Judul Asli: Jihad and the Foreign Policy of the Khilafah State
Pengarang: Zahid Ivan-Salam
Penerbit: Khilafah Publications, London, England
Tanggal terbit: 3 Juli 2001 M / 11 Rabi’ul Tsani 1422 H
Penerjemah: Abu Faiz, Munir, dkk
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
PENDAHULUAN
I.SITUASI INTERNASIONAL SAAT INI
II.KEBIJAKAN LUAR NEGERI NEGARA ISLAM
III.JIHAD: METODE PRAKTIS MENDAKWAHKAN
IDEOLOGI ISLAM KE SELURUH DUNIA
IV.DAULAH ISLAM ADALAH NEGARA ADIDAYA
DAN UMAT ISLAM ADALAH UMAT TERKEMUKA
V.TUJUAN PERANG FISIK DALAM IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN LUAR NEGERI DAULAH ISLAM
KATA PENGANTAR
Saudara-saudaraku sekalian,
Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu.
Semoga shalawat dan salam tercurah bagi penghulu para Nabi, amirul mukminin, Rasulullah Muhammad saw, beserta keluarganya, sahabatnya, dan siapa saja yang mengemban dakwah bersamanya; juga bagi siapa saja yang mengikuti jejak beliau dan mengambil akidah Islam sebagai landasan pemikiran, serta menjadikan hukum-hukum syara’ sebagai standar perbuatan dan rujukan pendapatnya.
Saya berdoa semoga segala upaya kita hanya semata-mata untuk mencari keridhaan-Nya serta memberi manfaat bagi Islam dan kaum Muslim. Saya memohon agar Allah Swt berkenan membuka mata dan hati kita untuk melihat kebenaran sebagai kebenaran, dan menganugerahkan kekuatan dan keberanian untuk mengikutinya; dan membuka mata dan hati kita agar mampu melihat kesalahan sebagai kesalahan dan menganugerahkan kekuatan dan keberanian untuk meninggalkannya.
Kaum Muslim saat ini berada dalam keadaan yang paling menyedihkan sepanjang sejarah umat Islam. Mereka bahkan juga menjadi umat yang paling rendah di hadapan umat-umat lainnya di seluruh dunia. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Meskipun umat memiliki tekad dan semangat yang besar, namun mereka tidak mampu memberikan pengaruh yang kuat dan teguh terhadap segala permasalahan yang dihadapi dan dialami umatnya. Umat Islam jauh dari kedudukan sebagai pemimpin dalam konstelasi perpolitikan dunia. Sebaliknya, umat Islam berada dalam kendali dan hegemoni umat lain. Tidak jarang, nasib dan kata akhirnya ditentukan oleh kekuatan yang lebih besar, atau kekuatan-kekuatan ideologis lainnya.
Keberadaan umat Islam sama sekali tidak mendapat pengakuan internasional, karena tidak satu pun negeri Muslim di dunia yang menerapkan akidah Islam secara komprehensif. Oleh karena itu sangat wajar jika kaum Muslim tidak mempunyai pengaruh di kancah internasional. Sesungguhnya, kaum Muslim memiliki potensi ideologis untuk menghindar jauh-jauh dari keadaan seperti ini. Kaum Muslim dimana pun mereka berada sebetulnya menyadari potensi tersebut namun dibuat bingung dengan potensi itu. Meski demikian tetap saja masalah kehidupan dan kedudukan mereka tidak mengalami perubahan.
Dalam rangka merubah keadaan ini, telah banyak pemikir, intelektual, pemimpin, dan berbagai harakah (pergerakan) yang muncul serta memberikan kontribusi mereka. Namun demikian, karena negara Khilafah telah diruntuhkan lebih dari 70 tahun yang lalu, kaum Muslim telah kehilangan berbagai pemikiran dan aturan yang unik untuk menghadapi beraneka ragam pemikiran, aturan, dan realitas yang ada. Tumbangnya negara Khilafah sama artinya dengan raibnya hukum-hukum syari’at sebagai suatu sistem kehidupan; dan hilangnya syariat dalam kehidupan sehari-hari bermakna hilangnya standar dan patokan yang harus diikuti.
Runtuhnya negara Khilafah menimbulkan kebingungan umat Islam terhadap pemikiran-pemikiran Islam yang mengatur dan memelihara kehidupan ini. Dengan kata lain, setulus apa pun niatnya, kaum Muslim acapkali memberikan penyelesaian yang berangkat dari sudut pandang yang membingungkan ini. Alih-alih merumuskan solusi permasalahan dengan mengacu pada sumber-sumber hukum syariat dengan cara yang tepat, yaitu dengan ijtihad, kaum Muslim justru menjadikan realitas atau fakta sebagai sumber rujukan bagi pemikiran dan solusi yang mereka rumuskan, selain sumber-sumber hukum kufur yang lain. Keputusasaan kaum Muslim dalam menghadapi permasalahannya semakin memperumit situasi ini. Keadaan ini semakin diperparah lagi dengan kehadiran orang-orang yang tidak tulus, yaitu para agen pengkhianat dan musuh-musuh Islam, yang tidak hanya memanfaatkan kebingungan ini, tetapi juga mengokohkan kekuatan, keinginan, dan pengaruh mereka atas umat Islam.
Kaum Muslim mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Bagaimana wujud kedudukan internasional yang ingin dimiliki kaum Muslim saat ini? Apakah mereka dianggap layak berbicara dalam kancah perpolitikan dunia? Apa yang membuat negara Islam dahulu menjadi negara nomor satu di dunia? Apa yang membuat kaum Muslim masa lalu begitu kuat? Apa yang membuat kaum Muslim mampu mengokohkan kedudukan mereka? Apa yang dibutuhkan untuk mengembalikan keadaan ini? Jawaban-jawaban atas sejumlah pertanyaan di atas merupakan suatu kebutuhan; dan umat Islam wajib memiliki kesamaan jawaban, apabila mereka memang menghendaki perubahan dalam kehidupannya.
Kesadaran kaum Muslim terhadap kewajiban mereka untuk mengemban akidah Islam ke seluruh dunia merupakan sesuatu yang memberi arti dan tujuan hidup bagi umat Islam. Kesadaran ini bukan –dan memang tidak mungkin– bersumber pada situasi dan realitas yang ada pada waktu itu. Tetapi, kesadaran atau pemikiran itu bersumber dari ketentuan-ketentuan syariat. Misi dan tujuan hidup tersebut mengharuskan umat Islam mempunyai kedudukan internasional yang tinggi; dan bila mereka melaksanakan tujuan hidupnya itu, maka akan muncul kebutuhan untuk menjadi kuat dan berpengaruh, bukan sebaliknya, menyerah kalah dan terjajah. Demikian pula, metode praktis untuk mencapai kedudukan yang mulia itu bersumber dari ketentuan syariat, bukan atas dasar pertimbangan situasi yang ada pada waktu itu. Jihad adalah metode (thariqah) untuk mengemban dakwah Islam kepada seluruh umat manusia, sekaligus cara kaum Muslim untuk memperoleh kedudukan terhormat di masa lalu yang bertahan selama lebih dari tiga belas abad.
Pelaksanaan jihad memerlukan keberadaan sebuah negara yang memiliki pasukan bersenjata. Sekali lagi, metode ini diambil dari nash-nash syara’ semata. Tetapi, pemikiran-pemikiran dan aturan-aturan tersebut kini sama sekali hilang dari benak kaum Muslim; sementara kaum kafir beserta agen-agennya berupaya keras mempertahankan situasi ini selama-lamanya.
Bila masalah-masalah di atas tidak dipahami oleh kaum Muslim, baik secara menyeluruh maupun bagian per bagian, bagaimana mungkin kaum Muslim paham bahwa mengabaikan aktivitas dakwah ke seluruh penjuru dunia merupakan suatu pelanggaran yang sangat dimurkai Allah Swt? Bagaimana mungkin pula kaum Muslim mengetahui jalan menuju kejayaan Islam? Bagaimana mungkin kaum Muslim mampu memperkokoh kedudukannya? Bagaimana mungkin kaum Muslim mampu menghadapi negara adidaya? Konsekuensi dari ketidakpahaman ini adalah bahwa kaum Muslim sama sekali tidak akan mampu mewujudkan cita-citanya itu; atau paling tidak mereka akan tetap dalam kebingungannya, tidak tahu resepnya untuk meraih kedudukan internasional yang terhormat.
Ketidakpahaman mengenai jihad –sebagai suatu kewajiban spiritual– mengakibatkan absennya dakwah Islam yang paling efektif dan berpengaruh, juga hilangnya misi dan tujuan hidup kaum Muslim. Absennya misi dan tujuan hidup mengakibatkan matinya rasa peduli atas urusan kaum Muslim maupun urusan umat manusia. Ujung-ujungnya adalah hilangnya pengaruh Islam atas negara-negara yang ada di dunia saat ini; sementara pada saat yang sama, persaingan antar negara semakin menggila dan agresi pun terus berlangsung secara terang-terangan maupun terselubung.
Pemahaman yang jernih ini akan menarik perhatian manusia untuk menyadari arti penting sebuah negara, dan kemudian mendorong mereka untuk menginginkan kehadirannya. Karena, tanpa sebuah institusi negara, tidak satu pun cita-cita dan harapan mereka dapat diraih. Itulah negara Khilafah.
Kesenjangan antara keadaan saat ini dimana pemikiran kaum Muslim dilanda kekacauan, dengan pemikiran sahih yang berlandaskan syariat perlu dihilangkan dengan menyingkirkan berbagai rintangan yang menghalangi keterikatan kaum Muslim kepada hukum-hukum syara’ yang qath’i (bersifat pasti). Rintangan-rintangan yang muncul sejak abad yang lalu ini meliputi:
1.Ketidakpahaman umat Islam bahwa akidah Islam mengatur segala urusan kehidupan manusia.
2.Ketidakpahaman umat Islam bahwa negara Khilafah merupakan satu-satunya metode (thariqah) untuk menerapkan solusi Islam dalam berbagai masalah kehidupan, melindungi akidah, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
3.Kelalaian umat Islam dalam melaksanakan jihad sesuai aturan syariat yang merupakan metode mendakwahkan Islam kepada seluruh umat manusia.
Pokok pembahasan buku ini adalah jihad, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari akidah Islam. Tanpa jihad, Islam laksana kapal tanpa nakhoda yang mengarahkan dan mengendalikan jalannya kapal di tengah lautan.
Saat ini, makna dan pengertian jihad yang sejati telah disalahpahami. Paling-paling, jihad dipahami sebagai suatu perlawanan defensif oleh orang-orang yang teraniaya. Dengan kata lain, jihad hanya dianggap sebagai peperangan yang dilakukan ketika kaum Muslim mendapatkan serangan. Ada lagi sementara kalangan yang menganggap dan mempropagandakan jihad sebagai suatu perjuangan melawan hawa nafsu, atau bahkan sebagai suatu konsep yang tidak sesuai dan tidak layak lagi dilakukan di zaman modern ini. Demikianlah, mereka mengingkari jalan menuju kemuliaan yang telah dikaruniakan Allah Swt kepada kaum Muslim. Ada pula yang memahami jihad, namun pemahaman ini tidak dikaitkan dengan keberadaan suatu negara yang berkewajiban mengemban tugas tersebut. Jadi, mereka menunda pelaksanaannya atau melakukan aktivitas-aktivitas lain yang tidak efektif sebagai penggantinya. Selain itu ada kalangan Muslim yang ingin mengembalikan Islam pada posisi yang kuat sebagaimana pada masa lalu, namun tanpa disertai pemahaman dan pengertian yang jelas bagaimana caranya. Di antara semua itu, ada pula kalangan yang berupaya keras agar umat ini kehilangan keperkasaan dan kekuatannya untuk selama-lamanya. Mereka mengharapkan hal ini, dan terus menerus menyusun makar untuk mempertahankan situasi saat ini, dengan jalan merekayasa dan menyimpangkan makna jihad yang sesungguhnya, memelintir nash-nash syara’ dengan tujuan menyingkirkan konsep jihad, serta melakukan berbagai upaya untuk menghalangi kembalinya kedigjayaan tentara umat Islam seperti pada masa yang lalu. Akibat dari kerumitan ini adalah bahwa kaum Muslim tidak menyadari bahwa tengah terjadi berbagai upaya untuk menghancurkan eksistensi mereka.
Jihad adalah mata rantai penghubung antara peran dan tujuan hidup yang telah ditetapkan bagi kaum Muslim dengan tercapainya posisi yang terhormat dan berpengaruh dalam kancah politik internasional dalam bentuk sebuah negara utama.
Setiap orang tahu perubahan yang dialami kaum Muslim pada masa lalu. Awalnya, mereka adalah suku-suku padang pasir yang terbiasa hidup nomaden, mengembara ke segala penjuru Jazirah Arab tanpa ambisi lain kecuali hanya untuk mendapatkan gelimang kemewahan hidup, merawat hewan kesayangannya, dan memuaskan kehidupannya yang sederhana. Tapi kemudian, masyarakat tersebut menguasai dunia laksana angin puyuh, menaklukkan hampir semua bagian dunia dalam waktu kurang dari seratus tahun seteah wafatnya Rasulullah saw, Nabi terakhir yang diturunkan di tengah-tengah mereka. Semua orang tahu hal ini, namun berapa banyak yang mengetahui rahasia keberhasilan mereka?
Rahasianya adalah jihad. Jihad memberi mereka sebuah misi; jihad memberi mereka pandangan yang mendunia; jihad memberi mereka kemenangan dan penaklukan semata-mata karena Allah Swt; jihad telah membuat dakwah Islam bisa disampaikan kepada seluruh umat manusia.
Selama kekacauan dalam memahami makna jihad yang sejati ini masih melanda kaum Muslim, maka segala upaya yang dapat dilakukan kaum Muslim untuk melakukan refleksi atas sejarah masa lalu serta mengingat-ingat masa kejayaan Islam sebagaimana pengakuan para sejarawan dan penulis, tidak akan banyak berarti. Situasi tidak akan berubah. Penghinaan dan penistaan atas kaum Muslim masih akan terjadi dimana pun dan kapan pun, tanpa kecuali.
Selama kekacauan itu masih melanda kaum Muslim, maka mereka tetap akan ditindas, dimangsa, dirampok, dan dimakan hidup-hidup, seperti yang terjadi pada saat ini, sementara musuh-musuh Islam sama sekali tidak memiliki rasa takut kepadanya.
Tetapi andaikata rahasia itu diketahui, maka pihak-pihak yang selama ini mempertahankan situasi kacau seperti saat sekarang –sebut saja Amerika, Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya– akan menggigil ketakutan. Karena, umat Islam akan mempunyai sesuatu yang sangat vital sebagai mata rantai penghubung antara yang menciptakan mereka dengan diri mereka, tujuan hidup mereka, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan hidup tersebut.
Mata rantai tersebut menjadi rahasia umat Islam, rahasia keperkasaan, kehormatan, kejayaan, keamanan, dan kemuliaan umat Islam, serta yang memberi mereka kehidupan; itulah jihad.
Dan segala keperkasaan, segala kekuatan, segala kemuliaan adalah milik Allah Swt.
Zahid Ivan-Salam
4 Juli 2001 M
12 Rabi’ul Tsani 1422 H
PENDAHULUAN
Sepanjang sejarah, pasukan Muslim merupakan kekuatan yang disegani dan dihormati; bahkan selama berabad-abad, negara-negara lain –termasuk negara-negara Eropa– beranggapan bahwa pasukan Muslim tidak akan pernah dapat dikalahkan. Seluruh bangsa di penjuru dunia dapat melihat dengan jelas realitas ini. Berikut ini adalah beberapa contoh perjuangan pasukan Muslim.
Sebuah pasukan berkekuatan 200.000 personel bersenjata lengkap yang tak lain merupakan pasukan kekaisaran Romawi –negara adidaya pada masa itu– suatu ketika berhadapan dengan pasukan Muslim. Al-Waqidi mengisahkan dari al-Itaf bin Walid, ‘Abdullah bin Rawahah telah terbunuh pada sore itu. Khalid bin Walid ra menghabiskan malam itu tanpa melakukan serangan kepada musuh. Esok paginya, Khalid bin Walid mengatur ulang formasi pasukan, dengan menempatkan pasukan berkuda di belakang dan mengganti pasukan sayap di sebelah kiri dan kanan. Pasukan Romawi yang tidak mengenal panji-panji, tanda-tanda, dan pola formasi pasukan Muslim, mengira bahwa akan datang pasukan bantuan. Maka mereka pun merasa takut dan mundur dengan rasa panik, sehingga mereka mengalami kekalahan, karena belum pernah ada musuh yang mampu membuat mereka mundur dari medan perang’. Itu adalah peristiwa yang terjadi di medan Perang Mu’tah.
Seorang pakar militer yang terkenal sekaligus Panglima Divisi III Pasukan Jerman, Jenderal Aaron Rommel, suatu kali pernah ditanya tentang rahasia keberhasilan taktiknya dalam peperangan. Ia menjawab secara lugas bahwa ia meniru taktik yang dipakai oleh panglima perang pasukan Muslim yang terkenal, Khalid bin Walid ra.
Rasulullah saw telah merintis strategi sebelum perang, dengan membentuk dan mengirimkan pasukan khusus yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi intelejen. Ibnu Ishaq menceritakan, ‘Sore itu beliau saw mengirimkan Ali, az-Zubair ra, dan Sa’ad bin Abi Waqqash ra, bersama sejumlah pengikutnya ke sumber air Badar untuk mencari informasi’. Adalah Yazid ibn Ruman yang meriwayatkan kisah ini dari Urwah ibn az-Zubair. ‘Mereka bertemu dengan dua orang pengambil air bagi pasukan Quraisy, yaitu Aslam –seorang remaja dari suku al-Hajjaj– bersama dengan Arid Abu Yasar –seorang remaja dari suku al-‘Ash bin Sa’id. Mereka membawa kedua anak tersebut ke tempat pasukan Muslim dan menanyai keduanya, sementara Rasulullah saw tengah mengerjakan shalat. Kedua anak tersebut mengaku bahwa mereka bertugas mengambil air untuk kepentingan pasukan Quraisy. Selesai shalat, Rasulullah saw bertanya kepada kedua anak tersebut:
‘Cobalah kamu terangkan keadaan kaum Quraisy!’ Mereka menjawab, ‘Mereka berada di balik bukit di seberang lembah ini’. Nabi kemudian kembali bertanya, ‘Berapakah jumlah kaum Quraisy yang datang? Mereka menjawab, ‘Banyak’. Rasulullah saw bertanya, ‘Berapa banyak jumlahnya? Mereka menjawab, ‘Kami tidak tahu’. Kemudian Nabi bertanya, ‘Berapa ekor unta yang mereka sembelih setiap harinya? ‘Kadang mereka menyembelih sembilan ekor setiap hari, dan kadang-kadang sepuluh ekor’. Maka Rasulullah saw menyimpulkan, ‘Kalau begitu jumlah mereka antara 900 sampai 1000 orang’.
Pada tahun ke-14 setelah Hijrah, Khalifah Umar bin Khaththab mengumpulkan pasukan Muslim untuk berperang melawan pasukan Kerajaan Persia yang telah mempersiapkan diri melawan pasukan Muslim. Jumlah pasukan Muslim terhitung kecil bila dibandingkan luasnya wilayah Kerajaan Persia dan jumlah penduduknya yang sangat besar. Pernyataan jihad telah disebarluaskan ke seluruh wilayah, dan Sa’ad bin Abi Waqash ra ditunjuk sebagai panglima pasukan negara Islam. Beliau memberikan rancangan strategi perang kepada komandan pasukan yang bersiap siaga di garis depan.
Khalifah memberikan instruksi agar pasukan Muslim berkemah di Qadisiyah. Sa’ad mematuhi perintah itu; setelah meneliti situasinya, panglima mengirimkan laporan yang rinci kepada Khalifah. Dengan situasi pegunungan di belakang, Khalifah memerintahkan pasukan untuk membentuk formasi tempur sebagaimana biasanya. Khalifah juga menekankan agar sebelum pertempuran dimulai, pasukan Muslim harus mengirimkan duta (utusan) kepada penguasa Persia untuk menyampaikan dakwah Islam.
Tak lama kemudian, sekelompok utusan diberangkatkan dan menemui penguasa Persia untuk menyampaikan dakwah Islam. Namun utusan tersebut hanya ditertawakan, dihina, dan dicemooh. Duta terakhir yang dikirimkan kaum Muslim atas instruksi Khalifah adalah Mughirah. Setelah turun dari kudanya, Mughirah langsung maju ke depan menuju ke tengah-tengah ruang singgasana dan duduk di samping panglima Persia, Rustum. Tindakan provokatif ini mengundang kemarahan para pembesar Persia, sehingga pengawal kerajaan menarik beliau turun dari tempat duduknya. Maka Mughirah berkata kepada pengawal kerajaan, ‘Aku datang bukan karena kehendakku sendiri, tetapi karena undangan dari kalian. Oleh karena itu aku adalah tamu kalian, dan sebagai tamu aku tidak pantas mendapat perlakuan seperti ini. Bukanlah kebiasaan kami ada seorang yang duduk seperti dewa, sementara yang lain duduk menunduk di depannya seperti budak’. Mughirah meletakkan tangannya di hulu pedangnya, kemudian berkata, ‘Jika kalian tidak menerima Islam atau membayar jizyah, maka biarlah pedang yang menyelesaikan urusan ini’. Rustum marah besar dan berteriak, ‘Demi matahari! Aku akan menghancurkan seluruh Jazirah Arab besok!
Demikianlah, Rustum menyatakan perang. Siangnya, seluruh pasukan Persia telah bersiaga; sedangkan Rustum sendiri telah bersiap dengan dua lapis baju perang yang menutupi kepala hingga jemari kakinya. ‘Aku akan melumatkan seluruh Arab hingga hancur berkeping-keping’, katanya. Rustum memang dikenal sebagai panglima perang yang piawai mengatur pasukannya di medan perang. Rustum menempatkan pasukannya dalam tiga belas lapisan, sedangkan di bagian tengah terdapat segerombolan gajah yang dinaiki oleh pasukan yang bersenjata lengkap. Pasukan sayap kanan dan sayap kiri juga diperkuat dengan pasukan gajah di bagian belakangnya.
Pasukan Persia sengaja menggunakan pasukan gajah untuk menahan kesatuan Bahilah, yakni pasukan berkuda kaum Muslim yang paling disegani. Taktik pasukan Persia ini ternyata cukup berhasil. Pasukan ‘batu hitam’ (maksudnya gajah-pen) tentara Persia ini tidak dikenal oleh kuda-kuda pasukan Muslim; bila bertemu dengan gajah-gajah tersebut mereka menjadi panik dan mendadak berlarian kesana kemari. Pasukan infanteri kaum Muslim tetap teguh dan bertahan di garis depan, tetapi serangan pasukan gajah itu juga membuat mereka goyah.
Melihat keadaan ini, segera Sa’ad mengeluarkan perintah kepada kabilah Asad untuk menggerakkan kesatuan Bahilah. Begitu mendapat perintah tersebut, panglima kesatuan Bahilah, Tulaiha –seorang pejuang yang termasyhur– berkata kepada pasukannya, ‘Anak-anakku, ingatlah bahwa Sa’ad telah mengharapkan bantuan dari kalian’. Terdorong oleh ucapan tersebut, kesatuan ini memacu kuda mereka untuk menyerang pasukan gajah. Keberanian dan kelihaian kesatuan Bahilah dalam berperang membuat pasukan gajah tertahan sementara waktu; namun pasukan Persia kemudian meninggalkan kesatuan Bahilah, dan menggunakan seluruh kekuatannya untuk menyerang pasukan Muslim yang datang membantu.
Perubahan strategi pasukan Persia membuat Sa’ad mengeluarkan perintah berikutnya. Sa’ad memerintahkan kesatuan Tamim, yang terdiri dari para pemanah dan pelempar tombak yang piawai, untuk menggunakan kemampuan mereka mematahkan serangan pasukan gajah. Mendengar perintah tersebut, para pemanah dan pelempar tombak menempatkan diri dalam formasi pertempuran, dan segera menghujani pasukan gajah dengan panah dan tombak yang berhasil menjatuhkan para penunggangnya. Pertempuran itu terus berlanjut hingga matahari tenggelam. Demikianlah pertempuran hari pertama.
Hari berikutnya, pasukan bantuan dari Syria dibagi-bagi oleh Qa’qa’ menjadi beberapa kelompok kecil. Begitu kelompok pertama telah terlibat dalam pertempuran, kelompok lainnya muncul dari kejauhan dan kemudian terjun ke medan perang; demikian seterusnya sepanjang hari. Taktik ini ternyata bisa menggentarkan pasukan Persia, karena setiap kali sebuah kelompok terjun ke medan perang, mereka maju sambil meneriakkan takbir keras-keras, ‘Allahu Akbar! Sementara itu, untuk memperlemah serangan pasukan gajah terhadap pasukan Muslim, Qa’qa’ menggunakan gagasan yang sangat cemerlang. Beliau ‘mendandani’ unta-unta pasukan Muslim dengan beberapa perlengkapan, termasuk dengan menutupi kepala unta dengan jubah, sehingga membuat penampilan unta-unta tersebut tampak aneh dan menakutkan. Siasat tersebut terbukti cukup efektif, terbukti bahwa setiap kali ‘gajah palsu’ itu lewat, kuda-kuda pasukan Persia mendadak panik sehingga tidak bisa dikendalikan. Itulah pertempuran hari kedua.
Hari ketiga, Qa’qa’ menggunakan strategi pertempuran yang berbeda. Ketika malam datang, Qa’qa’ memerintahkan sejumlah kesatuan pasukan berkuda ditemani beberapa orang pasukan infanteri pergi ke beberapa lokasi yang cukup jauh. Dia kemudian memerintahkan agar pada saat fajar menjelang, pasukan pertama memacu kudanya menuju pasukan Persia, kemudian diikuti oleh kelompok-kelompok lain dari berbagai lokasi yang berbeda secara berkesinambungan.
Begitu hari terang, pasukan pertama memacu kudanya dengan penuh semangat. Seluruh pasukan Muslim berteriak bersama-sama, Allahu Akbar. Seruan serupa juga datang dari berbagai penjuru tempat pasukan bantuan itu berada. Sementara itu, Hisyam (yang dikirim Abu Ubaidah dari Syria) bersama 700 pasukan berkuda datang pada saat itu pula.
Sa’ad yang masih melihat adanya celah akibat serangan pasukan gajah kepada pasukan Muslim, berusaha mencari informasi intelejen mengenai masalah tersebut. Informasi tentang ‘monster hitam’ dari beberapa orang Persia yang telah memeluk Islam menyebutkan bahwa titik lemah binatang tersebut adalah pada mata dan belalainya. Sa’ad memberikan informasi ini kepada Qa’qa’, Hammal, dan Rabil yang kemudian menyebarluaskannya ke tengah-tengah pasukan Muslim. Pertama-tama Qa’qa’ memerintahkan sekelompok pasukan berkuda dan infanteri untuk membentuk barikade di sekeliling gajah-gajah tersebut. Dia dan Asim kemudian melemparkan tombak kepada gajah berwarna putih yang sangat besar. Lemparan tombak kedua orang itu, dengan akurasi yang sangat tinggi, berhasil mengenai kedua mata gajah tersebut. Maka dalam keadaan tersiksa rasa sakit yang teramat sangat, gajah tersebut terhuyung-huyung ke belakang. Tanpa membuang waktu, Qa’qa dengan sekuat tenaga mengayunkan pedangnya menebas belalai gajah tersebut hingga lepas dari kepalanya. ‘Monster’ yang terluka itu kemudian berbalik ke belakang dan berlari tanpa kendali. Gajah-gajah yang lain juga menjadi sasaran serangan yang serupa. Begitu melihat gajah-gajah yang kesakitan itu pergi meninggalkan medan pertempuran, maka gajah-gajah lain segera mengikutinya, sehingga dalam waktu singkat ‘awan hitam’ itu hilang sama sekali. Inilah pertempuran Qadisiyah.
Dari Perang Salib dikisahkan bahwa, ‘Pasukan berkuda kaum Muslim ternyata mampu bergerak lebih lincah daripada pasukan Salib. Pada umumnya, tentara Khalifah yang paling piawai akan dikelompokkan dalam pasukan elit. Mereka biasanya menguasai berbagai ketrampilan perang, sehingga tidak jarang berbagai pertempuran berhasil diselesaikan oleh pasukan itu. Strategi mereka benar-benar sempurna. Sebagian besar dari pasukan elit tersebut merupakan penunggang kuda yang pandai memanah. Dengan perlengkapan yang ringan serta menunggang kuda yang kuat dan cekatan, kaum Muslim menjadi tantangan besar bagi pasukan Salib. Tidak hanya karena mereka lebih lincah bergerak daripada para ksatria Salib yang berbaju besi, tetapi juga karena konsep peperangan yang dipegang oleh pasukan Muslim sama sekali berbeda. Kekuatan pasukan Salib terletak pada pasukan kavaleri yang besar, yang bertugas membantai apa pun yang ada di depannya. Melawan musuh-musuh yang biasa, peperangan harus bisa diakhiri dengan satu kali serangan; jika tidak, musuh bisa maju menggunakan pasukan bantuan atau pasukan sayap untuk mendekat dan menghabisi mereka. Namun, pasukan Muslim bukanlah pasukan yang biasa-biasa saja. Pasukan Muslim tidak mudah terpancing pada pola pertempuran tertentu, dan jarang menggunakan pola pertempuran yang teratur, sehingga tidak mudah dibantai oleh tentara Salib. Bukan hanya karena pasukan Muslim mampu bergerak lebih lincah, tetapi juga karena mereka memiliki persenjataan –berupa busur panah– yang mematikan.
Kaum Muslim tidak mau terpancing untuk bertempur dalam jarak dekat, tetapi seringkali memberikan kejutan berupa serangan panah yang diluncurkan dari jarak 80 meter, yang tidak dapat dijangkau oleh senjata (tombak, lembing, maupun panah) pasukan Salib. Anak-anak panah tersebut jarang meleset dari sasarannya, yakni para penunggang kuda, yang dalam keadaan statis mirip dengan sasaran tembak yang tidak bergerak. Menyerang pasukan Muslim bagaikan mengejar angin; mereka mudah menghilang di bawah ufuk. Dalam posisi bergerak menyerang, situasi pasukan Salib tidak lebih baik. Dari waktu ke waktu, pasukan kavaleri kaum Muslim muncul dari tempat-tempat yang tidak terduga, berlari mengelilingi pasukan musuh, kemudian melancarkan serangan panah yang mematikan, untuk kemudian menghilang, dan muncul lagi tidak lama setelah mengisi penuh tabung-tabung anak panah mereka. Jika anak panah tersebut tidak dapat menembus baju besi ksatria Salib, maka kaum Muslim tidak segan-segan meluncurkan anak panah ke arah kuda-kuda mereka. Bila ksatria itu telah kehilangan kudanya, maka mereka tidak lagi bisa disebut ksatria; karena dalam keadaan seperti itu, kemampuan perang mereka telah hilang sama sekali’. (Joshua Prawer, The World of The Crusaders, 1972). Inilah realita yang terjadi pada Perang Salib.
Memang, kaum Muslim pada awalnya adalah orang-orang yang tinggal di tengah padang pasir; tetapi kemudian mereka mulai membentuk kesatuan angkatan laut dengan Mu’awiyah sebagai panglima pertama pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab ra. Armada pasukan Romawi berhasil dikalahkan pada beberapa pertempuran; armada mereka juga pernah melarikan diri dari hadapan pasukan Muslim di Laut Tengah. Armada negara Khilafah yang terdiri dari 500 kapal perang berhasil menaklukkan Siprus, kepulauan Rhodes, serta kepulauan Yunani lainnya. Keperkasaan kesatuan angkatan laut ini bertahan selama berabad-abad, bahkan hingga saat ini. Lebih jauh lagi diriwayatkan bahwa, ‘(Pasukan Salib) menembaki musuhnya dengan menggunakan ‘Api Yunani’ (nafta). Nafta telah lama digunakan dalam perang di lautan dan pada saat-saat pengepungan digunakan untuk menyalakan api pada mesin-mesin perang, termasuk kapal-kapal perang. Sementara itu, kaum Muslim meramu belerang, salpeter, dan minyak nafta untuk membuat bahan bakar yang mampu menyala di air. Penggunaan bahan bakar ini menghasilkan akibat yang sangat besar terhadap pasukan Salib. Orang-orang Barat tidak mempelajari senyawa ini hingga bertahun-tahun kemudian’. (Georges Tate, The Crusaders and the Holy Land).
Demikianlah, kemampuan militer yang ditunjukkan oleh kaum Muslim dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kemampuan militer ini bertahan selama berabad-abad, khususnya ketika kekuasaan kaum Muslim terus berkembang dan meluas, hingga berakhirnya keperkasaan negara Khilafah pada tahun 1924. Oleh sebab itulah negara-negara kolonialis kafir Barat menyatakan, ‘Waspadalah terhadap Khalifah kaum Muslim, yang hanya dengan telunjuk tangannya mampu mengerahkan tiga juta pasukan untuk melawan kita dalam suatu pertempuran’. Itulah fakta ketika seluruh umat Islam berada dalam satu kepemimpinan seorang amir (Khalifah), yang menyatukan mereka dalam satu kesatuan, yakni negara Khilafah yang perkasa. Negara inilah yang membuat musuh-musuh Islam menyatakan, ‘Jika kalian menginjak ekor seekor anjing di Eropa, maka ia akan menyalak di seluruh Asia. Maka waspadalah’. Begitulah, negara-negara kafir Eropa telah mempunyai sebuah gambaran tentang pasukan bersenjata Khilafah Islamiyah, dan gambaran itu adalah sebagai ‘pasukan yang tak terkalahkan’.
Kemampuan militer dan keinginan untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia merupakan sesuatu yang alamiah bagi kaum Muslim; karena hal ini merupakan bagian dari agama mereka. Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad bin Hanbal dinyatakan:
Ketika aku berjalan menuju Madinah, seseorang berkata, ‘Ketika Rasulullah saw berjalan, aku mendengar beliau saw bersabda, ‘Aku adalah Muhammad, dan aku adalah Ahmad, dan aku adalah Nabi (penyebar) rahmat, dan aku adalah Nabi (penyeru) taubat, dan yang menghimpun manusia (hasyir), dan yang dimuliakan (muqfa), dan aku adalah Nabi (penyeru) jihad’.
Kita adalah umat Rasulullah saw, sehingga kita diciptakan untuk menjadi umat jihad. Selain itu, dari riwayat Mu’adz bin Jabal ra, dikatakan bahwa:
Aku berkata kepada Rasulullah saw, ‘Wahai Nabi, katakanlah kepadaku amalan yang akan membuatku masuk surga dan terhindar dari siksa api neraka.’ Maka kemudian Rasulullah saw menjawab, ‘Engkau telah menanyakan sesuatu yang (nampak) berat tetapi (sesungguhnya) merupakan hal yang mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah. Sembahlah Allah dan jangan menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, tegakkan shalat, tunaikan zakat, berpuasalah di bulan Ramadhan, dan kerjakan ibadah haji ke Baitullah.’ Kemudian beliau kembali berkata, ‘Tidakkah aku tunjukkan kepadamu pintu menuju kebaikan? Puasa adalah perisai, shadaqah akan menghilangkan dosa, dan shalatnya seorang laki-laki di tengah malam …’ Kemudian beliau saw membaca ‘Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdo'a kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa rezki yang Kami berikan. Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan’. (QS As-Sajdah; 16-17). Kemudian beliau saw bersabda, ‘Tidakkah aku beritahukan kepadamu pokok segala urusan, tiang penyangga, serta atapnya (yang melindunginya)?’ Aku berkata, ‘Ya, Rasulullah.’ Maka Rasulullah bersabda, ‘Pokok segala urusan adalah Islam, dan tiangnya adalah shalat, dan puncaknya (atapnya) adalah jihad’. (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Lebih jauh lagi, dalam riwayat Abu Umamah, Nabi saw bersabda:
Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku bertamasya (siyahah). Maka Rasulullah bersabda, ‘Tamasyanya umatku adalah Jihad’. (HR Abu Dawud)
Kemenangan menjadi milik umat Islam ketika mereka giat membuka wilayah, menyebarkan Islam ke seluruh dunia; tentara mereka tak terkalahkan dan disegani manakala negara Khilafah menyatukan seluruh umat dalam satu kepemimpinan; dan mereka pun menjadi negara terkemuka di dunia yang mampu memelihara dan mengendalikan seluruh urusan dunia.
Demikianlah, umat Islam diciptakan untuk meraih kedudukan tertinggi dengan jihad, sesuai aturan syariat yang dipraktekkan oleh negara Khilafah Islamiyah.
SITUASI INTERNASIONAL SAAT INI
Kurang dari seratus tahun setelah meninggalnya Rasulullah saw pada tahun 632 M, hukum Islam yang diemban oleh negara Khilafah telah ditegakkan di wilayah yang luasnya hampir satu setengah kali luas Kekaisaran Romawi pada zaman kejayaannya, yakni di sekitar tahun 100 M pada masa kekuasaan kaisar Trajan. Kekuasaan negara Khilafah yang multi-bahasa dan multi-etnik ini terbentang mulai dari padang pasir Arab terus membentang hingga 4500 mil, sampai meliputi tiga benua; mulai dari perbatasan China di sebelah Timur sampai di Spanyol dan Prancis Selatan di sebelah Barat. Bahkan, penaklukkan Islam berhasil menyatukan Timur Tengah, selain Afrika Utara dan Spanyol, di bawah satu kepemimpinan untuk pertama kalinya sejak zaman Iskandar Yang Agung (356-323 SM). Pasukan Iskandar Yang Agung pernah menguasai wilayah-wilayah ini, tetapi kekaisaran yang didirikannya dalam waktu 10 tahun sejak meninggalkan Macedonia, telah terpecah belah dan runtuh untuk selamanya. Tetapi hukum Islam berhasil menyatukan wilayah tersebut, dan di bawah kekuasaan Islam orang-orang Yunani, Berber, Koptik, Armenia, Arab, Turki, India, dan China bisa bersatu padu. Panji-panji Islam yang dibawa pasukan Islam telah menorehkan sejarah dan mampu memberikan pengaruh yang kuat dan khas ke seluruh dunia; pengaruh yang sangat diperhitungkan hingga kini, yaitu sekitar 1400 tahun kemudian, mulai dari Maroko hingga Indonesia.
Atas dasar estimasi yang mutakhir, penganut Islam diperkirakan mencapai jumlah 1,9 miliar –atau lebih dari seperlima penduduk dunia– meskipun penganut Islam di masa-masa awal tegaknya negara Islam di Madinah tidak lebih dari jumlah populasi sebuah kota. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam waktu kurang dari 100 tahun sejak wafatnya Rasulullah saw, wilayah yang berada di bawah hukum Islam dan negara Khilafah secara geografis memang sangat luas. Saat ini ada sekitar 45 negara di dunia yang mayoritas dihuni oleh umat Islam. 60% wilayah Laut Tengah dikelilingi oleh negeri-negeri Muslim; sedangkan seluruh wilayah di sekitar Laut Merah dan Teluk Persia adalah wilayah kaum Muslim.
Namun demikian, tidak cukup hanya dengan menggambarkan kekuasaan negara Khilafah dari sisi peranannya dalam sejarah militer dan keperkasaannya saja. Bahasa Arab dan kebudayaan (hadlarah) Islam tidak hanya mempunyai pengaruh yang besar di dunia, tetapi juga menjadi sebuah standar bagi seluruh umat manusia. Dampak penyatuan wilayah yang sedemikian luas itu bukan hanya hilangnya rintangan-rintangan politik, tetapi juga sirnanya hambatan-hambatan bahasa dan ilmu pengetahuan yang sangat ketat di masa sebelum Islam. Sebelumnya, selama berabad-abad Kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Persia selalu berperang; tetapi sekarang, di masa kekuasaan Islam, seorang mahasiswa kedokteran dari akademi kedokteran di Jundishapur dapat bertemu dengan koleganya dari universitas-universitas lain di Iskandariah atau Baghdad, mengadakan diskusi dengan orang Arab atau orang Turki. Dengan cara inilah kota-kota di wilayah negara Khilafah menjadi pusat-pusat pengajaran, kemajuan, dan pendidikan bagi seluruh umat manusia, dimana para sarjana, cendekiawan, pemikir, dan ilmuwan dari berbagai latar belakang budaya, agama, dan bahasa saling bertukar pikiran serta bersama-sama berbagi ilmu pengetahuan. Selain ibukota negara Khilafah, wilayah-wilayah lain seperti Bukhara, Samarkand, Shiraz, Damaskus, Aleppo (Halab), Kairo, Tunis, Fez, Cordova, dan sebagainya seakan saling berlomba meraih prestasi ilmiah.
Pada saat aktivitas intelektual yang intensif berlangsung di dalam negara Khilafah, Eropa tengah mengalami era kegelapan dimana tidak terjadi perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan, dan peningkatan pemikiran.
Negara Khilafah menjadi pemimpin terdepan peradaban dunia. Di sana berkembang berbagai aspek kehidupan manusia; negara Khilafah menyinari seluruh dunia dan menjadi taman bunga di permukaan bumi selama lebih dari 13 abad.
Untuk dapat mengerti dan memahami situasi kaum Muslim saat ini, yang berada dalam keadaan lemah tak berdaya, serta untuk menerapkan Islam dan membangkitkan mereka dari keterpurukan dan –lebih jauh lagi– memimpin dunia sebagaimana yang mereka lakukan selama 13 abad lebih, maka pertama-tama kita harus memahami realitas yang dihadapi, khususnya negara-negara yang memimpin dunia dan menempati posisi dominan dalam percaturan internasional saat ini.
Dengan mengamati dan mengindera peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia saat ini, secara kasat mata dapat dilihat bahwa negara-negara yang ada dunia kini terbagi ke dalam dua kelompok besar. Sekalipun jumlah negara yang terpampang di peta dunia sangat banyak, namun ternyata hanya beberapa di antaranya yang memiliki kekuatan signifikan dan mempunyai pengaruh internasional terhadap urusan negara dan bangsa lain. Sedang di sisi lain, negara-negara di luar kelompok tersebut dapat digolongkan sebagai negara-negara yang tidak aktif, negara yang lemah, dan negara yang tidak mampu memberikan pengaruh kepada negara dan bangsa lain; malahan senantiasa dipengaruhi dan tunduk pada kebijakan negara-negara yang lebih kuat dan lebih besar. Dengan demikian, warga negara-negara tersebut dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan internasional negara-negara lain.
Negara yang dominan, berpengaruh, dan aktif dalam kancah internasional adalah Amerika Serikat; sedangkan Islandia, Swaziland, dan Tibet adalah contoh negara-negara yang tidak aktif, lemah, dan tidak mempunyai pengaruh di dunia. Orang bisa melihat dengan jelas bagaimana Amerika, Inggris, dan negara-negara Eropa menjadi negara-negara yang terlibat aktif dalam kampanye menentang Irak; sementara itu Botswana, Namibia, dan Chad tidak jelas benar bagaimana sikapnya. Orang dengan mudah juga bisa membaca bagaimana Amerika, Inggris, dan Prancis mengirimkan utusannya untuk membawa permasalahan Palestina ke meja perundingan; sedangkan peran Pakistan, India, atau Bangladesh dalam penyelesaian masalah itu tidak terlalu berarti. Orang juga melihat bahwa Inggris dan Prancis adalah negara-negara yang menjadi arsitek penentu garis batas antara negara yang ada pada saat ini, bukannya Mauritius, Swiss, atau Norwegia. Orang juga tahu benar bahwa Amerika, Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya adalah negara-negara yang menguasai berbagai lembaga internasional, seperti PBB, IMF, dan Bank Dunia, bukannya Brazil, Argentina, ataupun Chile.
Dengan demikian, dari sekian banyak negara yang ada di dunia saat ini, ternyata hanya ada beberapa yang dapat disebut sebagai negara-negara yang memimpin. Dengan mengamati hampir semua aspek kenegaraan negara-negara pemimpin ini, akan terungkap dengan gamblang realitas aktivitas mereka dan efektivitasnya di dunia. Mengapa pasukan khusus Inggris –misalnya– merasa perlu melakukan latihan di padang pasir atau hutan belantara, sedangkan tidak ada satu pun padang pasir atau hutan belantara di pulau yang kecil itu? Mengapa pula Amerika mempunyai anggaran khusus yang diperuntukkan bagi kawasan Timur Tengah, sementara tidak satu pun wilayah di Timur Tengah yang menjadi negara bagian Amerika? Demikianlah realitas pengelompokan negara-negara yang ada di dunia saat ini.
Bangsa yang lebih besar dan lebih kuat, yang direpresentasikan oleh eksistensi negara-negara mereka, dalam tata dunia yang ada pada saat ini adalah negara-negara kafir kapitalis Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan sejumlah negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Negara-negara ini mewakili bangsa mereka dan dipandang sebagai negara-negara terkemuka di masa sekarang, dengan AS sebagai pemimpinnya. Mengapa mereka ini memperoleh kedudukan sebagai negara-negara terkemuka saat ini? Berikut ini akan kami jelaskan mengapa muncul beberapa negara terkemuka, sedangkan negara yang lain hanya menjadi pengekor atau negara terpimpin.
Tidak seorang pun meragukan kedudukan Amerika Serikat dan Inggris sebagai negara terkemuka di dunia saat ini. Kedudukan mereka seringkali disinonimkan dengan istilah ‘penentu kebijakan’ atau ‘negara adidaya’, dan mereka adalah negara-negara yang paling aktif –dan juga efektif– yang ada pada saat ini. Mereka mempunyai pengaruh besar dalam menentukan bagaimana dunia diatur sekarang ini. Bila ada orang yang mengamati urusan dunia dan isu-isu internasional yang bergulir saat ini, maka ia akan melihat bahwa kedua negara ini tidak hanya terlibat aktif dalam urusan tersebut, tetapi mereka bahkan seringkali memimpin penyelesaian urusan tersebut. Dalam realitasnya, bila ada orang yang ingin menggali lebih dalam permasalahan ini, ia akan mendapati bahwa bukan saja subjek permasalahannya terletak ribuan mil dari negara terkemuka tersebut, tetapi tidak jarang permasalahan itu bahkan tidak ada hubungannya secara langsung dengan kepentingan mereka. Keterlibatan mereka dalam berbagai kebijakan di wilayah tersebut serta campur tangan mereka dalam urusan bangsa-bangsa yang sama sekali terpisah dengan bangsanya sendiri memperlihatkan bahwa ada visi serta kebijakan yang mereka emban. Kebijakan ini menjadi landasan bagi setiap kesepakatan dan hubungan antara mereka dengan wilayah tersebut, dan dengan negara dan bangsa lain di setiap penjuru dunia. Demikianlah bagaimana cara mereka menentukan kepentingan-kepentingannya atas negara-negara lain, serta bagaimana mereka menetapkan pedoman dan pelaksanaan hubungan dengan negara-negara lain.
Mereka itulah negara-negara yang memiliki visi atas seluruh permasalahan internasional, dan memandang dunia dari perspektif ini, sementara negara-negara lain di dunia tidak memiliki karakteristik seperti itu. Maka kita akan mendapati bahwa Amerika memiliki berbagai kebijakan terhadap stabilitas Timur Tengah, kepentingan di Teluk Persia, paket-paket bantuan untuk Afrika, reformasi politik di Pakistan, rencana perdamaian untuk kawasan Timur Tengah, dan sebagainya. Sebaliknya, apakah negara-negara seperti Islandia mempunyai usulan perdamaian bagi konflik yang terjadi di Afrika Tengah? Apakah kita mendapatkan usulan tentang reformasi di Eropa Timur dari negara-negara seperti Pakistan? Apakah kita mendapatkan usulan penyelesaian masalah Kurdi dari negara Lithuania? Kita tidak akan mendapatkan hal-hal seperti itu. Yang akan kita jumpai adalah bahwa Amerika dan sekutu-sekutunya telah menentukan agenda kebijakan luar negeri mereka terhadap negara-negara lainnya di seluruh dunia. Negara-negara lain tidak memiki visi atau ambisi seperti itu; dan oleh sebab itulah kita tidak akan menemukan agenda kebijakan luar negeri di negara-negara tersebut sehingga mereka kehilangan pandangan yang mendunia.
Kebijakan internasional, ambisi, atau visi yang menjadi landasan bagi negara-negara pemimpin untuk merumuskan bentuk hubungannya dengan negara lain disebut dengan agenda kebijakan luar negeri. Atas dasar agenda kebijakan luar negeri inilah ditentukan hubungan dengan negara dan bangsa lain di dunia. Ini merupakan poin penting yang harus diingat ketika berusaha mengelompokkan negara-negara yang ada di dunia saat ini. Dapat dikatakan bahwa negara-negara yang memiliki agenda kebijakan luar negeri yang terdefinisi dengan jelas merupakan negara yang kuat, berkuasa, dan berpengaruh. Sedangkan negara-negara yang tidak memiliki agenda kebijakan luar negeri yang jelas merupakan negara yang lemah dan tidak independen, yang tidak dapat menentukan nasibnya sendiri, apalagi menentukan nasib negara lain. Urusan-urusan negara dan rakyatnya berada di tangan negara-negara lain yang lebih kuat dan lebih berkuasa.
Persengketaan tanah Palestina sekarang ini, misalnya, kita akan melihat bahwa rancangan kebijakan penyelesaian yang digunakan, negosiasi perdamaian yang harus diawasi, perundingan damai yang diadakan, serta peristiwa-peristiwa yang melingkupinya tidak secara eksklusif diatur dan dilaksanakan oleh bangsa-bangsa yang terkait langsung dengan permasalahan itu. Kita justru melihat bahwa rencana dan kebijakan pendirian negara otonomi Palestina dan ‘internasionalisasi’ al-Quds (Jerusalem) –yang memisahkan kaum Muslim dan orang-orang Yahudi– secara praktis justru dirancang dan diarahkan oleh Amerika.
Campur tangan itu tampak jelas jika kita mengamati secara seksama kunjungan diplomatik tingkat tinggi para wakil negara asing dan penasihat mereka ke wilayah tersebut. Seorang pengamat yang teliti akan bertanya-tanya, apa sesungguhnya kaitan masalah tersebut dengan bangsa Amerika atau bangsa-bangsa lainnya? Apakah Amerika juga akan mengundang bangsa-bangsa lain untuk menyelesaikan persoalannya sendiri? Akankah Amerika mengundang bangsa-bangsa lain untuk merancang penyelesaian serta mengadakan berbagai konferensi dan perundingan terhadap persoalan pemisahan Washington DC, New York, California, atau negara-negara bagian lainnya –misalnya– atau masalah dalam negeri mereka lainnya? Mengapa Amerika tidak mengundang bangsa-bangsa lain untuk menyelesaikan urusannya sendiri, jika bukan karena ia telah menduduki posisi kepemimpinan di antara negara-negara lainnya? Tidak ada penjelasan lain, kecuali hal ini menunjukkan bahwa Amerika adalah arsitek dan pemimpin yang efektif dalam masalah Palestina; hal ini bukan sesuatu yang samar-samar atau diperselisihkan. Inilah bukti bahwa Amerika jelas-jelas memiliki visi mengenai wilayah Palestina, maupun tempat-tempat lain di bagian mana pun di bumi ini, sepanjang wilayah tersebut masuk dalam agenda kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Inilah yang menyebabkan Amerika bersikap aktif terhadap permasalahan yang sesungguhnya bukan bagian dari persoalannya. Agenda kebijakan luar negeri inilah yang mengakibatkan Amerika merasa perlu ikut campur tangan dalam urusan negara-negara lain di seluruh dunia. Ini berarti bahwa Amerika mempunyai rancangan dan kebijakan untuk seluruh dunia.
Jadi tidaklah mengherankan, apabila seseorang berjalan menyusuri koridor gedung Kementrian Luar Negeri Amerika, ia akan menemukan berbagai pintu yang masing-masing bertuliskan nama-nama wilayah dari berbagai bagian dunia. Amerika telah mengelompokkan negara-negara di dunia berdasarkan visi yang telah ditetapkan, dan menentukan lembaga-lembaga dan kebijakan luar negeri untuk mewujudkan visi tersebut. Ada lembaga urusan Afrika, urusan Asia Timur dan Pasifik, urusan Eropa, urusan Timur Dekat, urusan Negara-negara Baru Merdeka Bekas Uni Soviet, urusan Asia Selatan, dan urusan Belahan Bumi bagian Barat.
Dengan demikian, agenda kebijakan luar negeri terhadap negara-negara dan bangsa-bangsa lain di dunia hendaknya sudah ditentukan, sehingga akan dapat mendorong dan mengarahkan suatu bangsa pada pandangan yang mendunia. Agenda kebijakan luar negeri suatu bangsa mencerminkan pandangan mereka terhadap dunia dari sudut pandang tertentu. Dinyatakan dalam American Carter Principle pada tahun 1978, bahwa kawasan Teluk merupakan suatu wilayah strategis bagi kepentingan Amerika. Dari pandangan ini kemudian disusun agenda kebijakan luar negeri Amerika di wilayah tersebut, serta rencana kehadiran dan keterlibatannya di sana. Tidak jauh berbeda dari masalah tersebut, ada indikasi kuat bahwa pemerintah Amerika berencana memecah belah Irak dan membentuk sebuah negara Kurdistan merdeka di wilayah itu. Dalam istilah umum, Amerika menunjukkan agenda kebijakan luar negeri yang jelas kepada dunia, yang kemudian menentukan bentuk hubungan antara bangsa Amerika dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Jadi, agenda kebijakan luar negeri itu menentukan bentuk hubungan antara satu umat dengan umat-umat lainnya di seluruh dunia.
‘Amerika Serikat memiliki kekuatan yang khas dan pengaruh yang tak tertandingi, dan kami siap menggunakannya untuk memperjuangkan demokrasi serta menciptakan perdamaian di seluruh penjuru dunia’.(George W. Bush, 2001)
‘Kami mempunyai kekuatan untuk membantu menentukan masa depan dunia, terutama untuk membantu Amerika dan rakyat Amerika, dengan cara menciptakan lebih banyak transaksi perdagangan, lebih banyak pekerjaan, kesejahteraan yang lebih baik, dan bangsa yang lebih aman. Tentu kami juga dapat membuat dunia menjadi lebih baik, lebih demokratis, dan menjadi tempat tinggal yang damai. Bila itu adalah tujuan kami, bila itu adalah visi kami, maka kebijakan luar negeri jelas merupakan sebuah prioritas. Sebuah prioritas bagi rakyat dan kepentingan nasional. Siapa pun yang terpilih (menjadi Presiden) sekarang akan meraih lebih banyak prestasi di masa pemerintahannya bila ia dapat memberikan kepada Amerika instrumen diplomatik yang paling baik. Kami adalah sebuah kekuatan internasional, yang mempunyai kepentingan maupun ancaman yang membentang di seluruh permukaan bumi. Bangsa Amerika paham dengan hal ini’. (Thomas R. Pickering, Under Secretary for American Political Affair, 2001)
Tetapi, kita tidak menemukan agenda kebijakan luar negeri semacam itu pada negara-negara seperti Jepang terhadap –misalnya– Eropa atau Timur Tengah; atau agenda kebijakan politik luar negeri Jerman terhadap negara-negara lainnya di dunia. Rakyat Amerika yang relatif sedikit (sekitar 262 juta jiwa) secara efektif mampu mengatur hubungan dengan 5 miliar manusia dari berbagai bangsa di dunia. Bangsa Amerika tidak hanya dapat mengatur hubungan di antara mereka dengan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia, tetapi mereka juga mampu menentukan suatu bentuk hubungan dimana mereka dapat mendominasi bangsa-bangsa lain (sekalipun jumlah mereka lebih kecil dari pada bangsa-bangsa lain di dunia). Jelas kemampuan seperti ini merupakan sesuatu yang luar biasa, unik, dan istimewa.
Amerika dan negara-negara pemimpin lainnya tidak selalu berada dalam posisi yang unggul. Pada saat pergantian abad yang lalu, mereka bersikap pasif dalam percaturan politik internasional, dan membatasi serta menyibukkan diri mereka dengan urusan internal. Amerika sendiri dikenal juga pernah berada dalam masa isolasi, yaitu pada masa-masa sebelum tahun 1945. Jadi, sejak saat itu hingga sekarang ini mereka mengalami proses perubahan yang mencolok dan istimewa. Faktor yang memungkinkan terjalinnya hubungan antara suatu bangsa dengan bangsa-bangsa lain di dunia adalah karena adanya agenda kebijakan politik luar negeri yang jelas. Maka kita bisa melihat bagaimana Amerika mampu mempengaruhi bangsa-bangsa lain di seluruh penjuru dunia, tanpa pertolongan dari pihak mana pun. Secara praktis, Amerika melaksanakan dan menjalankan kebijakan luar negerinya, dan seluruh dunia hanya menjadi saksi atas kebijakan tersebut.
Oleh sebab itulah, agenda kebijakan luar negeri akan membuat suatu negara memiliki pola hubungan yang jelas dan spesifik dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Agenda kebijakan luar negeri inilah yang mengarahkan hubungan suatu negara dengan negara lain dalam rangka memenuhi agenda atau tujuan yang telah ditetapkan, tanpa mempedulikan apakah tujuan tersebut bermanfaat atau merugikan bangsa lain. Absennya kebijakan politik sama artinya dengan absennya hal-hal di atas.
Jika agenda kebijakan luar negeri merupakan faktor yang membuat suatu negara menjadi unggul dan lebih kuat daripada negara-negara lainnya; atau dengan kata lain menjadi negara yang memimpin, memelihara, dan mengarahkan semua urusan negara-negara lain di seluruh penjuru dunia. Maka sampai di sini muncul pertanyaan: apabila ideologi Islam beserta para penganutnya diciptakan untuk menjadi yang terbaik dan terbesar, maka apakah Islam telah mendefinisikan suatu kebijakan luar negeri? Apakah kaum Muslim memilih untuk didominasi, ataukah sebaliknya, mesti mendominasi bangsa-bangsa lainnya? Jika Islam, yang merupakan ideologi dari Allah Swt, dimaksudkan untuk memelihara urusan umat manusia dengan memberikan kedamaian, keadilan, dan petunjuk bagi setiap orang, maka apakah Islam menetapkan suatu kebijakan luar negeri yang menjadi standar hubungan dengan umat-umat lainnya? Jika umat Rasulullah saw diciptakan untuk menjadi pengawas seluruh umat manusia dan bertanggung jawab atas segala urusannya, maka apakah akidah Islam telah menetapkan suatu kebijakan luar negeri? Jika umat Islam merupakan satu kesatuan umat di antara umat-umat yang ada di dunia, lalu bagaimana bentuk hubungan antara umat Islam dengan banga-bangsa lainnya? Apakah Islam telah menjelaskan bentuk hubungan yang harus dianut oleh kaum Muslim?
Memang demikianlah halnya; dan segala puji hanya bagi Allah Swt yang telah menurunkan ideologi Islam kepada Nabi terakhir, Rasulullah Muhammad saw. Ideologi Islam memang telah menetapkan sebuah kebijakan luar negeri. Atas dasar kebijakan luar negeri itu umat Islam menyusun pola hubungan dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia dan negara-negara yang mewakili kepentingan mereka, persis sebagaimana negara-negara terkemuka saat ini. Bahkan dengan kebijakan luar negeri tersebut, maka umat Islam bukan hanya menjadi salah satu umat terkemuka, tetapi menjadi satu-satunya umat terkemuka di dunia.
Selama lebih dari tiga belas abad kaum Muslim menjadi umat terkemuka di dunia. Negara Khilafah merupakan negara yang paling kuat di dunia; mereka sempat menduduki posisi sebagai negara nomor satu sedunia. Kehadiran negara Khilafah dalam kancah perpolitikan dunia merepresentasikan keberadaan kebijakan luar negeri negara Islam, yang diaplikasikan secara praktis melalui dakwah dan jihad kepada seluruh umat manusia di dunia. Maka kemana pun kebijakan luar negeri tersebut di arahkan, manusia akan berduyun-duyun bernaung di bawah negara Khilafah, dan mendapatkan keamanan dan perlindungan darinya.
Ada dua faktor yang membuat kaum Muslim dan Islam –dîn al-Haq– memperoleh keberhasilan dalam kancah perpolitikan internasional. Pertama, karena kaum Muslim memahami makna dakwah Islam; dan yang Kedua, karena mereka menyadari sepenuhnya arti pentingnya jihad yang merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya mengemban Islam ke seluruh dunia. Dengan menggabungkan kedua konsep Islam ini, maka mereka menjadi umat yang terkemuka sekaligus sebagai pemelihara di dunia. Tidak ada umat lain yang dapat merebut kedudukan ini, karena kaum Muslim memiliki kekuatan militer yang sangat tangguh. Lebih jauh lagi, tidak ada pihak-pihak di luar Islam yang mampu mengalihkan pandangan umat manusia dari keadilan sistem Islam. Islam tersebar luas dengan cara yang luar biasa; keberhasilannya sungguh mengagumkan, sekalipun sarana komunikasi yang tersedia waktu itu hanyalah pena, dan sarana transportasi yang ada baru sebatas hewan tunggangan.
Para penguasa, para pemimpin, dan para raja mengetahui perkembangan yang sangat luar biasa dari negara Islam. Mereka pun dapat merasakan kekuatannya. Terbongkarnya sistem pemerintahan mereka yang keliru kini tidak lagi bisa dihindarkan. Penindasan, kesengsaraan, dan penjajahan atas rakyat mereka sendiri akhirnya berhadapan dengan sistem alternatif yang jauh lebih unggul. Sistem ini mampu menarik hati rakyat mereka, dan dapat diterima dengan senang hati. Dengan demikian, cengkeraman penguasa dan raja-raja kufur itu terhadap rakyatnya dapat dilepaskan, dan diganti dengan sistem Islam dan kekuasaan kaum Muslim. Tidak ada, dan tidak akan pernah ada sistem yang mampu mengimbangi keunggulan sistem Islam. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw bersabda:
Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya.
Salah seorang penulis berkebangsaan Prancis, Count Henry Decastri menulis dalam bukunya yang berjudul ‘Islam’ pada tahun 1896 sebagai berikut:
‘Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan kaum Muslim jika mereka mendengar kisah-kisah yang ada di Abad Pertengahan, dan memahami apa yang dikatakan para orator Kristen dalam kidung-kidung mereka. Seluruh kidung –termasuk kidung yang muncul sebelum abad ke-12– bersumber pada satu konsep yang merupakan penyebab timbulnya Perang Salib. Kidung-kidung ini penuh berisi kebencian terhadap kaum Muslim akibat ketidaktahuan mereka terhadap agama Islam. Sebagai akibat dari kidung dan lagu-lagu ini, kebencian terhadap agama tersebut (Islam) mengendap dalam benak masyarakat, kesalahpahaman terhadap Islam mengakar kuat, hingga masih ada yang terbawa hingga saat ini. Setiap orang menganggap bahwa kaum Muslim adalah orang-orang musyrik (politheis), kafir, penyembah berhala, dan pengkhianat’.
Demikianlah bagaimana para pendeta Kristen di Eropa secara sengaja memberikan gambaran yang keliru tentang kaum Muslim dan agama mereka. Tuduhan-tuduhan yang berkembang pada Abad Pertengahan sungguh sangat mengerikan dan ini semua dimanfaatkan secara sengaja untuk membangkitkan perasaan benci dan permusuhan terhadap kaum Muslim. Dunia Kristen terpengaruh, sehingga akhirnya memunculkan Perang Salib.
Setelah berlangsung selama dua ratus tahun, akhirnya Perang Salib berakhir dengan kekalahan dan kehinaan tentara Salib. Pasukan Muslim kembali melanjutkan futuhât atas wilayah-wilayah Barat pada abad ke-15 ketika negara Islam menguasai Konstatinopel. Kemudian, pada abad ke-16, kaum Muslim bergerak melintasi Eropa bagian Selatan dan bagian Timur, menyampaikan Islam kepada para penduduknya. Jutaan penduduk Albania, Yugoslavia, Bulgaria, dan negeri-negeri lain berduyun-duyun masuk Islam. Sekali lagi rasa permusuhan pasukan Salib kembali bangkit dan muncullah konsep para orientalis, yang pada waktu itu diarahkan untuk menahan laju tentara negara Islam, menghentikan futuhât kaum Muslim, dan menghilangkan –atau paling tidak mengurangi– ancaman dari negara Islam.
Menahan keperkasaan negara Khilafah merupakan upaya yang sia-sia dan ceroboh, terutama setelah pengalaman kekalahan dalam Perang Salib. Akan tetapi mereka mengetahui apa yang sesungguhnya membuat kaum Muslim sedemikian kuat dan perkasa. Keperkasaan negara Khilafah yang menyatukan angkatan bersenjata kaum Muslim dan mengemban jihad; itulah kunci keberhasilan dakwah kaum Muslim. Dakwah Islam yang menentukan agenda kebijakan luar negeri negara Khilafah bersumber dari Islam. Kebijakan luar negeri itulah satu-satunya konsep yang menjadi mesin pendorong bagi kaum Muslim untuk mengemban Islam ke Timur, mengemban Islam ke Barat, mengemban Islam dengan melintasi lautan, melintasi pegunungan, melintasi padang pasir, dan melintasi berbagai negeri, dengan membawa cahaya penerang yang akan menerangi setiap negeri yang mereka singgahi. Kaum Muslim membuka berbagai negeri satu demi satu untuk menerapkan hukum Islam.
Maka tidaklah mengherankan apabila negara-negara kafir Barat menganggap Islam sebagai suatu ancaman. Pada saat yang sama, negara-negara Barat merasa perlu mengamankan kedudukannya sebagai negara nomor satu di dunia; sementara itu, mereka tahu pasti bahwa jihad adalah satu-satunya kunci untuk meraih kedudukan tersebut. Oleh karena itulah, sejak abad ke-19 orang-orang Barat melancarkan perang pemikiran yang dahsyat dan ganas untuk melawan konsep jihad.
Jihad adalah konsep yang membuat kaum Muslim dan negara Islam mampu menyebarluaskan Islam, serta menjadikan mereka berhasil meraih keberhasilan hingga bisa mendapatkan kedudukan yang kuat. Apabila konsep jihad itu bisa diselewengkan, niscaya akibatnya pasti akan sangat berbeda. Inilah tujuan orang-orang kafir Barat; inilah mimpi mereka yang mewujud menjadi ambisi mereka. Jika konsep dan makna jihad menjadi kabur atau bahkan hilang, maka kedudukan dan keberadaan mereka yang sangat kuat di dunia ini akan dapat dipertahankan.
Orang-orang kafir itu mengadakan berbagai pertemuan di negeri-negeri Islam. Kadangkala mereka juga hadir dalam pertemuan itu, namun sesekali mereka datang dengan cara tidak langsung, yaitu dengan mengutus agen-agen mereka dari kalangan kaum Muslim sebagai peserta pertemuan. Cukuplah dikatakan bahwa undangan yang eksklusif serta para hadirin dalam pertemuan itu berasal dari kalangan yang terhormat, atau paling tidak mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam arus pemikiran kaum Muslim.
Hasil pertemuan-pertemuan itu adalah opini bahwa dakwah dan penyebarluasan Islam memang merupakan sesuatu yang mulia, tetapi aktivitas ini harus dilakukan hanya melalui ceramah-ceramah, tabligh, dan wejangan-wejangan yang bersifat individual; dan bukan melalui peperangan, yang mereka sebut sebagai ‘kekerasan’, ‘teror’, dan ‘perusakan’, sekalipun fakta yang diakui secara universal memperlihatkan bahwa jihad tidak pernah menghasilkan hal-hal yang disebutkan itu. Lebih jauh lagi mereka mengatakan bahwa jihad ofensif dan situasi internasional saat ini perlu saling diselaraskan. Mereka mengajukan opini yang menyesatkan ini disertai dengan hujjah yang dihasilkan dari pemelintiran atau ‘pemerkosaan’ terhadap nash-nash syara’. Dengan demikian, opini tersebut tidak lebih dari sekedar olok-olok terhadap syariat Islam yang dilontarkan kepada kaum Muslim. Aktivitas seperti ini terus berlangsung hingga kini, sehingga bisa dikatakan bahwa serangan dahsyat terhadap konsep jihad ini tetap kelihatan nyata, dan sayangnya, aktivitas seperti ini diikuti dan dilaksanakan para penguasa dan kroni-kroninya dari kalangan penguasa negeri-negeri kaum Muslim.
Para ulama dan cendekiawan yang ditunjuk oleh pemerintah Mesir untuk duduk dalam lembaga Pusat Pengembangan Kurikulum (Centre for Curriculum Development / CCD) telah berupaya keras siang dan malam untuk melakukan evaluasi ulang atas puluhan ayat al-Qur’an yang berbicara tentang jihad. Setelah itu, mereka mengajukan pengajaran alternatif tentang makna jihad.
Pada akhir abad ke-20, sebuah konferensi diadakan di kota Dakar bagi perwakilan negara-negara yang termasuk dalam dunia Islam. Mereka mengatakan bahwa jihad merupakan konsep yang cocok hanya untuk situasi internasional masa lalu, serta sesuai bagi keadaan-keadaan masa lampau saja. Mereka yang hadir dalam pertemuan itu menyusun sebuah resolusi yang menyerukan penghapusan jihad ofensif, dengan dalih bahwa segala permasalahan dan konflik antar negara dan bangsa di dunia hanya dapat diselesaikan melalui dialog dan perundingan yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga yang ada dalam naungan PBB, dengan mengacu pada hukum internasional. Mereka mengatakan, ‘Masa-masa jihad telah berlalu’.
Penguasa Mesir, Husni Mubarak, dalam sebuah dialog dengan penguasa Yaman juga menyatakan opini seperti itu ketika menunjuk peristiwa pembantaian kaum Muslim Palestina oleh penjajah Yahudi, ‘Peperangan merupakan sesuatu yang kuno. Masa-masa peperangan adalah masa yang telah lalu’. (Desember 2000)
Pernyataan ini dengan jelas menunjukkan kepada seluruh umat Islam bahwa para penguasa-penguasa mereka tidak pernah berniat tulus untuk memberikan klarifikasi atas konsep jihad ofensif. Tetapi, faktanya mereka justru hendak menghapuskan segala bentuk jihad, ofensif maupun defensif. Pengakuan mereka, bahwa mereka semata-mata ingin memperkaya pemikiran Islam, merupakan kamuflase belaka, karena pendapat-pendapat seperti itu hanya akan memperlemah kaum Muslim. Sedangkan penguasa-penguasa itu tidak pernah menekankan pendapat mereka itu kepada negara-negara seperti Amerika, masyarakat Yahudi, dan Inggris, yang menjadikan peperangan sebagai hak eksklusif mereka serta bersiap menyatukan kekuatan mereka untuk menekan negara dan bangsa lain.
Orang-orang kafir Barat telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap rencana untuk menghapuskan kekuatan dan keperkasaan kaum Muslim. Umat Islam harus paham bahwa tujuan orang-orang kafir Barat yang telah dirintis sejak abad ke-19 lalu tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari suatu upaya dan metodologi yang dilakukan secara terus menerus untuk menghalangi tegaknya negara Khilafah. Karena, mereka pernah merasakan kehadiran dan keperkasaan negara Khilafah dalam kancah internasional serta pengaruhnya yang unik terhadap negara dan bangsa mereka. Posisi kaum Muslim yang kuat, yang direpresentasikan oleh keberadaan negara Khilafah, akan berpengaruh besar terhadap konstelasi internasional. Ini berarti bahwa keberadaan negara Khilafah akan menjadi rintangan permanen sekaligus ancaman permanen terhadap kepentingan egois serta ambisi busuk mereka. Masalah ini akan menyebabkan terulangnya kembali peristiwa Perang Salib.
Orang-orang kafir Barat berhasil memenuhi ambisinya dengan meruntuhkan negara Khilafah. Namun bahaya yang sesungguhnya bukan dalam perkara ini saja, karena mereka juga menyadari adanya potensi yang senantiasa dimiliki umat Islam. Dengan potensi ini, umat Islam mampu mendapatkan kembali negara Khilafah yang pernah hilang, karena pemahaman mereka yang jernih mengenai akidah Islam telah memberikan suatu pandangan dunia. Pandangan dunia ini sewaktu-waktu dapat kembali pada saat yang tepat.
Oleh sebab itu, kaum kafir Barat tidak saja mempersiapkan diri untuk meruntuhkan negara Khilafah, tetapi juga untuk menghapuskan konsep jihad yang sejati. Jika kaum Muslim kehilangan negara Khilafah, mereka bisa saja menegakkannya kembali. Namun, jika kaum Muslim juga kehilangan arti kebijakan luar negeri dan makna jihad yang sejati, maka mereka bisa saja menegakkan negara Khilafah, tetapi tidak mengetahui kunci rahasia untuk mengokohkan negara mereka, bagaimana cara merintis kekuatan itu, serta bagaimana cara mempertahankan kekuatan dan posisi tersebut. Maka orang-orang kafir Barat baru bisa merasa puas bila kaum Muslim terpuruk dan tidak akan pernah bangkit lagi. Hal ini bisa dicapai jika mereka berhasil menyimpangkan sejauh mungkin konsep jihad, sehingga membuat kaum Muslim sama sekali tidak mengetahui rahasia keberhasilan dan kejayaan mereka di masa lalu, sebagaimana yang dikehendaki Allah Swt. Baru setelah itu mereka lanjutkan dengan meruntuhkan negara Khilafah.
Kita bisa melihat sekarang bagaimana umat Islam diarahkan menuju perangkap yang mengerikan dan mematikan. Penyebabnya adalah kesalahpahaman yang sangat parah dan kelalaian dalam hal kesadaran politik. Dengan kata lain, kaum Muslim tidak mampu mengindera rencana dan makar musuh-musuhnya. Parahnya lagi, terdapat fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa rencana musuh-musuh Islam ini dibantu oleh agen-agen kaum kafir yang berasal dari kalangan kaum Muslim, baik para penguasa, para ulama, maupun para pemikir.
Maka kita bisa melihat bahwa peperangan, penjajahan, dan pemusatan kekuatan dunia demi kepentingan-kepentingan tertentu merupakan aktivitas yang dilakukan hanya oleh negara-negara besar seperti Amerika dan negara-negara Eropa. Mereka mengembangkan persenjataan dan memperkuat pasukannya untuk memukul siapa pun yang mereka kehendaki serta kapan pun mereka inginkan. Sementara itu, negara-negara lain di dunia –khususnya negeri-negeri kaum Muslim– dilarang memiliki persenjataan yang canggih dan dilarang menggunakan kekuatan fisik, sekalipun hanya untuk mempertahankan diri. Mereka dipaksa untuk berpuas hati dan merasa cukup dengan berbagai demonstrasi dan protes, kesengsaraan, duka cita, dan kehinaan. Tidak ada negara kafir munafik yang puas dengan hal-hal di atas andai hal itu menimpa diri mereka, sampai kemudian mereka berusaha keras menyingkirkan masalah itu. Sementara pada saat yang sama, mereka menyebut kaum Muslim yang berjuang menentang penjajahan dan hegemoni, atau bahkan sekadar menghindar dari penindasan, atau menyatakan sikap menolak tunduk pada orang-orang kafir, sebagai kelompok teroris yang layak dibantai. Orang-orang kafir itu adalah orang-orang yang bermuka dua, yang selalu berusaha memonopoli kekuasaan dan mengatur urusan dunia demi memuaskan keserakahan dan ambisinya dengan jalan merumuskan sarana untuk mencapai tujuan ini.
Mereka merumuskan Perjanjian Larangan Ujicoba Menyeluruh (Comprehensive Test Ban Treaty/CTBT) untuk menggantikan Perjanjian Misil Anti-Balistik (Anti-Ballistic Missile Treaty/ABMT) dan juga Perjanjian Non Proliferasi (Non-Proliferation Treaty/NPT) beserta segala bentuk sanksinya, untuk memastikan monopoli. Sementara itu, mereka sendiri mengembangkan berbagai bentuk senjata pemusnah massal dan mengujicoba senjata itu kapan saja mereka inginkan. Mereka menguasai hak penggunaan eksklusif atas berbagai persenjataan tersebut, namun melarang negara-negara lain untuk memiliki dan mengembangkannya. Kini Amerika dan sekutu-sekutunya secara leluasa dan arogan berencana mempertahankan sistem Pertahanan Misil Nasional (National Missile Defence).
Demikianlah, mereka mereka-reka dan menganggap diri mereka sebagai bangsa ‘yang bertanggung jawab’, sementara mereka menganggap yang lain sebagai bangsa ‘yang nakal’, sehingga kepemilikan teknologi persenjataan menjadi hak istimewa bagi kelompok eksklusif mereka sebagaimana halnya penguasaan Dewan Keamanan PBB. Merekalah negara-negara yang menghabiskan dana bermiliar-miliar dollar pertahun untuk kepentingan yang mereka sebut ‘Anggaran Pertahanan’, padahal faktanya hampir semua petualangan militer yang mereka lakukan bersifat ofensif dan agresif, sehingga pos anggaran tersebut lebih tepat disebut
‘Anggaran Penyerangan’. Amerika saja menghamburkan miliaran dollar pertahun untuk mendanai rancangan kebijakan luar negeri mereka yang agresif. Bila anggaran tahunan itu belum cukup, masih ada dana sejumlah 745 miliar dollar AS yang baru-baru ini diminta (laporan diserahkan kepada Kongres Amerika oleh sebuah delegasi yang baru pulang dari Asia Tengah yang diketuai oleh Senator Joseph Lieberman, 2001). Jika ada negara lain yang mengeluarkan dana dalam jumlah yang mereka sebut ‘signifikan’, maka mereka akan mendapatkan sanksi atau bentuk-bentuk tekanan lainnya. Amerika dan Inggris menggunakan sebutan ‘Kementrian Pertahanan’ dan ‘Departemen Pertahanan’ dalam usahanya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa aktivitas militer mereka terbatas hanya pada hal-hal yang terkait dengan pertahanan. Padahal, dalam realitanya mereka adalah institusi yang mengurus peperangan, sehingga lebih tepat disebut ‘Kementrian Perang’ atau ‘Departemen Perang’ karena sebutan sebelumnya hanya dipakai untuk menyembunyikan sifat alami kebijakan dan ambisi mereka yang menjijikkan.
Dalam kaitan ini, para penguasa boneka di negeri-negeri kaum Muslim hanya menjadi pelayan dalam urusan ini, baik dari ucapannya maupun dari tindakannya. Sama sekali tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa mereka berkeinginan mengembalikan kaum Muslim dalam kedudukan mereka sebelumnya di bawah naungan keperkasaan negara Khilafah. Mereka memang telah mengadakan berbagai macam konferensi yang tidak ada manfaatnya selain hanya merupakan olok-olok sekaligus sebagai upaya untuk mengelabui kaum Muslim. Melalui tangan-tangan mereka sanksi terhadap kaum Muslim di Irak dapat berjalan secara efektif; melalui tangan-tangan mereka perpecahan dan kelemahan umat Islam masih dipelihara; melalui tangan-tangan mereka tentara kaum Muslim direkayasa untuk saling berperang; dan melalui tangan-tangan mereka pula negara-negara kafir Barat diberi akses yang leluasa dan tak terbatas menuju wilayah-wilayah yang paling strategis di seluruh dunia untuk menggenjot perang melawan kaum Muslim. Mereka berkumpul dalam berbagai konferensi dan pertemuan hanya untuk melontarkan kecaman maupun ancaman verbal, sekadar untuk memuaskan kaum Muslim dan mempertahankan harapan umat Islam agar tetap menyala; sementara sesungguhnya mereka, para penguasa pengkhianat itu, tidak akan pernah berusaha seminimal apa pun untuk memelihara darah kaum Muslim, jika tidak diperintah oleh tuan-tuan mereka untuk berbuat demikian.
Oleh sebab itu, sekalipun jumlah kaum Muslim mampu mengerdilkan bangsa-bangsa lainnya, namun umat Islam tidak akan mampu berbuat apa-apa sekalipun terhadap bangsa dan negara yang kecil. Kaum Muslim bisa dirampok oleh siapa pun yang menghendaki, kapan pun mereka mau, mengingat bahwa kekuatan sejati kaum Muslim duduk menganggur di barak-barak mereka atas perintah pemimpin-pemimpin pengkhianat. Perlawanan yang dihadapi para agresor hanya muncul dari anak-anak, batu-batu, dan ketapel, yang melawan tank, peluru kendali, helikopter, kapal perang, kapal induk, kapal perusak, serta pesawat pembom dan pemburu.
Bagaimanapun juga, kekuatan militer merupakan sesuatu yang sangat bernilai bagi kaum Muslim dan negara Khilafah, sebagaimana Allah Swt telah memerintahkan kaum Muslim untuk mengusahakan dan mendapatkan kekuatan militer itu.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللهُ يَعْلَمُهُمْ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang agar kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. (TQS. al-Anfal [8]: 60)
Kepemilikan persenjataan dahsyat di tangan orang-orang kafir tidak akan memberi manfaat bagi umat manusia, namun justru akan membahayakan mereka, karena bisa menjadi sarana untuk menindas, menghinakan, dan menghancurkan umat manusia. Sementara, jika penguasaan senjata itu berada di tangan orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang membuat mereka memenuhi persyaratan sebagai pemelihara umat manusia –seperti kaum Muslim yang mempunyai dîn dan petunjuk yang haq–niscaya persenjataan itu akan mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah Swt berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (TQS. Ali Imran [3]: 110)
Penguasaan kekuatan militer yang dahsyat oleh kaum Muslim dimaksudkan untuk menjadi sarana yang efektif untuk mencegah terjadinya perlawanan. Jadi, bila kaum Muslim diizinkan Allah Swt memiliki dan mengembangkan kekuatan militer yang hebat, maka hal itu akan menjadi sarana yang efektif untuk menyampaikan Islam kepada umat manusia dengan sesedikit mungkin atau bahkan tanpa perlawanan. Selain itu, keperkasaan militer juga menjadi sarana untuk melindungi Islam dan mencegah munculnya musuh-musuh Islam. Sedikitnya perlawanan berarti jarangnya terjadi pertumpahan darah. Tentara Islam tidak akan banyak menemui perlawanan, sehingga Islam dapat diimplementasikan di tengah-tengah umat manusia. Dengan demikian mereka menjadi bagian yang tak terpisahkan dari negara Khilafah, sehingga mereka berkesempatan menikmati makna keadilan yang sejati, dan diarahkan untuk masuk Islam tanpa paksaan atau kekerasan. Selain itu, perlawanan terhadap kaum Muslim juga akan sangat terbatas, karena perlindungan dari angkatan perang negara Khilafah akan mampu menghentikannya.
Allah Swt berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللهُ يَعْلَمُهُمْ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang agar kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. (TQS. al-Anfal [8]: 60)
Ayat diatas mengandung ‘illat syar’i bagi kewajiban untuk mempersiapkan kuda-kuda (perang). ‘Illat-nya adalah untuk ‘melontarkan rasa takut di hati musuh kalian’. Aturan syari’at muncul di sekitar ‘illat syar’i dan timbul untuk memenuhi ‘illat syar’i. Dalam konteks zaman modern, mempersiapkan kuda-kuda tidak akan menghasilkan rasa takut di hati siapa pun, sehingga ‘illat syar’i tidak dapat dipenuhi. ‘Illat syar’i tersebut baru dapat dipenuhi dengan persiapan perlengkapan militer yang standar pada masa sekarang, dan bukan dengan perlengkapan militer standar masa lalu. Dan ini menjadi hukum syar’i.
Dengan demikian, kaum Muslim diperintahkan Allah Swt untuk terjun ke dalam kancah peperangan dengan persiapan material yang mencukupi. Dan Allah Swt menjadikan persiapan material tersebut sebagai sebuah persyaratan.
Bila kaum Muslim tidak sekadar mendemonstrasikan keinginan ideologis, tetapi juga menunjukkan keperkasaan kekuatan militernya, maka jelas akan menyebabkan setiap musuh di segala medan pertempuran akan merasa gentar menghadapi kaum Muslim. Rasa gentar ini akan tersebar luas kepada musuh-musuh yang nyata maupun musuh-musuh potensial, sehingga dapat menjadi sarana yang efektif untuk mencegah kemunculan pihak-pihak yang hendak melakukan makar terhadap kaum Muslim.
Adalah Rasulullah saw yang pernah mendemonstrasikan kekuatan militer ini ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang memusuhi dakwah Islam. Menjelang Perang Tabuk melawan Kekaisaran Romawi –negara adidaya pada waktu itu– Rasulullah saw mempertontonkan kekuatan militer pasukan negara Islam dengan cara berparade keliling Kota Madinah sebelum berangkat ke Tabuk. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kemampuan operasional pasukan perang dan juga untuk mendemonstrasikan keinginan untuk menggunakan kekuatan militer tersebut. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
Aku dimenangkan dengan rasa takut (yang dialami pasukan musuh) sepanjang satu bulan perjalanan. (HR Bukhari)
Selain itu, persetujuan juga diberikan Rasulullah saw ketika beliau saw melihat sahabat Abu Dujanah mengenakan ikat kepala merah dan berjalan tegak disertai lagak jagoan di hadapan musuh untuk memperlihatkan keperkasaan militernya. Ketika itu Rasulullah saw bersabda:
Allah membenci cara berjalan seperti itu, kecuali dalam keadaan seperti saat ini (perang).
Diriwayatkan pula bahwa pada saat Idul Fitri, Muawiyah membawa seluruh pasukan negara Khilafah untuk berparade di hadapan kaum Muslim dan bangsa-bangsa lain yang melihat kejadian itu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Namun demikian, semua keperkasaan itu kini hanya menjadi milik Amerika dan sekutu-sekutunya saja. Parade angkatan bersenjatanya, perlengkapan perangnya, teknologi militernya, pasukan angkatan lautnya, pasukan kapal selamnya, pasukan angkatan daratnya, pasukan angkatan udaranya, dan teknologi luar angkasanya, seringkali dipertontonkan di hadapan bangsa-bangsa sedunia. Jika ada suatu bangsa melakukan hal yang sama, Amerika segera mengeluarkan sinyal-sinyal yang jelas, yang ditujukan baik kepada pihak-pihak yang menentangnya maupun pihak-pihak yang dianggap mempunyai potensi untuk menentang superioritasnya. Dan ini merupakan sarana pencegah yang sangat efektif. Saat ini, hanya negara-negara seperti Amerika yang mampu melontarkan rasa takut ke dalam hati negara-negara lain dengan demonstrasi kekuatan militer dan persenjataannya. Tujuan mereka hanyalah untuk merendahkan dan memaksa seluruh dunia agar bertekuk lutut di bawah kekuasaannya. Sementara itu hanya sedikit –atau mungkin bahkan tidak ada– bangsa yang takut dengan kaum Muslim, karena tidak ada negara yang mewakili kepentingan mereka, menerapkan akidah Islam, dan mengaplikasikan agenda kebijakan luar negerinya. Siapa yang akan takut dengan kaum Muslim kalau mereka berperang hanya dengan dada telanjang menyambut sengatan berbagai macam peluru musuh, dan membenturkan kepala mereka ke badan tank berlapis baja?
Namun, bayangkanlah akibat yang timbul dan goncangan yang bakal mengejutkan dunia, apabila negara Khilafah yang perkasa kembali ditegakkan; kemudian mereka mengumpulkan seluruh kekuatan militer yang dimiliki, berusaha keras mengembangkan teknologi militer yang dimiliki, serta mendemonstrasikan keperkasaan militernya dengan mempertontonkan pasukan dan persenjataan yang dimilikinya; persis seperti yang dilakukan negara-negara pemimpin saat ini, yang gemar melakukan parade militer, latihan militer, latihan perang, dan uji coba kemampuan operasional. Kaum Muslim harus menyadari bahwa jika umat ini telah menjadi satu kesatuan, negeri-negeri mereka menjadi satu, amir (pemimpin) mereka satu, maka umat Islam akan memiliki angkatan bersenjata yang digjaya, yang mempunyai potensi kekuatan lebih besar daripada negara adidaya yang lalu, Uni Soviet, maupun negara adidaya yang sekarang, Amerika Serikat, bahkan jika kekuatan kedua adidaya itu digabungkan menjadi satu.
Umat Islam akan memiliki paling tidak 5,5 juta pasukan operasional, sekitar 4 juta pasukan cadangan, sekitar 18 juta warga negara yang siap menjalani wajib militer (yang jumlahnya selalu meningkat setiap tahun seiring terjadinya pertumbuhan kaum Muslim). Selain itu, kaum Muslim juga menguasai sedikitnya 5.000 pesawat tempur, sekitar 27.000 tank, divisi-divisi infantri bermesin, sejumlah besar fregat, kapal selam, kapal-kapal kelas perusak, berbagai misil balistik, misil berhulu ledak konvesional, misil berhulu ledak non-konvensional –termasuk berhulu ledak thermo-nuklir. Belum lagi sejumlah lokasi pangkalan angkatan laut dan pangkalan angkatan udara yang paling strategis di dunia. (Sumber: The Military Balance, 1989, 1990).
Kaum Muslim juga mempunyai sejumlah keuntungan geopolitik, termasuk kendali atas Selat Gibraltar di Laut Tengah bagian Barat, Terusan Suez di sebelah Timur Laut Tengah, selat sempit Baab al-Mandab yang menjadi akses masuk ke Laut Merah, Selat Dardanella dan Bosporus, Selat Hormuz di kawasan teluk Persia, serta Selat Malaka. Selain itu, perlu disebutkan juga arti penting Samudera Atlantik yang menjadi pintu belakang kaum Muslim di Afrika, meski tidak ada pelabuhan alami kecuali di Maroko. Pantai yang berpasir juga memberi kesulitan tersendiri bagi kaum agresor. Sementara itu, kaum Muslim juga mendominasi wilayah pantai Samudera Hindia.
Kaum Muslim juga menguasai sumberdaya yang dibutuhkan untuk menjadikan mereka sebagai umat yang paling maju dalam bidang teknologi militer. Sumberdaya itu meliputi sumberdaya intelektual, sumberdaya material, potensi industri, dan sumberdaya manusia. Umat Islam memegang kendali atas 60% deposit minyak seluruh dunia. Umat Islam juga memegang kendali atas bagian yang besar dari deposit Boron (49%), Fosfat (50%), Strontium (27%), Timah (22%), dan Uranium. Umat Islam juga mempunyai sumberdaya sarjana maupun pasca-sarjana yang terbaik di dunia dalam jumlah yang melimpah. Sebagai contoh, Mesir mempunyai lebih dari 500.000 ilmuwan dan insinyur, Turki sekitar 330.000, Malaysia 300.000, Pakistan sekitar 140.000, dan Indonesia paling tidak 100.000, dan lain-lain, hingga mencapai total sekitar 1,2 juta ilmuwan ditambah sekitar 32.000 pakar riset dan pengembangan. (Sumber: Some Elementary Scientometric Studies; A Study of Science and Technology Manpower Patterns vis-à-vis Population and GNP in the Muslim World, oleh M.M. Qurayshi dan S.M. Jafar, 1978)
Setelah mengetahui semua potensi yang disebutkan di atas, masih adakah orang yang berakal sehat berani mencemooh seorang Muslim? Apalagi berani mematahkan tulang mereka dan menindas kaum Muslim dengan cara yang paling kejam sebagaimana yang pernah kita saksikan di Bosnia.
Islam memiliki semua sarana untuk mencegah konflik dan untuk mempertahankan stabilitas di dunia. Inilah yang unik dari Islam dan kaum Muslim. Dan orang tua-orang tua kita dahulu pernah menikmati hal ini.
cari cari ...
Friday, October 8, 2010
jihad dan politik luar negeri daulah khilafah
12:13 AM
admin
No comments
0 comments:
Post a Comment