa memerdekakan (budak) sebagai kafarat dzihar tidak mengangkat memerdekakan (budak) yang merupakan kafarat pembunuhan (secara tidak sengaja).
Maka apabila terjadi perbedaan sebab maka mutlak tidak mengangkat muqayyad. Demikianlah, bahwa apa yang berlaku pada umum dan khusus berlaku pula pada mutlak dan muqayyad karena keduanya dari bab yang sama. Umum itu lawannya khusus dan di dalamnya terjadi takhshish, sedangkan mutlak itu lawannya muqayyad dan di dalamnya berlaku taqyid. Maka Al Kitab itu ditaqyid oleh Al Kitab, As Sunnah, ijma' shahabat dan qiyas. Sedangkan As Sunnah ditaqyid oleh Al Kitab, As Sunnah, Ijma' shahabat dan qiyas. Dan semua yang berlaku pada umum dan khusus berlaku pula pada mutlaq dan muqayyad.
MUJMAL (GLOBAL)
Mujmal adalah lafadz yang tidak dapat difahami dari lafadz tersebut ketika menyebut sesuatu tertentu, tapi difahami dari lafadz tersebut lebih dari satu hal serta tidak ada spesifikasi atas hal tersebut jika dibandingkan dengan yang lain. Atau dengan kata lain mujmal itu adalah sesuatu yang tidak gamblang dalalahnya, dan yang dimaksud bahwa mujmal itu adalah lafadz yang memiliki dalalah namun dalalah tersebut tidak jelas. Kadang-kadang itu terjadi pada lafadz tunggal yang musytarak, bisa jadi diantara dua hal yang berbeda seperti al 'ain untuk emas dan matahari dan al mukhtar untuk fa'il dan maf'ul. Atau untuk dua hal yang saling bertentangan seperti: al quru' untuk suci dan haidh. Kadang-kadang terdapat pada lafadz yang tersusun seperti firman-Nya Ta'ala:
"…atau dima`afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah," (TQS Al Baqarah(2):237)
Pada ayat ini ada keraguan antara suami dan wali. Kadang-kadang terjadi karena keraguan pada tempat kembalinya dhamir pada yang sebelumnya, seperti pernyataan anda: kullu maa 'allamahul faqiihu fahuwa kamaa 'allamahu. Dhamir pada pernyataan tersebut terdapat keraguan antara kembali pada faqih atau pada yang diketahui dari faqih tersebut. Kadang-kadang hal tersebut (terjadi) karena keluarnya lafadz dari urf syara' sebagaimana apa yang ditetapkan dalam bahasa bagi yang menyatakan hal itu, tentu sebelum ada penjelasan pada kita, sebagaimana firman-Nya:
"Dan dirikanlah shalat" (TQS Al Baqarah(2):43)
"…dan tunaikanlah zakat…"(TQS Al Baqarah(2):43)
"…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah."(TQS Ali Imran(3):97)
Firman Allah diatas merupakan firman yang mujmal karena pada lafadz itu sendiri tidak ada informasi tentang apa yang dimaksud melalui aktifitas-aktifitas yang telah ditentukan. Karena itu sebagai suatu kwajiban lafadz tersebut mujmal sifatnya.
Dan yang dimaksud dengan tidak adanya kejelasan dalalah lafadz adalah tidak adanya kejelasan berdasarkan dalalah bahasa, bisa dengan penetapan (bahasa), dengan syara' atau dengan urf. Maka suatu lafadz yang tidak bisa difahami ketika menyebut sesuatu tertentu bahkan difahami lebih dari suatu hal serta tidak ada perbedaan dengan hal yang lain menurut orang Arab; baik dengan penetapan (bahasa), syara' atau urf. Sedangkan yang bisa difahami dari suatu lafadz sesuatu tertentu baik dengan penetapan (bahasa), syara' atau dengan urf maka tidak dipandang sebagai mujmal. Artinya apa yang telah jelas dalalahnya berdasarkan bahasa atau syara' atau urf itu tidak dikategorikan sebagai mujmal. Atas dasar hal ini maka penghalalan dan pengharaman yang dilabelkan pada obyek-obyek tertentu seperti firman-Nya Ta'ala:
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;" (TQS An Nisa'(4):23)
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai…" (TQS Al Maidah(5):3)
Tidak ada mujmal di dalamnya. Maka sesungguhnya setiap orang yang meneliti konvensi para pemilik bahasa dan orang mengurus lafadz-lafadz bahasa Arab, dia tidak secara spontan dapat memahami ketika ada yang berkata pada yang lain: diharamkan atas kalian makanan dan minuman dan diharamkan atas kalian wanita, selain pengharaman makan dan minum makanan maupun minuman serta pengharaman berhubungan seksual dengan wanita.
Maka pada dasarnya pada setiap hal yang langsung bisa difahami adalah makna hakiki baik berdasarkan penetapan (secara bahasa) atau berdasarkan kebiasaan dalam pemakaian, tentu yang dimaksud adalah pemahaman orang yang mencermati bahasa yang terbiasa dengan lafadz-lafadz (bahasa) Arab. Karena itu maka makna "hurrimat" disini jelas dan lafadz hurrimat memang menunjuk pada hal tertentu. Dan lagi sesungguhnya firman-Nya Ta'ala:
"…dan sapulah kepalamu…"(TQS An Maidah(5):6)
Tidak ada mujmal di dalamnya, karena "baa'" disini adalah untuk melekatkan. Ayat tersebut tidak mengharuskan adanya kwajiban membasuh kepala secara keseluruhan karena perkataan anda bihi barashun (padanya ada lepra) atau bihi daa'un (padanya ada penyakit) tidak mengharuskan bahwa lepra tersebut meliputi seluruh badannya atau penyakit tersebut meliputi seluruh badannya. Demikian pula dengan usaplah kepalamu itu bukan berarti mengharuskan mengusap semua kepala. Terlebih lagi bahwa pemakaian orang Arab terjadi dengan mengharuskan melekatkan mengusap saja tanpa memperhatikan apakah secara keseluruhan atau sebagaian. Oleh karena itu apabila ada orang yang berkata pada yang lain: usaplah tanganmu dengan sapu tangan, tidak satupun pemilik bahasa memahami bahwa dia mengharuskan untuk melekatkan tangannya dengan semua (bagian) sapu tangan, tapi cukup dengan sapu tangan saja. Jika mau ya dengan semuanya bisa juga dengan sebagian sapu tangan saja. Demikian pula, tidak ada ijmal, pada sabda beliau SAW:
"sesungguhnya Allah itu telah menetapkan atas ummatku kesalahan dan lupa". Hadits dikeluarkan oleh Ibnu Majah.
Dan sabda beliau:
"tidak ada shalat kecuali dengan wudhu". Hadits dikeluarkan oleh Ad Daruquthni.
dan sabda beliau SAW:
"tidak ada shalat kecuali dengan fatihatul kitab". Hadits dikeluarkan oleh Abu 'Uwanah.
Dan sabda beliau SAW:
"tidak puasa orang yang puasa tidak sampai malam". Hadits dikeluarkan oleh Ibnu Majah.
Dan sabda beliau SAW:
"tidak ada nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil". Hadits dikeluarkan oleh Ad Daruquthni.
Karena sabda-sabda beliau diatas adalah pemahaman berdasarkan dalalah iqtidha', maka dalalahnyapun jelas sesuai dengan penetapan bahasa. Sebab dalalah iqtidha' itu termasuk bagian dari dalalah lafadz dari bahasa menurut penetapan maka lafadz-lafadz diatas tidak termasuk yang mujmal.
Walhasil, setiap hal yang jelas penunjukannya dengan salah satu dalalah bahasa, baik berdasarkan penetapan, uruf atau syar'I tidak dikategorikan sebagai lafadz yang mujmal. Tapi merupakan lafadz yang mengandung majaz. Atau dengan kata lain lafadz yang difahami melalui qarinah, atau yang diperoleh dari dalalah lafadz atau dalalah dari makna atau yang lain. Selama hal tersebut memungkinkan atas lafadz manapun maka ijmalpun dinafikan dari lafadz tersebut. Maka obyek mujmal itu terbatas pada lafadz yang terdapat dalalah baginya, namun dalalah tersebut tidak clear seperti:
"…dan tunaikanlah zakat…"(TQS Al Baqarah(2):43)
Lafadz tersebut adalah mujmal yang memerlukan adanya penjelasan.
PENJELASAN (AL BAYAAN) DAN YANG JELAS (AL MUBIIN)
Bayan adalah mengeluarkan sesuatu dari bentuk samar menjadi bentuk yang jelas, atau (dengan kata lain) bayan adalah bentuk ilmu (suatu yang pasti) atau dzan (dugaan yang kuat) yang dihasilkan dari suatu dalil. Oleh karena itu sebagian ulama' ushul fiqih mengkonvensikan bahwa bayan adalah dalil itu sendiri. Maka firman-Nya Ta'ala:
"Dan dirikanlah shalat…"(TQS Al Baqarah(2):43)
Adalah mujmal. Sedangkan apa yang diriwayatkan dari beliau SAW bahwa beliau mengajarkan shalat dengan perbuatan beliau ketika beliau bersabda:
"shalatlah seperti kalian melihat aku shalat". Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari.
Adalah merupakan penjelasan terhadap kemujmalan tersebut. firman-Nya Ta'ala:
"…dan tunaikanlah zakat…"(TQS Al Baqarah(2):43)
Adalah global sedangkan apa yang terdapat pada hadits-hadits Rasulullah SAW sekitar kelompok yang dikeluarkan zakatnya adalah merupakan penjelasan terhadap globalitas (firman Allah) tersebut. Sungguh bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"tidak seorangpun yang memiliki emas dan juga perak yang tidak menunaikan dari emas dan perak tersebut haknya kecuali pada hari kiamat kelak akan diratakan untuknya batu dari api neraka". Hadits dikeluarkan oleh Muslim.
Demikian pula dengan surat yang ditulis oleh Abu Bakar RA pada Anas RA ketika Abu Bakar mengirimnya ke Bahrain:
"ini adalah kwajiban zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah SAW atas kaum Muslim dan yang diperintahkan oleh Allah melalui Rasul-Nya… kemudian Abu Bakar menjelaskan tentang zakat onta" hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari.
Demikian pula dengan apa yang datang pada Hadits Masruq:
"bahwa Nabi SAW mengutus Muadz ke Yaman dan beliau memerintahkan untuk mengambil zakat dari sapi untuk tiap tiga puluh sapi seekor musinnah (kambing yang usianya mencapai satu tahun atau lebih)." Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al Hakim mensahihkannya.
Ini semua adalah penjelasan untuk yang mujmal. Karena itu maka bayan adalah dalil yang menjelaskan yang mujmal (global). Sedangkan yang jelas (al mubiin) diberlakukan dan yang dimaksudkan untuk khitab yang memang sejak awal tidak memerlukan penjelasan. Kadang-kadang yang dimaksud dengan al mubiin adalah khitab yang tidak memerlukan penjelasan, dan telah ada penjelasannya. Itu sebagaimana lafadz mujmal ketika telah dijelaskan maksud dari lafadz tersebut, yang umum setelah ditakhsis, yang mutlak setelah ditaqyid, dan perbuatan ketika disertai dengan suatu yang menunjukkan arah yang dimaksud oleh perbuatan tersebut, dst.
Bayan itu kadang-kadang merupakan firman Allah atau sabda Rasul-Nya dan kadang-kadang merupakan perbuatan Rasul. Contoh penjelasan dari Allah Ta'ala adalah firman-Nya Ta'ala:
"…yang kuning, yang kuning tua warnanya…"(TQS Al Baqarah(2):69)
Sampai akhir ayat tersebut itu adalah penjelasan terhadap firman-Nya Ta'ala:
"…Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina…" (TQS An Baqarah(2):67)
Adapun contoh penjelasan yang merupakan sabda Rasul SAW adalah apa yang dikeluarkan oleh Al Baihaqi:
"bahwa Nabi SAW tidak mewajibkan zakat kecuali pada yang sepuluh hal: onta, sapi, kambing, emas, perak, gandum, juwawut, kurma, kismis, sult "
yang dimaksud dengan sult--sebagaimana yang terdapat dalam kamus--adalah semacam gandum. Hadits tersebut merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat yang mewajibkan zakat. Sedangkan contoh penjelasan yang merupakan perbuatan Rasul SAW adalah apa yang diriwayatkan dari beliau SAW bahwa beliau mengajarkan shalat dan haji dengan perbuatan beliau, beliau bersabda:
"shalatlah kalian sebagaimana saya shalat". Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari
Dan:
"ingatlah hendaknya kalian mengambil manasik kalian dari aku". Hadits dikeluarkan oleh Ahmad.
Sungguh bahwa perbuatan beliau dalam shalat adalah penjelasan terhadap firman-Nya Ta'ala:
"Dan dirikanlah shalat…"(TQS Al Baqarah(2):43)
Sedangkan perbuatan beliau untuk haji adalah penjelasan terhadap firman-Nya Ta'ala:
"…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…"(TQS Ali Imran(3):97)
Dan ketika terdapat penjelasan dengan sabda beliau sekaligus perbuatan beliau, paduan antara sabda dan perbuatan maka itu dikaji terlebih dahulu. Jika ada kesesuaian pada penunjukan atas hukum yang sama maka yang lebih dulu dari keduanya adalah penjelasan, baik sabda beliau atau perbuatan beliau. Sebab telah diketahui apa yang dimaksudkan oleh nash global tersebut dan yang kedua adalah untuk memperkuat. Tapi apabila ada perbedaan dalam dalalah atas suatu hukum, sebagaimana yang diriwayatkan dari beliau SAW bahwa beliau, setelah turunnya ayat haji, bersabda:
"barangsiapa berhaji dengan haji qaran lalu umrah, maka hendaknya dia thawaf satu kali".
Namun diriwayatkan dari beliau SAW bahwa beliau berhaji dengan haji qaran namun beliau thawaf dua kali serta mengerjakan sa'I dua kali. Dalam keadaan ini perlu dikaji terlebih dahulu. Apabila tidak diketahui mana yang lebih dulu dari keduanya, dengan tidak jelasnya mana yang terlebih dahulu, apakah sabda beliau atau perbuatan beliau, pada kondisi seperti ini yang diambil adalah sabda beliau. Sebab perkataan itu menunjukkan dengan sendirinya sebagai penjelasan berbeda dengan perbuatan. Perbuatan itu tidak dapat menunjukkan dengan sendirinya posisinya sebagai penjelas, tapi perbuatan itu (untuk menunjukkan dirinya sebagai yang menjelaskan) membutuhkan sarana. Karenanya keberadaan perbuatan itu diketahui sebagai penjelasan atas yang global melalui salah satu dari tiga hal: pertama bahwa perbuatan tersebut diketahui dengan mudah dari apa yang dimaksud. Artinya bahwa perbuatan tersebut tidak akan sempurna keberadaannya sebagai penjelasan tanpa diikuti dengan pengetahuan secara dzaruri atas yang dimaksud oleh Nabi SAW dengan penjelasan di dalamnya. Kedua: bahwa Rasulullah bersabda bahwa perbuatan tersebut adalah merupakan penjelasan untuk yang global. Ketiga: bahwa beliau menyebut yang mujmal saat memerlukan untuk mengerjakan yang mujmal tersebut,lalu beliau mengerjakan secara real yang perbuatan tersebut sesuai untuk sebagai penjelasan bagi yang global dan beliau tidak mengerjakan pekerjaan yang lain. Dengan begitu dapat diketahui bahwa perbuatan tersebut adalah penjelasan bagi yang global.
Maka perbuatan itu tidak menjadi penjelasan dengan sendirinya sedangkan perkataan itu menjadi penjelasan dengan sendirinya. Oleh karena itu perbuatan tidak diambil dengan adanya perkataan. Dengan aumsi bahwa perkataan itu lebih diprioritaskan. Sedangkan perbuatan diatas bisa mengandung pengertian bahwa thawaf yang kedua adalah sunnah. Namun apabila diketahui bahwa salah satunya lebih dahulu dari yang lain maka dikaji terlebih dahulu. Jika perkataan lebih dahulu (dari perbuatan) maka thawaf yang kedua memang tidak wajib dan perbuatan Rasul tersebut harus mengandung pengertian sebagai yang mandub.tapi apabila yang lebih dahulu adalah perbuatan maka perkataan tersebut merupakan nasakh atas wajibnya thawaf yang kedua yang telah ditunjukkan oleh perbuatan beliau. Atau perbuatan Rasul tersebut mengandung penjelasan (bayan) wajibnya thawaf yang kedua khusus untuk beliau dan bukan untuk umat beliau.
NASIKH DAN MANSUKH
Naskh adalah membatalkan hukum yang didapatkan dari nash terdahulu dengan nash yang berikutnya, beliau Alaihis-salam bersabda:
"sungguh aku telah melarang kalian untuk ziarah kubur maka sekarang berziarahlah". Hadits dikeluarkan oleh Al Hakim.
Atau yang disebut nasikh adalah seruan pembuat syara' yang melarang untuk melanjutkan hukum yang telah ditetapkan yang merupakan seruan syar'I yang sebelumnya. Hendaknya hukum yang di nasakh tersebut harus bersifat syar'I. Hendaknya dalil yang menunjukkan atas diangkatnya hukum tersebut bersifat syar'I yang datang belakangan dari khitab yang dihapus hukumnya. Hendaknya khitab yang diangkat hukumnya tersebut tidak terikat dengan waktu tertentu. Apabila hukum tersebut memenuhi syarat-syarat ini maka nasakh boleh terjadi didalamnya. Maka nasakh adalah mengganti hukum yang lebih dahulu dengan hukum yang datang berikutnya dan mengganti itu dalam bahasa padan katanya adalah nasakh. Dia Ta'ala berfirman:
"Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya…"(TQS An Nahl(16):101)
para pakar tafsir menafsirkan kata "at tabdiil" dengan "nasakh". Maka nasakh itu disebut sebagai penggantian dan maknanya adalah melenyapkan sesuatu dan menggantikannya dengan yang lain. Artinya hukum yang terdahulu telah usai dan hukum yang datang berikutnya menggantikan hukum yang sebelumnya. Inilah makna nasakh. Adapun nasikh kadang-kadang berlaku untuk Allah Ta'ala maka ketika dinyatakan nasakha maka Dialah yang menasakh diantaranya adalah firman-Nya Ta'ala:
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan…" (TQS Al Baqarah(2):106)
Dan firman-Nya Ta'ala:
"Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu"(TQS Al Hajj(22):52)
kadang-kadang berlaku untuk ayat bahwa ayat tersebut adalah yang menasakh maka dikatakan bahwa ayat "pedang" telah menasakh begini maka ayat tersebut adalah yang menasakh (naasikh). Begitu pula untuk setiap jalan yang dengan jalan tersebut diketahui di dalamnya nasakh hukum baik dari khabar dari Rasul, perbuatan beliau dan taqrir beliau. sebutan yang menghapus (naasikh) tersebut berlaku untuk suatu hukum, maka dikatakan bahwa wajibnya puasa Ramadhan telah menasakh wajibnya puasa Asyura'. Maka hukum wajibnya puasa Ramadhan tersebut adalah sebagai yang menghapus. Sebutan naasikh tersebut kadang-kadang juga berlaku pada orang yang menegaskan adanya nasakh atas suatu hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa si fulan menasakh Al Qur'an dengan As Sunnah artinya orang tersebutlah yang meyakini hal tersebut. Adapun yang dinasakh (mansuukh) adalah hukum yang diangkat, hukum yang dibatalkan dan yang diakhiri sebagaimana hukum menyerahkan sedekah dihadapan Nabi SAW untuk bicara secara rahasia dengan beliau, hukum wasiat bagi kedua orang tua dan kerabat, serta hukum masa menunggu satu tahun penuh atas wanita yang ditinggal mati suaminya, dsb.
Dalil kebolehan nasakh adalah Al Kitab, dan ijma' shahabat, dan terjadinya nasakh secara real. Adapun al Kitab sungguh Allah Ta'ala berfirman:
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?"(TQS Al Baqarah(2):106)
Dan firman-Nya Ta'ala:
"Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui. Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Qur'an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)"."(TQS An Nahl(16):101-102).
Berkata Al Qurthubi ketika menafsirkan firman-Nya Ta'ala "Kami tidak menasakh" : sebab turunnya ayat ini adalah bahwa orang-orang Yahudi ketika dengki atas kaum Muslim yang menghadap ka'bah dan mereka menuduh Islam dengan hal itu, merekapun berkata bahwa Muhammad menyuruh shahabatnya dengan sesuatu kemudian dia melarangnya. Itu artinya bahwa Al Qur'an itu tidak lain kecuali datang dari Muhammad sendiri oleh karena itu terjadi pertentangan antara satu dengan yang lain maka turunlah:
"Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain…"(TQS An Nahl(16):101)
Dan turunlah ayat:
"Kami tidak menasakh suatu ayat".(TQS Al Baqarah(2):106)
Berkata Az Zamakhsyari dalam (tafsir) Al Kasy-syaf tentang tafsir firman-Nya Ta'ala:
"Dan apabila Kami letakkan suatu ayat…"(TQS An Nahl(16):101)
((bahwa penggantian suatu ayat pada tempat ayat lain disebut nasakh dan Allah menasakh syariat-syariat dengan syariat-syariat yang lain karena itu ada maslahat dan Allah Ta'ala adalah Maha Mengetahui tentang maslahat dan mafsadat. Maka Allah menetapkan yang Dia kehendaki dan menasakh mana yang Dia kehendaki pada hukum-Nya. Inilah makna firman-Nya:
"…padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja" (TQS An Nahl(16):101).
Di kalangan para Mufassir dalam menafsirkan ayat:
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan…"(TQS Al Baqarah(2):106)
Dengan dua metode: pertama, bahwa nasakh disini maknanya adalah penggantian,itu didukung oleh ayat (surat) An Nahl yaitu firman-Nya Ta'ala:
"Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain…" (TQS An Nahl(16):101)
Artinya apabila Kami telah menjadikan suatu ayat sebagai pengganti ayat lain maka Kami menjadikan penggantian ini lebih baik dari yang diganti atau (paling tidak) selevel. Metode ini adalah suatu metode yang lemah. Sebab menjadikan kebaikan mendominasi ayat tersebut, padahal tidak ada kebaikan pada ayat-ayat tersebut, sebagian dengan yang lain. Namun kebaikan itu terkait dengan kita atas yang dikembalikan pada hukum ayat yang diangkat dari kita serta yang ditetapkan untuk kita, ditinjau dari sisi bahwa sebagian (hukum) lebih ringan dibanding yang lain untuk ayat-ayat yang dikembalikan untuk penanggungan beban. Atau bahwa pahala atas sebagian itu lebih berlipat ganda dibanding sebagian yang lain. Maka hukum tsabatnya seorang muslim atas orang kafir itu lebih ringan dibanding tsabatnya seorang Muslim terhadap sepuluh orang (musuh), dan hukum yang menghapus adalah tsabat atas dua orang (musuh) lebih ringan dibanding hukum yang dinasakh yaitu tsabat terhadap sepuluh orang(musuh). Hukum puasa Ramadhan itu lebih dahsyat dibanding dengan puasa hari Asyura' tapi puasa Ramadhan lebih berlipat ganda pahalanya, kebaikan tersebut bukan pada ayat itu sendiri tapi pada hukum yang terkandung pada ayat-ayat tersebut. Sehingga kadang-kadang kebaikan tersebut dalam bentuk keringanan dan kadang-kadang dalam bentuk pahala.
Metode yang kedua adalah bahwa yang dimaksud (dengan nasakh) adalah nasakh hukum ayat dan bukan menghapus bacaannya. Inilah pendapat yang terpilih menurut jumhur ulama tafsir dan atas pendapat tersebut ada pendukung. Yang mendukung pendapat tersebut adalah bahwa semua ayat Al Qur'an ditetapkan dengan dalil qath'I. ayat yang tidak ditetapkan dengan dalil qath'I tidak kita kategorikan sebagai bagian dari Al Qur'an, juga tidak ditetapkan berdasarkan dalil qath'I nasakh bacaan dari salah satu ayat Al Qur'an. Adapun adanya nasakh bacaan melalui dalil dzanni sama sekali tidak bernilai pada asumsi adanya nasakh. Sebab yang qath'I tidak dapat dinasakh yang dzanni, dan yang qath'I memang tidak bisa dinasakh kecuali dengan yang qath'I, baik yang setara atau bahkan yang lebih tinggi. Dan tidak ada dalil qath'I (yang menunjukkan adanya) nasakh bacaan. Ini semakin menguatkan bahwa yang dimaksud adalah nasakh hukum, bukan nasakh bacaan.
Adapun ijma' shahabat sungguh telah menegaskan bahwa mereka telah ijma' bahwa syariah Muhammad SAW adalah penghapus atas semua syariah yang sebelumnya. Ijma' mereka juga menetapkan nasakh wajibnya mengarahkan muka pada Baitul maqdis dengan menghadap Ka'bah, nasakh wasiyat pada kedua orang tua dan kerabat dengan ayat waris, nasakh puasa hari Asyura' dengan puasa Ramadhan, nasakh wajibnya menyerahkan sedekah di hadapan Nabi SAW ketika ingin bicara secara rahasia dengan beliau, dan wajibnya menunggu satu tahun penuh bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, serta wajibnya tsabat hanya untuk keluarga, dsb. Para shahabat telah bersepakat bahwa hukum-hukum diatas telah dinasakh. Maka ijma' mereka telah menegaskan adanya nasakh, dan itu adalah dalil syara' adanya nasakh.
Sedangkan terjadinya nasakh secara real, maka apa yang disepakati oleh para shahabat atas berbagai peristiwa terjadinya nasakh adalah dalil terjadinya nasakh. Terkait dengan nasakh (menghadap) kiblat, Dia Ta'ala berfirman:
"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram."(TQS Al Baqarah(2):144)
Sungguh Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa beliau SAW shalat (menghadap) Baitul Maqdis selama enam belas bulan kemudian menengok untuk mengalihkan kiblat pada ka'bah maka turunlah ayat: "sungguh Kami melihat", maka hukum menghadap kiblat ke Baitul Maqdis dinasakh sekaligus menjadikan tempat menghadap Kiblat adalah ke arah Ka'bah. Terkait dengan wasiyyah atas kedua orang tua dan kerabat Dia Ta'ala berfirman:
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. "(TQS Al Baqarah(2):180)
Artinya diwajibkan pada kalian wahai orang-orang Mukmin jika telah hadir atas kalian sebab-sebab kematian serta alamatnya, apabila hartanya banyak, hendaknya kalian memberikan wasiat pada kedua orang tua dan kerabat dengan sesuatu dari harta tersebut. ini adalah hukum syara' yaitu wasiat atas kedua orang tua dan kerabat. Sungguh ayat ini telah dinasakh dengan ayat waris dan memang telah sepakat bahwa ayat waris diturunkan setelah ayat tentang wasiat pada kedua orang tua dam kerabat. Pada ayat waris dijelaskan bagian kedua orang tua dan kerabat, dari harta mayit. Maka hukum yang diwajibkan pada ayat waris tersebut telah menasakh hukum yang sebelumnya. Oleh karena itu hukumnya adalah tidak boleh wasiyat pada kedua orang tua dan kerabat. Begitu pula untuk semua hukum yang para shahabat menyepakati adanya nasakh pada hukum-hukum tersebut. Disana terdapat (pula) hukum-hukum lain yang juga (menunjukkan) terjadinya nasakh di dalamnya. Antara lain adalah sabda beliau SAW:
"sungguh aku telah melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang ziarahlah". Hadits dikeluarkan oleh Al Hakim.
Juga apa yang diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda tentang peminum khamr:
"apabila dia minum khamr yang keempat kalinya maka bunuhlah". Hadits dikeluarkan oleh Ahmad.
Hadits tersebut dinasakh dengan apa yang diriwayatkan dari beliau bahwa telah dibawa pada beliau peminum khamr yang telah meminum khamr pada kali yang keempat dan beliau tidak membunuhnya. Dan yang semacam itu adalah bahwa Allah Ta'ala telah mewajibkan, pada awal Islam, menahan di rumah dan pencelaan dengan keras sebagai had bagi orang yang berzina dengan firman-Nya Ta'ala:
"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."(TQS An Nisa'(4):15-16)
ayat tersebut dinasakh dengan (hukum) jilid dan pengusiran dari kampung halaman bagi yang masih gadis dan rajam dengan batu bagi yang sudah menikah, Dia Ta'ala berfirman:
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera…"(TQS An Nur(24):2)
Dan beliau bersabda pada orang Arab kampung yang bertanya pada beliau agar memutuskan (hukum) untuknya berdasarkan Kitabullah:
"adapun untuk anakmu dijilid seratus kali, dan pengusiran selama satu tahun". Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari.
Dari Ubadah bin As-Shamit, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"ambilla kalian dariku, ambillah kalian dariku, sungguh Allah telajh menjadikan bagi mereka jalan, untuk pemuda dengan pemudi adalah jilid seratus kali dan pengusiran selama satu tahun". Hadits dikeluarkan oleh Muslim.
Dari Jabir Ibn Abdillah, dia berkata:
"Nabi SAW telah merajam seorang laki-laki dari bani Aslam, dan seorang laki-laki Yahudi dan seorang perempuan dari mereka". hadits dikeluarkan oleh Muslim
Dan juga yang lain dari hukum-hukum yang terjadi nasakh secara real. Ini merupakan dalil adanya nasakh. Terjadinya (nasakh) secara real merupakan dalil bolehnya nasakh sekaligus dalil adanya nasakh. Maka itu adalah dalil atas nasakh dan tidak tidak perlu diperbincangkan lagi. Nasakh itu memang terjadi di dalam Al Qur'an dan As Sunnah dan keduanya merupakan tempat terjadinya nasakh. Adapun pada Al Qur'an boleh terjadi nasakh secara hukum dan itu memang terjadi secara real. Dalilnya adalah apa yang telah berjalan pada Al Kitab dan ijma' shahabat serta terjadinya nasakh secara real.
Adapun nasakh Al Qur'an secara bacaan itu ditolak dan tidak boleh dan juga tidak ditetapkan terjadinya berdasarkan dalil qath'I. Dalil tidak bolehnya nasakh secara bacaan adalah ayat yang kebolehan nasakh telah ditetapkan pada ayat tersebut, ayat tersebut berbunyi:
"Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya."(TQS Al Baqarah(2):106)
Dan Al Qur'an secara keseluruhan adalah baik tanpa adanya pertentangan di dalamnya. Kalaulah seandainya yang dimaksudkan dengan nasakh ayat itu artinya mengiliminir ayat tersebut dari lauhil mahfudz lalu menuliskan yang lain sebagai gantinya, lali mengapa terealisir sifat kebaikan. Maka maknanya adalah bukan terhadap ayat tapi pada hukumnya. Dan lagi sesungguhnya Al Qur'an itu telah ditetapkan turunnya, pemeliharaan serta penulisannya secara mutawatir dan iman terjadap Al Qur'an pada bentuk yang seperti itu adalah akidah. Akidah itu tidak diambil kecuali dengan dalil yang qath'I secara tsubut dan qath'I dalalah, dan ini tidak tidak terjadi jika tidak ada dalil qath'I yang menunjukkan kebolehan nasakh Al Qur'an secara bacaan.Dengan begitu berarti tidak boleh menasakh Al Qur'an secara bacaan. Adapun tidak terjadinya nasakh Al Qur'an secara bacaan dalilnya adalah bahwa nasakh tersebut tidak terdapat dalil qath'I yang menetapkan bahwa salah satu ayatnya telah dinasakh. Sedangkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit, dia berkata: saya telah mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"orang yang sudah menikah baik laki maupun perempuan apabila mereka berzina maka rajamlah keduanya sampai mati. Maka Umar berkata: ketika ayat ini diturunkan saya mendatangi Rasulullah SAW san saya berkata: saya akan menulisnya untuk saya". Hadits dikeluarkan oleh Ahmad.
Dan apa yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwa dia berkata:
"adalah apa yang diturunkan dalam Al Qur'an adalah sepuluh persusuan yang diketahui maka jadilah mahram bagi kami, kemudian di nasakh dengan lima (persusuan) yang diketahui." Hadits dikeluarkan oleh Muslim
Dan apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab dan Ibnu Mas'ud bahwa keduanya membaca: "maka puasalah tiga hari berturut-turut". Dan apa yang diriwayatkan bahwa Surat Al Ahzab adalah untuk menambah Surat Al Baqarah dst. Itu semua merupakan khabar ahad yang tidak bisa ditegakkan hujjah di dalamnya atas nasakh yang qath'I sifatnya. Karena (riwayat-riwayat di atas) itu merupakan khabar yang bersifat dzanni dan yang qath'I itu tidak dinasakh dengan yang dzanni, yang qath'I itu tidak dinasakh kecuali dengan yang qath'I. Maka adalah suatu keharusan penetapannya dengan dalil qath'I bahwa ayat ini diturunkan agar dapat diyakini bahwa yang diriwayatkan diatas adalah bagian dari Al Qur'an dan selanjutnya ditetapkan pula dengan dalil qath'I bahwa riwayat diatas telah dinasakh dan ini secara qath'I sama sekali tidak terjadi. Atas dasar hal tersebut maka nasakh Al Qur'an secara bacaan tidak terjadi.
Adapun As Sunnah memang di dalam As Sunnah kita tidak beribadah dengan bacaannya, maka tidak ada topik bahasan tentang nasakh As Sunah secara bacaan. Karena bacaan sebagai bacaan (yang mendapat pahal) tidak terdapat di dalam As Sunnah. Maka nasakh bacaan pada As Sunnah tidak terjadi. Sedangkan nasakh As Sunnah secara hukum itu diperbolehkan dan memang terjadi. Dalil atas hal tersebut adalah sabda Rasul SAW:
"sungguh aku telah melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang berziarahlah". Hadits dikeluarkan oleh Al Hakim.
Dan puasa Asyura' adalah wajib berdasarkan As Sunnah lalu dinasakh dengan puasa Ramadhan pada firman-Nya:
"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu," (TQS Al Baqarah(2):185)
Dan kwajiban (ketika shalat) menghadap Baitul Maqdis adalah ditetapkan dengan As Sunnah secara mutawatir lalu dinasakh dengan menghadap ke Ka'bah berdasarkan firman-Nya Ta'ala:
"Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram."(TQS Al Baqarah(2):144)
Ini menunjukkan bahwa nasakh pada As Sunnah itu terjadi dan terjadinya (nasakh pada As Sunnah) adalah dalil yang membolehkan. Maka terjadinya nasakh pada As Sunnah juga menunjukkan bahwa nasakh As Sunnah itu boleh.
Juga diperbolehkan menasakh hukum seruan dengan pengganti dan diperbolehkan pula menasakh hukum seruan tersebut tanpa adanya pengganti. Adapun nasakh hukum dengan pengganti maka itu banyak, seperti wajibnya menghadap ke Baitul Maqdis dirubah dengan menghadap ke Ka'bah, nasakh puasa pada hari-hari tertentu dengan puasa bulan Ramadhan dsb. Sedangkan nasakh tanpa adanya pengganti, sungguh Allah telah menasakh hukum memberikan shadaqah dihadapan Nabi SAW untuk berbicara secara pribadi (dengan beliau) tanpa adanya pengganti, dan nasakh wajibnya menahan diri setelah berbuka ketika malam hari tanpa adanya pengganti, dst. Terjadinya nasakh tanpa adanya pengganti tersebut adalah merupakan dalil kebolehan nasakh tanpa adanya pengganti tersebut.
NASAKH TERHADAP AL QUR'AN
Menasakh Al Qur'an dengan Al Qur'an diperbolehkan kerena kesamaan pada wajibnya mengetahui Al Qur'an dan wajibnya beramal dengan Al Qur'an, juga karena masing-masing baik yang menasakh maupun yang dinasakh adalah wahyu baik secara lafadz maupun makna maka diperbolehkan menasakh Al Qur'an dengan Al Qur'an. Yang seperti itu adalah menasakh iddah satu tahun (penuh) dengan iddah empat bulan sepuluh hari, dan nasakh pemberian shadaqah dihadapan beliau ketika bicara secara pribadi dengan beliau berdasarkan firman-Nya:
"Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul?"(TQS Al Mujaadilah(58):13)
nasakh tsabat satu lawan sepuluh dengan tsabat satu lawan dua berdasarkan firman-Nya Ta'ala:
"Sekarang Allah telah meringankan kepadamu…"(TQS Al Anfaal(8):66)
Ini adalah dalil terjadinya nasakh dalam Al Qur'an dan terjadinya pada syara' tersebut merupakan dalil yang paling layak atas kebolehan secara syar'i. Tidak bisa dikatakan bahwa nasakh itu membatalkan suatu hukum dan ini tidak boleh terjadi pada Al Qur'an berdasarkan firman-Nya Ta'ala:
"Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya"(TQS Fushshilaat(41):42)
Maka kalau nasah itu terjadi pada sebagian dari Al Qur'an berarti terdapat kebatilan. Tidak bisa dikatakan demikian, sebab tidak boleh membatalkan Al Qur'an secara keseluruhan maka tidak benar menasakh Al Qur'an secara keseluruhan adapun sebagian hukumnya maka itu boleh. Artinya bahwa Al Kitab ini tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkan Al Qur'an. Juga tidak yang sesudahnya hal-hal yang membatalkannya. Maka Al Qur'an tidak dinasakh secara keseluruhan tapi Al Qur'an dinasakh sebagian hukum-hukumnya, kemudian tidak boleh membatalkan ayat-ayat itu sendiri dengan menasakh bacaannya. Adapun pembatalan hukum yang datang di dalam Al Qur'an dengan menghilangkan hukum tersebut, dengan menasakh hukum dari bacaan, itu diperbolehkan sebagaimana yang telah ditetapkan kejadian hal tersebut secara real. Terlebih lagi ayat tersebut tidak menyatakan "yang tidak datang kepadanya yang membatalkan" Tapi menyatakan "yang tidak datang kepadanya yang batil". Ada perbedaan antara pembatalan dengan yang batil, pembatalan itu pengertiannya adalah nasakh atas suatu hukum sedangkan batil artinya adalah lawan dari yang haq. Maka tidak diragukan lagi bahwa Al Qur'an itu dinasakh oleh Al Qur'an.
Adapun nasakh Al Qur'an dengan As Sunnah itu tidak diperbolehkan dan memang tidak terjadi. Ketidakbolehannya karena sungguh Allah Ta'ala berfirman:
"Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,"(TQS An Nahl(16):44)
masa Al Qur'an mensifati Nabi sebagai penjelas, padahal nasikh itu artinya adalah yang mengangkat bukan penjelas. Tentu pengangkatan itu bukanlah penjelasan. Dia Ta'ala berfirman:
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya."(TQS Al Baqarah(2):106)
itu menunjukkan bahwa yang mendatangkan yang lebih baik atau yang sepadan itu adalah Allah Ta'ala karena dzamir tersebut kembalinya pada Allah dan itu tidak terjadi kecuali jika yang menasakh adalah Al Qur'an. Oleh karena itu Dia berfirman:
"Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?"(TQS Al Baqarah(2):106)
Maka Allah memberitahukan bahwa yang mendatangkan yang lebih baik atau yang sepadan itu dikhususkan dengan (sifat) kesempurnaan kehendak, dengan begitu tidak terjadi nasakh Al Qur'an dengan As Sunnah,sebab yang mendatangkan As Sunnah adalah Rasul. Meski As Sunnah itu merupakan wahyu sebagaimana Al Qur'an berdasarkan firman-Nya Ta'ala:
"dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),"(TQS An Najm(53):3-4)
Karena As Sunnah adalah wahyu secara makna dan As Sunnah itu tidak dibacakan sehingga membacanyapun bukanlah ibadah. Sedangkan Al Qur'an adalah lafadz dan makna dan Al Qur'an dibacakan dan membacanya adalah ibadah. Dia berfirman:
"Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain…"(TQS An Nahl(16):101).
Maka Dia mengabarkan bahwa Dia mengganti suatu ayat dengan ayat (yang lain), bukan dengan As Sunnah. Dia Ta'ala berfirman:
"…orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah Al Qur'an yang lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku."(TQS Yunus(10):15)
Merupakan dalil bahwa Al Qur'an itu tidak di nasakh dengan selain Al Qur'an. Dan yang menunjukkan atas hal itu adalah bahwa orang Musyrik ketika penggantian suatu ayat dengan ayat yang lain, merekapun berkata:
"…mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja".(TQS An Nahl(16):101)
Lalu Allah Ta'ala menghilangkan keraguan mereka dengan firman-Nya:
"Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Qur'an itu dari Tuhanmu dengan benar,"(TQS An Nahl(16):102)
itu menunjukkan bahwa penggantian itu tidak terjadi kecuali dengan apa yang diturunkan oleh Ruhul Qudus yaitu Al Qur'an:
"dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril),"(TQS Asy Syu'araa'(26):193)
walhasil meski Al Qur'an dan As Sunnah semuanya merupakan wahyu, tapi As Sunnah dinisbahkan pada Rasul sehingga dikatakan bahwa Rasulullah bersabda, tidak dikatakan Allah berfirman kecuali pada hadits qudsi, maka As Sunnah tidak dinisbahkan pada Allah. As Sunnah itu maknanya datang dari Allah sedangkan Al Qur'an datang dari Allah baik lafadz maupun maknanya. Membaca As Sunnah bukanlah ibadah sedangkan Al Qur'an membacanya adalah ibadah. Ini semua menjadikan Al Qur'an itu tidak dinasakh oleh As Sunnah. Selanjutnya bahwa nash dua ayat nasakh tersebut menunjukkan bahwa yang menasakh suatu ayat itu adalah ayat. (ayat) yang pertama menyatakan:
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya."(TQS Al Baqarah(2):106)
Dapat difahami dari ayat tersebut bahwa yang menasakh adalah ayat karena yang lebih baik atau yang selevel tidak terjadi kecuali pada ayat-ayat (Al Qur'an) dan tidak terjadi pada hadits-hadits. Dan (nash) kedua menyatakan:
"Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya…" (TQS An Nahl(16):101)
itu merupakan nash bahwa penggantian itu terjadi dengan meletakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain. Ini artinya bahwa yang menasakh itu hendaknya merupakan ayat, maka yang menasakh Al Qur'an itu tidak terjadi kecuali dengan Al Qur'an. Ini semua adalah dalil bahwa Al Qur'an itu tidak dinasakh dengan As Sunnah, baik mutawatir maupun ahad.
Sedangkan tidak terjadinya nasakh al Qur'an dengan As Sunnah itu karena memang tidak ada satupun hukum dari As Sunnah yang menghapus salah satu hukum dalam Al Qur'an. Adapun hukum-hukum yang dinyatakan bahwa hukum-hukum tersebut telah dinasakh dengan As Sunnah, adakalanya dinasakh oleh Al Qur'an dan sebagin yang lain merupakan takhsis,bukan nasakh. Sungguh mereka berkata: bahwa wasiyat untuk kedua orang tua dan kerabat yang ada dalam firman-Nya Ta'ala:
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa."(TQS Al Baqarah(2):180)
telah dinasakh oleh sabda beliau SAW:
"tidak ada wasiat bagi orang yang mewarisi". Hadits dikeluarkan oleh Ahmad.
jawaban atas hal tersebut adalah bahwa ayat tersebut dinasakh oleh ayat waris:
"Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu."(TQS An Nisa'(4):11)
Mereka juga menyatakan bahwa (hukum) jilid bagi pezina yang ada pada firman-Nya Ta'ala:
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,"(TQS An Nur(24):2)
telah di nasakh dengan hukum rajam yang telah ditetapkan dengan As Sunnah. Jawabannya adalah bahwa hukum jilid tersebut tidak dinasakh tapi tetap ada, namun terdapat takhsis jilid untuk yang bukan mukhsan dan rajam untuk yang mukhsan. Itu adalah takhsis, bukan nasakh dan takhsis Al Qur'an dengan As Sunnah memang boleh. Karena itu tepat bahwa takhsis itu termasuk penjelasan yang termasuk dalam firman-Nya :
"…agar kamu menerangkan…"(TQS An Nahl(16):44)
Berbeda dengan nasakh, karena nasakh itu adalah mengangkat dan bukan menjelaskan. Lebih dari itu bahwa dua hadits tersebut:
"tidak ada wasiat bagi orang yang mewarisi".
Dan hadits rajam adalah khabar ahad. Maka kalau seandainya kita paksakan perdebatan bahwa Al Qur'an itu di nasakh oleh As Sunnah maka tidak boleh di nasahk dengan khabar ahad karena Al Qur'an itu qath'I tsubut dan yang qath'I itu tidak boleh dinasakh dengan yang dzanni. Sebab naskh itu adalah pembatalan maka tidak dihilangkan suatu hukum yang penetapannya adalah qath'I dengan hukum yang penetapannya secara dzanni. Ini pula yang memperkuat bahwa contoh-contoh terjadinya nasakh Al Qur'an oleh As Sunnah yang mereka hadirkan tidak tepat. Selama nasakh Al Qur'an dengan As Sunnah itu tidak terjadi sama sekali dan tidak terjadinya itu saja sudah cukup untuk menunjukkan ketidak bolehan (nasakh Al Qur'an dengan As Sunnah). Dan yang dimaksud dengan ketidakbolehan (nasakh tersebut) tentu bukan berdasarkan akal tapi berdasarkan syara'. Maka demikian pula Al Qur'an itu tidak dinasakh dengan ijma' shahabat, tidak pula dengan qiyas. Sebab masing-masing keduanya terjadi setelah masa Rasulullah SAW dan sungguh para shahabat telah bersepakat atas larangan nasakh setelah (masa) Rasul dan sama sekali tidak ada perselisihan (diantara mereka) tentang hal itu.
NASAKH TERHADAP AS SUNNAH
Diperbolehkan nasakh As Sunnah dengan Al Qur'an karena kesamaan keduanya dalam masalah kwajiban untuk beramal pada keduanya. Juga karena As Sunnah itu adalah datang melalui wahyu, meski secara makna dan Al Qur'an adalah wahyu baik secara lafadz maupun makna. Contohnya antara lain adalah menghadap (kiblat) ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan As Sunnah secara mutawattir dan di dalam Al Qur'an tidak ada yang menunjukkan hal tersebut. Lalu hadits tersebut dinasakh dengan firman-Nya Ta'ala:
"Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram" (TQS Al Baqarah(2):144)
Dan yang semacam itu adalah berhubungan seksual pada waktu malam hari itu yang diharamkan berdasarkan As Sunnah. Lalu hal tersebut di nasakh dengan firman-Nya Ta'ala:
"Maka sekarang campurilah mereka…"(TQS Al Baqarah(2):187)
dan yang seperti itu adalah puasa hari Asyura'. Adalah puasa Asyura' itu diwajibkan berdasarkan As Sunnah, lalu dinasakh dengan saum Ramadhan berdasarkan firman-Nya Ta'ala:
"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,"(TQS Al Baqarah(2):187)
Begitu juga dengan mengakhirkan shalat ketika berkecamuknya pertempuran adalah boleh berdasarkan As Sunnah. Dengan ini beliau bersabda pada perang Khandaq dan sungguh beliau mengakhirkan shalat:
"Sungguh Allah mengisi rongga perut mereka dan kubur mereka dengan api". Hadits dikeluarkan oleh Muslim.
Karena kesulitan mereka untuk (mengerjakan) shalat. Hukum tersebut di nasakh dengan bolehnya shalat khauf yang terdapat dalam Al Qur'an. Ini semua menunjukkan bahwa nasakh As Sunnah dengan Al Qur'an itu terjadi secara real dan kejadian tersebut merupakan dalil bolehnya nasakh As Sunnah dengan Al Qur'an.
Juga diperbolehkan menasakh As Sunnah dengan As Sunnah. Maka diperbolehkan menasakh khabar ahad dengan khabar ahad atau mutawatir. Adapun mutawatir tidak boleh dinasakh kecuali dengan mutawatir. Khabar mutawatir tidak dinasakh dengan khabar ahad. Adapun nasakh As Sunnah dengan As Sunnah maka keduanya selevel dalam kwajiban untuk mengamalkan,juga karena yang menasakh dengan yang dinasakh adalah wahyu secara makna. Sungguh nasakh tersebut terjadi secara real dan terjadi itu merupakan dalil kebolehan (nasakh), antara lain adalah sabda beliau SAW:
"sungguh saya melarang kalian untuk ziarah kubur namun sekarang ziarahlah". Hadits dikeluarkan oleh Al Hakim.
Juga diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda tentang peminum khamr:
"jika dia meminum untuk yang keempat kalinya maka bunuhlah". Hadits dikeluarkan oleh Ahmad.
Lalu hukum tersebut dinasakh dengan apa yang diriwayatkan dari beliau bahwa telah dibawa pada beliau orang yang telah meminum khamr yang keempat kalinya dan beliau tidak membunuhnya. Ini adalah dalil bahwa nasakh As Sunnah dengan As Sunnah itu boleh dan benar-benar terjadi. Adapun nasakh khabar mutawatir dengan khabar ahad itu tidak boleh dan memang tidak terjadi. Adapun ketidakbolehan nasakh (mutawatir dengan ahad) karena yang mutawatir itu adalah qath'I dan orang yang menolaknya adalah kafir jika secara dalalah qath'I. Sedangkan khabar ahad itu dzanni dan mengingkarinya tidak kafir. Yang qath'I tidak dapat dinasakh dengan yang dzanni. Dan lagi bahwa khabar mutawatir dinasakh dengan khabar ahad itu tidak terjadi dan tidak terjadinya nasakh pada khabar mutawatir dengan khabar ahad itu merupakan dalil ketidakbolehannya secara syar'I. Sebab yang dimaksud dengan boleh itu bukanlah boleh menurut akal tapi yang dimaksud adalah boleh secara syar'I. Dan yang dimaksud adalah dinasakh yang diketahui. Selama tidak terjadi maka pembicaraan tentang nasakh mutawatir dengan ahad adalah sekedar premis teoritis dan ini tidak termasuk di dalam syara'.
Adapun apa yang mereka kemukakan dari firman-Nya Ta'ala:
"Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai…"(TQS Al An'aam(6):145)
Ayat tersebut mengharuskan adanya pembatasan pengharaman terhadap hal-hal yang disebut. Sungguh pembatasan tersebut telah dinasakh dengan apa yang diriwayatkan secara ahad bahwa Nabi SAW:
"Nabi melarang memakan binatang buas yang bertaring, dan burung yang berkuku tajam." Hadits dikeluarkan oleh Muslim.
maka jika telah menjadi ketetapan adanya nasakh Al Kitab dengan (khabar) ahad apalagi nasakh As Sunnah yang mutawattir (dengan khabar ahad). Jawabnya adalah telah menjadi ketetapan bahwa Al Qur'an itu tidak dinasakh dengan As Sunnah maka tidak terjadi pada ayat tersebut. Sebab ayat tersebut dinasakh oleh ayat (lain), dengan firman Allah:
"Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya…"(TQS An Nahl(16):101)
dan lagi tidak didapatkan nasakh disini karena ayat tersebut menyatakan:
"tidak aku peroleh"
dan maknanya adalah tidak dijumpai dalam wahyu yang ada selain yang diharamkan yang disebut. Ini tidak mencegah turunnya wahyu yang lain sesudahnya yang mengharamkan yang lain. Maka larangan yang ada pada wahyu setelah ayat ini tentu bukan nasakh tapi memang diturunkan setelah ayat tersebut. Karena "tidak aku peroleh" adalah haal dan tidak menunjukkan bahwa tidak didapatkan pada waktu yang akan datang. Atas dasar hal tersebut maka ayat ini tidak dikemukakan, karena memang tidak didapatkan di dalam ayat tersebut nasakh.
Adapun nasakh As Sunnah dengan ijma' shahabat dan qiyas maka tidak boleh karena masing-masing baik ijma; shahabat maupun qiyas terjadi setelah masa Rasul Alaihis-salam dan lagi ijma' shahabat juga telah menetapkan larangan nasakh setelah Rasul SAW dan tidak ada perbedaab sama sekali atas hal tersebut.
TIDAK BOLEH MENASAKH HUKUM YANG TETAP DENGAN IJMA'
Hukum yang ditetapkan dengan ijma' shahabat tidak boleh dinasakh, karena ijma' itu terjadi setelah Rasul SAW, dan menasakh hukum itu terjadi dengan nash baik dari Al Kitab maupun As Sunnah, ijma' shahabat atau qiyas dan semua itu adalah batil. Adapun nash, sungguh nash itu lebih didahulukan atas ijma'. Karena semua nash ditransmisikan dari Nabi SAW dan ijma' tidak terjadi pada masa beliau Alaihis-salam. Sebab jika beliau tidak sejalan dengan mereka maka tidak ditetapkan, jika beliau sejalan dengan mereka maka sabda beliaulah yang menjadi hujjah. Maka menjadi ketetapan bahwa nash itu lebih didahulukan dibanding dengan ijma' dan dengan begitu adalah mustahil ijma' menasakh hukum yang telah tetap berdasarkan nash. Adapun ijma' adalah mustahil ijma' itu ditetapkan apabila ada perbedaan dengan ijma' yang lain. Kalau seandainya ditetapkan maka salah satu ijma' tersebut pasti salah. Karena yang pertama jika tidak berdasarkan dalil maka itu adalah salah. Sebab ijma' shahabat mengungkapkan (adanya) dalil. Jika (yang pertama) berdasarkan dalil maka yang kedualah yang salah karena itu berarti tidak dianggap sebagai ijma' karena adanya perbedaan dengan dalil. Adapun qiyas, qiyas dipandang tidak benar jika bertentangan dengan ijma' karena qiyas itu adalah cabang dari pokok maka jika ada dalil dari Al Kitab atau As Sunnah atau ijma' shahabat yang berbeda dengan qiyas maka qiyaslah yang ditinggalkan dan selama qiyas tidak boleh berbeda dengan ijma' shahabat, tidak boleh menasakh ijma' shahabat dengan qiyas.
TIDAK BOLEH MENASAKH HUKUM QIYAS
Hukum yang diistimbathkan melalui qiyas tidak boleh menasakh. Karena apabila qiyas diistimbathkan dari pokok maka qiyas itu tetap dengan tetapnya pokok, dan jika pokoknya lenyap dan dinasakh maka tidak terdapat qiyas. Karena itu tidak terjadi nasakh dengan qiyas sama sekali. sebab tidak tergambarkan pengangkatan suatu hukum qiyas sementara pokoknya masih tetap. Qiyas yang dipakai adalah qiyas yang illatnya ada di dalam nash baik dari Al Kitab atau As Sunnah atau illat yang keberadaannya (ditetapkan) dengan ijma' shahabat. Pokoklah yang menetapkan illatnya melalui salah satu dari tiga metode ini, apabila terjadi nasakh maka itu terjadi pada cabang dan tidak terjadi pada pokok. Jika terjadi pada cabang dan pokoknya masih tetap maka nasakh tidak akan terjadi terhadap qiyas selama yang pokok masih tetap ada. Jika nasakh itu terjadi pada pokok, sementara pokok itu merupakan asas,yang tidak akan ditemukan qiyas, apabila yang pokok telah di nasakh. Maka disana tidak terjadi qiyas untuk dapat dikatakan bahwa telah terjadi nasakh (pada qiyas). Apalagi bahwa nasakh atas pokok itu bukan berarti nasakh terhadap hukum qiyas, tapi itu merupakan nasakh terhadap hukum yang ditetapkan dengan Al Kitab atau As Sunnah atau ijma' shahabat dan ini bukan dari qiyas. Berdasarkan hal ini maka sama sekali tidak terjadi nasakh pada hukum qiyas.
METODE UNTUK MENGETAHUI YANG MENASAKH DARI YANG DINASAKH
Dalil yang menasakh itu memang harus ada hujjah syar'iyyah bahwa dalil tersebut adalah yang menasakh, jika tidak maka tidak dipandang sebagai yang menasakh. Juga bukan hanya dengan sekedar tampak adanya pertentangan antara dua dalil itu berarti salah satu menasakh yang lain, karena kadang-kadang masih mungkin untuk mengumpulkan keduanya sehingga tidak terjadi pertentangan. Nasakh adalah pembatalan hukum dan pengabaian nash, tentu memadukan dua dalil tentu lebih diprioritaskan dibanding nasakh dan pengabaian. Karena sungguh pengabaikan (nash) dan nasakh itu menyalahi pokok, dan yang menyalahi pokok tersebut harus ada penjelasan. Jika tidak ada hujjah atas hal tersebut tidak diperhatikan. Atas dasar itu maka pembatalan hukum yang terdahulu itu tergantung pada adanya hujjah yang menunjukkan bahwa dalil tersebut itu dinasakh. Hujjah ini bisa dengan adanya nash yang berikutnya (yang menyatakan) bahwa nash tersebut adalah menasakh yang sebelumnya baik secara lafadz atau dalalah, atau diantara dua nash tersebut terjadi pertentangan yang tidak mungkin dipadukan. Adapun nash yang datang berikutnya (yang menyatakan) bahwa nash tersebut adalah menasakh yang sebelumnya maka sungguh terdapat hukum-hukum yang seperti itu, antara lain sabda Rasul SAW:
"sungguh aku telah melarang kalian untuk ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah". Hadits dikeluarkan oleh Al Hakim.
Disini, nash tersebut telah menjelaskan bahwa nash tersebut telah menasakh pengharaman ziarah kubur. Begitu pula dengan yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"apabila seseorang mabuk maka jilidlah, jika kemudian mabuk labi maka jilidlah, tapi jika dia mengulang untuk yang keempat kalinya maka potonglah lehernya". Hadits dikeluarkan oleh Ahmad.
Hadits ini menunjukkan bahwa peminum khamr apabila telah minum yang keempat kalinya maka dia dibunuh. Namun hukum tersebut telah dinasakh dengan apa yang diriwayatkan dari Az Zuhri dari Qubaishah bin Dzu'aib bahwa Nabi SAW bersabda:
"barangsiapa yang minum khamr maka jilidlah, apabila dia mengulang lagi jilidlah, apabila mengulang lagi jilidlah, apabila mengulang lagi yang ketiga atau keempat bunuhlah…sebagai rukhshah". Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud.
Asy Syafi'I menyatakan bahwa hukuman mati itu telah dinasakh dengan hadits tersebut dan yang lain, yang dimaksud oleh Asy Syafi'I adalah hadits Az Zuhri dari Qubaishah ibnu Dzu'aib. Al Bazzar mengeluarkan hadits dari Jabir dengan lafadz:
"…maka didatangkan seorang laki-laki disebut sebagai Nu'man yang telah minur khamr keempat kalinya lalu laki-laki tersebut dijilid dan beliau tidak membunuh dia, maka hadits itu menasakh hukuman mati".
Pada hadits Az Zuhri diatas tedapat nash bahwa hukuman mati bagi peminum khamr untuk yang keempat kalinya telah dihapus. Maka perkataan Qubaishah:
"dan telah dihapus hukuman mati". Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud.
adalah bagian dari nash hadits, bukan perkataan seorang shahabat. Itu sebagaimana yang terdapat pada riwayat lain dari Jabir dari Nabi SAW, beliau bersabda:
"sesungguhnya barangsiapa yang meminum khamr jildlah, jika dia mengulangi lagi untuk yang keempat kalinya maka bunuhlah." Kemudian Jabir melanjutkan: "kemudian didatangkan pada Nabi SAW setelah itu seorang laki-laki yang telah meminum khamr untuk yang keempat kalinya, maka beliaupun memukulnya dan beliau tidak membunuhnya". Hadits dikeluarkan oleh At Tirmidzi
maka kalimat:
"beliau tidak membunuhnya" (Al Hadits)
Adalah bagian dari hadits, demikian pula dengan kalimat:
"dan hukuman matipun telah diangkat (dihapus)" (Al Hadits)
Riwayat "beliau tidak membunuhnya" memang tidak menegaskan bahwa hukuman mati tersebut telah dinasakh, namun nash tersebut bertentangan dengan sabda Rasul:
"apabila dia meminum khamr untuk yang keempat kalinya maka bunuhlah". Hadits dikeluarkan oleh Ahmad.
Namun riwayat:
"dan telah dianggkat(dihapus) hukuman mati"
Menegaskan penghapusan hukuman mati untuk (peminum khamr) yang keempat, karena makna "rafa'a" adalah: menghapus. Dan yang termasuk hukum yang merupakan nash yang datang belakangan bahwa nash tersebut menghapus yang sebelumnya secara dalalah adalah firman-Nya Ta'ala:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(TQS Al Mujaadilah(58):12)
Ayat ini telah menunjukkan adanya kwajiban membarikan shadaqah dihadapan Rasul jika ada, tapi hukum tersebut telah dinasakh dengan firman-Nya Ta'ala:
"Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya;"(TQS Al Mujaadilah(58):13)
Maka pada ayat ini terdapat didalamnya hal yang menunjukkan bahwa kwajiban menyampaikan shadaqah secara rahasia jika ada telah dihapus tanpa adanya penjelasan latar belakang penghapusannya. Dan hendaknya diketahui bahwa nash yang menunjukkan adanya nasakh harus ada dalam nash itu sendiri atau difahami dari nash. Oleh karena itu bukanlah metode yang benar dalam mengetahui nasakh dengan bahwa berkata seorang shahabat: adalah hukumnya begini kemudian dinasakh atau dihapus atau terjadi seperti itu sebelumnya atau hal-hal yang lain yang menunjukkan adanya nasakh. Sungguh hal yang semacam itu sama sekali tidak bernilai. Karena mungkin itu merupakan ijtihad. Contohnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dengan sanadnya dari Ibnu Umar ra bahwa dia berkata pada seorang Arab desa yang bertanya padanya tentang ayat:
"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak…"(TQS At Taubah(9):34)
"termasuk menyimpan harta adalah dengan tidak mengeluarkan zakat maka celakalah dia,ini sebelum diturunkan (ayat) tentang zakat maka ketika telah diturunkan zakat Allah menjadikan zakat sebagai pembersih atas harta". Khabar ini sama sekali tidak ada nilainya dalam nasakh. Ini tidak dipandang sebagai dalil nasakh dan ayat zakat tidak dipandang telah dinasakh oleh ayat penimbunan harta karena itu adalah ijtihad seorang shahabat. Ijtihad seorang shahabat bukanlah dalil nasakh. Juga bukan metode yang tepat untuk mengetahui nasakh ketika seorang yang meriwayatkan hadits berkata: bahwa hukum adalah seperti ini lalu di nasakh. Misalnya adalah yang diriwayatkan oleh Al Khamsah yakni Ahmad bin Hambal, At Tirmidzi, An Nasa'I, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Mu'awiyah bahwa Nabi SAW bersabda:
"apabila mereka meminum khamr maka jilidlah, lalu jika meninum lagi jiladlah, apabila dia meminum untuk yang keempat kalinya maka bunuhlah".
At Tirmidzi berkata: sesungguhnya yang seperti ini adalah pada awalnya kemudian dinasakh. Ini tidak dipandang sebagai dalil atas (terjadinya) nasakh. Juga bukan metode yang tepat yaitu ketika seorang shahabat menyatakan tentang salah satu dari dua (hadits) mutawatir bahwa itu lebih dulu dibanding yang lain. Sebab, pernyataan tersebut mengandung pengertian nasakh mutawatir dengan perkataan yang ahad sifatnya. Maka penunjukan nasakh itu harus merupakan nash baik dari Al Kitab atau As Sunnah, bisa secara jelas atau melalui dalalah. Sedangkan yang selain itu tidak dikategorikan sebagai hujjah untuk nasakh.
Adapun untuk pertentangan antara dua nash yang tidak memungkinkan untuk dipadukan antara keduanya, perlu dikaji terlebih dahulu. Apabila salah satunya telah diketahui sementara yang lain masih diduga, salah satu dari keduanya adalah qath'I tsubut dan qath'I dalalah dan yang lain dzanni tsubut dan dzanni dalalah atau qath'I tsubut dan dzanni dalalah atau sebalinya, maka mengamalkan yang telah dikehui adalah wajib. Artinya bahwa beramal dengan yang qath'I adalah wajib baik apakah (nash tersebut) datang lebih dahulu atau datang belakangan atau bahkan tidak diketahui kondisinya. Namun apabila nash tersebut (datangnya) lebih belakang dibanding dengan yang diduga kuat itu adalah yang menasakh. Jika tidak maka tetap wajib beramal (dengan yang ma'lum) meski bukan sebagai penghapus. Jika keduanya adalah diketahui (ma'lum) atau diduga (madznun) dan diketahui bahwa salah satunya lebih belakangan dibanding dengan yang lain maka yang datang belakangan adalah penghapus sedang yang datang terlebih dahulu adalah yang dinasakh. Itu dapat diketahui melalui sejarah atau isnad dari yang meriwayatkan salah satu dari keduanya pada suatu yang terdahulu seperti dengan perkataannya: ini pada tahun anu sedangkan yang ini pada tahun anu, atau dengan yang lain yang dapat menunjukkan mana yang terdahulu dan mana yang belakangan. Tapi apabila tidak diketahui sejarahnya dan tidak diketahui mana yang lebih dahulu dibanding yang lain maka tidak ada nasakh. Sebab dalam nasakh salah satunya tidak lebih diprioritaskan atas yang lain. Dan siapapun yang mengklaim bahwa hukum anu telah dinasakh padahal tidak diketahui sejarahnya ditolak karena tidak diketahui sejarahnya. Dan yang wajib pada kondisi yang semacam ini adalah: berhenti beramal dengan salah satu dari keduanya, atau memilih diantara keduanya jika memungkinkan.
Maka apabila diketahui ada indikasi bahwa dua nash yang saling bertentangan pada saat yang sama terdapat kesulitan untuk mengumpulkan keduanya, sungguh ini tidak terbayangkan terjadinya dan memang sama sekali tidak terjadi. Berdasarkan ini jelaslah bahwa dua nash yang saling bertentangan dari semua sudut dan tidak memungkinkan untuk menyelaraskan antara keduanya itu tidak terbayangkan terjadinya nasakh, kecuali pada dua keadaan. Pertama, jika keduanya sama-sama ma'lum atau sama-sama madznun dan diketahui bahwa salah satunya datang belakangan dibanding dengan yang lain maka yang datang belakanganlah yang menasakh dan yang datang sebelumnya yang dinasakh. Kedua, jika salah satunya ma'lum dan yang lain madznun dan yang ma'lum datangnya lebih belakang dibanding dengan yang madznun. Selain dua keadaan ini sama sekali tidak dijumpai adanya nasakh.
Ini apabila dua nash yang saling bertentangan tersebut saling menafikan dan tidak memungkinkan untuk memadukan keduanya. Namun apabila dua nash yang saling bertolak belakang dan yang saling menafikan dari semua segi tersebut masih mungkin untuk memadukan keduanya atau keduanya saling menafikan dari satu sisi dan tidak pada sisi yang lain maka tidak ada nasakh sama sekali.Sebab keduanya akan dipadukan dan salah satunya akan dipalingkan pada arah yang tidak bertentangan dengan yang lain. misalnya (hadits) dari Wa'il bin Hajar Al Hadhramiy:
"bahwa Thariq bin Suwaid Al Ja'fi bertanya pada Nabi SAW tentang khamr, beliau melarang Thariq bin Suwaid untuk meminumnya atau tidak menyukai pembuatan khamr. Lalu Thariqpun bertanya: itu saya gunakan untuk obat? Beliaupun menjawab: "khamr itu bukanlah obat tapi penyakit"". Hadits dikeluarkan oleh Muslim.
dari Abi Darda', dia berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"sesungghunya Allah itu menurunkan penyakit dan obat dan Allah menjadikan setiap penyekit itu ada obatnya maka berobatlah dan jangan kalian berobat dengan yang haram". Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud.
Dua hadits ini menunjukkan haramnya berobat dengan yang diharamkan. Dari Qatadah dari Anas:
"ada sekelompok orang dari 'Ukl dan 'Urainah yang mendatangi Madinah untuk bertemu dengan Nabi SAW dan mereka berbicara tentang Islam (masuk Islam)....mereka tidak suka tinggal di Madinah karena sakit yang menimpa mereka. Lalu Rasul SAW-pun memerintahkan mereka (tinggal) dengan dzawdin dan seorang pengembala dan beliau memerintahkan mereka untuk keluar di dalamnya, maka merekapun meminum susu serta air kencingnya." Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari.
dan dari Anas:
"bahwa Nabi SAW memberikan keringan pada Abdurrahman bin Auf dan Az-Zubair untuk mengenakan baju sutra karena penyakir gatal yang mereka derita". Hadits dikeluarkan oleh Muslim.
dan pada riwayat At Tirmidzi:
"Bahwa Abdurrahman bin Auf dan Az Zubair mengeluh pada Nabi SAW karena gatal-gatal maka beliaupun memberikan keringanan pada keduanya untuk mengenakan baju sutra".
dua hadits ini menunjukkan kebolehan berobat dengan yang diharamkan. Pertentangan antara nash-nash tersebut dapat dipadukan yaitu bahwa larangan pada kedua hadits yang pertama mengandung pengertian makruh. Contoh lain adalah dari Ali RA, dia berkata:
"Kisra memberi hadiah pada Rasulullah SAW dan beliupun menerimanya, Kaisar memberi hadiah pada beliau beliaupun menerimanya, para raja memberikan hadiah pada beliau dan beliaupun menerimanya". Hadits dikeluarkan oleh Ahmad.
dari 'Amir bin Abdullah bin Az Zubair dari bapaknya dia berkata:
"Qutailah anak perempuan Abdul Uzza bin Abdil As'ad dari Bani Malik bin Hasal mengunjungi anak perempuannya Asma' binti Abi Bakar dengan membawa hadiah biawak betina, susu yang dikeringkan dan mentega padahal dia musyrik maka Asma' menolak untuk menerima hadiah dan memasukkan ibunya tersebut ke dalam rumahnya. Lalu Aisyah bertanya pada Nabi SAW lalu Allah 'Azza wa Jalla menurunkan (firman-Nya):
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama…"(TQS Al Mumtahaanah(60):8)
Maka Rasulullah menyuruh Asma' untuk menerima hadiah ibunya tersebut, dan memasukkan kedalam rumahnya". Hadits dikeluarkan oleh Ahmad.
dua hadits ini menunjukkan kebolehan menerima hadiah. Dari Abdurrahman bin Ka'ab bin Malik:
"bahwa Amir bin Malik yang digelari sebagai ahli memainkan lembing mendatangi Rasulullah SAW dan dia musyrik lalu dia memberi hadiah pada baliau, maka beliaupun menjawab: "saya tidak menerima hadiah orang musyrik"". Hadits dikeluarkan oleh Ath Thabarani.
Hadits ini menunjukkan haramnya menerima hadiah orang musyrik. Pertentangan ini membutuhkan penyelarasan diantara beberapa nash. Maka hadits-hadits tersebut mengandung pengertian (beliau) menolak hadiah ketika dalam keadaan untuk mengasihani dan serta muwaalah (pertolongan), sedangkan ketika (beliau) menerima hadiah ketika dalam keadaan selain itu, atau mengandung pengertian bahwa menerima hadiah itu adalah mubah maka tergantung pada beliau apakah beliau mau menerima atau menolak (hadiah) tersebut. Maka begitu pula untuk seluruh nash yang bertentangan secara multi dimensional yang mungkin untuk dipadukan diantara keduanya maka salah salah satunya mengandung suatu makna dan yang lain mengandung makna yang lain dengan begitu maka hilanglah pertentangan.
Adapun untuk nash-nash yang ada pertentangan satu sisi dan tidak pada sisi yang lain, maka yang real adalah seluruhnya diarahkan yang dimaksud. contoh hal yang semacam itu adalah sabda beliau Alaihis-salam:
"barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah". Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari.
Hadits tersebut khusus untuk khusus (orang) yang mengganti agama dan berlaku umum bagi perempuan danlaki-laki. Adapun yang dikeluarkan oleh Ahmad dari jalur Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW:
"Rasulullah telah melarang membunuh wanita"
Hadits tersebut umum bagi setiap wanita dan khusus bagi wanita kafir yang asli jika tidak terlibat langsung dalam pertempuran, bukannya berlaku umum pada setiap keadaan. Karena berdasarkan sabda beliau pada sebagian riwayat hadits ada larangan untuk membunuh wanita. Maka ketika beliau melihat seorang wanita yang terbunuh:
"perempuan ini tidak ada dalam pertempuran, kemudian beliau melarang untuk membunuh wanita dan anak-anak". Hadits dikeluarkan oleh Ahmad.
Oleh karena itu maka orang yang murtad baik laki-laki maupun perempuan dibunuh dan dengan begitu tidak terjadi pertentangan diantara dua hadits tersebut. Maka hadits pembunuhan terhadap orang murtad khusus dalam keadaan murtad yang umum pada setiap hal maka baik laki-laki maupun perempuan semua dibunuh. Sedangkan hadits larangan membunuh wanita itu khusus dalam keadaan perang, maka wanita tidak dibunuh dalam keadaan tersebut. contoh (lain) yang serupa adalah sabda beliau SAW:
"apabila salah satu dari kalian masuk ke dalam masjid hendaknya tidak duduk sampai dia shalat dua raka'at". Hadits dikeluarkan oleh Ibnu Hibban.
Hadits tersebut umum untuk setiap waktu, setiap keadaan dan setiap masjid. Uqbah bin Amir meriwayatkan, dia berkata:
"tiga waktu yang Rasulullah SAW melarang kami untuk shalat pada tiga waktu tersebut,atau mengubur yang meninggal diantara kami; ketika matahari baru terbit sampai naik, ketika waktu tengah hari sampai matahari condong ke barat,dan ketika matahari menjelang terbenam sampai matahari terbenam". Hadits dikeluarkan oleh Muslim.
Hadits tersebut khusus untuk waktu-waktu tertentu. Umar bin Al Khattab (juga) meriwayatkan:
"bahwa Rasulullah SAW telah melarang shalat setelah subuh sampai terbitnya matahari dan setelah shalat ashar sampai tenggelamnya matahari". Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari. Hadits tersebut juga khusus untuk keadaan-keadaan tertentu. Maka apabila terjadi pertentangan antara yang khusus dengan yang umum maka yang umum mengangkat yang khusus. Maka hadits tentang tahiyyatul masjid mengandung pengertian selain lima waktu yang dimakruhkan. Dengan begitu tidak terjadi pertentangan antara dua nash. Maka begitu pula untuk nash-nash yang lain yang bertentangan pada satu sisi tapi tidak pada sisi yang lain. Maka nash-nash tersebut mengangkat sisi yang nash-nash tersebut datang dengan hal tersebut, juga dengan menghilangkan hal-hal yang saling menafikan diantara nash-nash tersebut.
Berdasarkan ini menjadi jelas bahwa dengan sekedar tampak adanya pertentangan antara nash-nash bukan berarti salah satunya menasakh yang lain bahkan nash-nash yang tampak ada pertentangan tersebut memungkinkan untuk dipadukan. Dengan mencermati nash-nash syara' dan melakukan kajian atas apa yang tampak adanya pertentangan menjelaskan bahwa pertentangan antara nash-nash itu tidak terjadi. Maka klaim bahwa terdapat dua nash yang saling bertentangan adalah klaim yang tidak berdasarkan dalil. Sedangkan nash-nash yang dikemukakan oleh sebagian ulama' yang diduga ada pertentangan antara keduanya justru nash itu sendirilah yang secara jelas (menunjukkan) tidak adanya pertentangan dan keduanya dapat dipadukan, Di dalamnya juga tidak terdapat satupun petunjuk yang menunjukkan adanya nasakh. Contoh ayat-ayat yang diklaim dinasakh adalah firman-Nya Ta'ala:
"Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya…" (TQS Al Anfaal(8):61)
Dikatakan bahwa ayat tersebut dinasakh dengan ayat pedang yaitu firman-Nya Ta'ala:
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk."(TQS At Taubah(9):29)
Pada ayat pertama dan kedua tampak bahwa nash dari keduanya tidak ada pertentangan diantara kedua ayat tersebut. Pada (ayat) pertama yang dimaksud adalah dalam keadaan damai, jika memang kepentingan dakwah mengharuskan hal itu seperti yang terjadi pada perjanjian Hudaibiyyah. Sedangkan yang kedua mengharuskan jihad apabila dakwah memang mengharuskan demikian. Jihad dan damai itu dua keadaan yang telah tetap dan hukum-hukum dari masing-masingpun tetap dan tidak ada sesuatupun yang dinasakh dari hukum tersebut. Sedangkan firman-Nya Ta'ala:
"Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah."(TQS Al Anfaal(8):72)
Dikatakan: bahwa ayat tersebut telah dinasakh dengan firman-Nya Ta'ala:
"Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah."(TQS Al Anfaal(8):75)
Ayat pertama menunjukkan atas adanya kekuasaan yaitu kemenangan. Sedangkan ayat kedua menunjukkan adanya prioritas dalam waris. Maka jelaslah bahwa nashnya tidak ada pertentangan diantara keduanya. Sebab yang pertama mengharuskan adanya kemenangan sedangkan yang kedua mengharuskan adanya prioritas dalam waris. Wilayah adalah kemenangan bukan prioritas dalam waris. Sedangkan firman-Nya Ta'ala:
"Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu;"(TQS Al Anfaal(8):38)
dikatakan bahwa ayat tersebut telah dinasakh dengan firman-Nya Ta'ala:
"Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi…" (TQS Al Baqarah(2):178)
Dan yang tampak bahwa nash dari kedua ayat tersebut tidak saling bertentangan. Karena yang pertama itu khusus tentang taubatnya orang kafir pada Allah yang Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan tidak termasuk di dalamnya ketika di dalam peperangan. Sedangkan (ayat) kedua khusus dalam peperangan dengan orang kafir agar tidak ada fitnah atas kaum Muslim dari agama mereka dan perang sehingga tidak ada fitnah bukanlah pengampunan dosa. Begitulah seterusnya (berlaku) bagi semua nash yang mereka kemukakan dan yang mereka klaim bahwa diantara ayat tersebut ada pertentangan. Sungguh ketika dicermati menjadi jelas bahwa tidak ada pertentangan antara keduanya. Atas dasar hal tersebut maka pendapat yang menyatakan bahwa ada dua nash yang saling bertentangan adalah pendapat yang tidak berdasarnya sama sekali. Nash-nash tersebut secara keseluruhan yang tampaknya adanya pertentangan di dalamnya memungkinkan untuk dipadukan. Bahkan sebagian dari karakter nash-nash syara' adalah (sekilas) menampakan pada yang melihat adanya suatu (yang menunjukkan) adanya pertentangan. Itu disebabkan keadan bangunan-bangunan yang berbeda-beda dan memang tidak tepat jika di dalamnya dilakukan tajriid (pengosongan) dan generalisasi. Justru diambil setiap keadaan, setiap kejadian, dan setiap hal bahkan setiap batas lalu memberikan nash untuk kejadian tersebut saja dan tidak diqiyaskan sesuatu dari kondisi bangunan terhadap yang lain dengan sekedar adanya kemiripan. Maka al ashl pada nash itu terdapat perbedaan. Kemudian nash datang untuk memberikan solusi atas suatu kondisi, kejadian atau perkara. Lalu datang nash yang lain untuk kondisi, kejadian atau perkara yang bukan yang pertama. Namun terdapat kesamaan antara keduanya, dengan begitu bagi yang melihat tampak terjadi pertentangan antara keduanya, padahal keduanya datang untuk hal yang berbeda. Selanjutnya orang yang melihat akan menduga ada pertentangan, terutama bahwa manusia itu karakternya adalah generalisasi dan tajriid maka dengan generalisasi dan tajriid tersebut manusia terjebak pada kesalahan dan pada dugaan bahwa salah satu nash bertentangan dengan yang lain. Namun bagi yang ahli terhadap kondisi bangunan nash tersebut adalah berbeda. Bagi orang yang 'aliim terhadap pokok-pokok syari'at dan bagi yang ahli terhadap berbagai fakta mereka mamahami nash-nash tersebut secara hakiki dan mereka memperlakukan setiap nash dengan maknanya masing-masing. Dengan begitu menjadi jelas bahwa nash tersebut tidak saling bertentangan. Karena itu tidak tepat jika ada yang mengklaim bahwa hukum ini dinaskh, bahwa nash ini adalah yang menasakh dengan hanya sekedar tampak adanya pertentangan antara dua nash padahal pada hakekatnya tidak ada pertentangan diantara keduanya, dan tidak diterima klaim nasakh kecuali apabila ada argumentasi syar'I bahwa nash ini yang menasakh. Artinya hendaknya harus ada dari syara' yang menunjukkan bahwa nash ini adalah yang menasakh yang itu. Maka selama tidak di dapatkan hujjah syar'iyyah maka tidak ada nasakh.
source: ebook pdf Syaksiyah Islamiyah Jilid III
cari cari ...
Thursday, October 7, 2010
Al Muthlaq dan Al Muqayyad, Mujmal, Bayan dan Mubiin, Nasikh dan mansukh
11:16 PM
admin
No comments
0 comments:
Post a Comment