Jangan Lepaskan Papua dari Indonesia !!! PAPUA kembali membara, Kongres Dewan Adat Papua III yang digelar sejak Senin (17/10/2011) hingga Rabu (19/10/2011) di Lapangan Zakeus, Padang Bulan, Abepura, Jayapura membentuk pemerintahan transisi Negara Papua Merdeka. Aparat gabungan yang menjaga lokasi kongres itu melakukan tindakan pembubaran. Sebagaimana diberitakan, akibat insiden berdarah itu, kini sebanyak 300 orang ditangkap yang ditahn lima, dan yang lain sudah dipulangkn, bahkan sampai dengan hari jumat (21/10/2011) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melansir sudah ada enam orang yang terbunuh. (http://makassar.tribunnews.com/2011/10/21/hati-hati-papua-bisa-jadi-timor-timur-kedua)
Salah satu penyebab terjadinya kericuhan dalam kongres tersebut adalah adanya pengibaran bendera bintang kejora dan deklarasi pemilihan pemimpin nasional rakyat Papua. Bahkan panitia yang bernama Selfius Bobbi membacakan nama Presiden Papua Barat yang terpilih yaitu Forkorus Yaboisembut dan Perdana Menterinya Edison Waromi. Selain pemilihan pemimpin nasional, panitia juga mengumumkan nama negara baru dalam kongres itu. Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto, mengingatkan berlanjutnya kasus kekerasan di Papua bisa menjadikan wilayah itu seperti Timor Timur kedua.
Tentu, ini merupakan tantangan besar bagi Pemerintah Indonesia. Pasalnya, jika Pemerintah tidak menyelesaikan masalah ini secara elegan dengan mempertimbangkan masyarakat papua, faktor pemicu serta solusi bersama untuk kepentingan umum, Papua akan mengalami kontraksi politik yang bisa berujung pada disintegrasi (pemisahan diri), sebagaimana halnya Timor-Timur yang telah lepas dari pangkuan negeri ini.
Referendum Papua
Luas seluruh Papua adalah 309.934,4 km², sama dengan 3,5 kali Pulau Jawa. Wilayah ini subur dengan kandungan mineral dan potensi SDA (sumber daya alam) yang melimpah; dari mulai hutan, tambang emas, tembaga hingga uranium. Dari sisi geopolitik pun, Papua sangat strategis.
Namun, dengan potensi SDA Papua yang demikian besar, Indek Pembangunan Manusia (IPM) Papua termasuk yang paling rendah dibandingkan dengan seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Tingkat kemiskinan masyarakatnya juga sangat merisaukan. Padahal Papua telah terbukti memberikan banyak keuntungan dengan kandungan kekayaan alamnya yang melimpah kepada perusahaan lokal, nasional maupun multinasional (asing). Namun, Papua seolah hanya menjadi pundi-pundi kekayaan dan sapi perah kepentingan perusahaan-perusahaan tersebut dan pihak asing, termasuk para elit penguasanya.
Pemerintah Indonesia melalui Otonomi Khusus Papua yang dituangkan dalam UU No 21 Tahun 2001 berusaha mengubah keadaan di atas. Sayang, Otsus seolah menjadi bumerang. Pasalnya, setelah berjalan 10 tahun, Otsus dirasakan tidak berpengaruh apa-apa, kecuali kepada segelintir elit politiknya. Dana Otsus yang mencapai rata-rata 10juta/warga Papua juga tidak memberikan perubahan berarti. Kondisi inilah yang mendorong sebagian masyarakat Papua (lebih tepatnya; elit politiknya) menyuarakan tuntutan referendum (yang arahnya adalah merdeka atau minimal berformat federalisme). Referendum dianggap sebagai pilihan akhir untuk mengubah keadaan itu semua.
Kita tentu patut prihatin karena di Papua memang sedang terjadi upaya disintegrasi dengan menuntut referendum. Pangkal masalahnya adalah adanya pihak asing yang terus memanas-manasi, bahkan mendorong terjadinya kegiatan sparatis tersebut. Upaya disintegrasi ini memang telah dilakukan secara sistematis, dengan cara menginternasionalisasi isu Papua. Asing, terutama AS, sangat jelas telah merancang upaya pemisahan Papua ini dari wilayah Indonesia.
Hal ini antara lain dibuktikan dengan beberapa fenomena berikut : pada tanggal 29 Mei hingga 4 Juni 2000 Kehadiran Sekretaris Kedubes Amerika dan utusan Australia, Inggris dan negara asing lainnya dalam Kongres Papua; pada tanggal 31 Agustus 2002 Kasus penembakan yang terjadi di Mile 62-63 Jalan Timika–Tembagapura; pada bulan Juli 2005 Kongres AS membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) 2601 yang memuat masalah Papua di Amerika; pada tanggal 22 Maret 2006 Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Syamsir Siregar menduga ada upaya LSM yang didanai asing hingga terjadi kerusuhan di Abepura; pada tanggal 28 November 2007 Anggota Kongres AS, Eny Faleomavaega, kembali melakukan kunjungan ke Indonesia diantaranya Biak dan Manokwari begitu juga yang terjadi beberapa waktu akhir-akhir ini, dimana warga Papua dan pihak asing terus mengopinikan referendum untuk kemerdekaan Papua. Pada tahun ini pada saat bersamaan ribuan warga Jayapura menuntut referendum Sektor Kota Abepura, Selasa (2/8/2011) terlaksana Konferensi Internasional Lawyer for West Papua (ILWP) di Universitas Oxford, London Selasa (2/8/2011), yang menuntut kemerdekaan Papua barat.
Faktor Pemicu
Untuk menghilangkan tuntutan referendum dari Tanah Papua, faktor pemicu tuntutan ini perlu dipecahkan. Lepasnya Timor-Timor menjadi pengalaman sangat pahit. Sementara itu, Papua jauh lebih besar potensi SDA-nya dibandingkan Timor-Timur. Jika pemerintah saat ini tidak mengubah kebijakan dan orentasi pembangunannya, niscaya Pemerintah akan menelan buah simalakama demokrasinya. Dalam ruang demokrasi tidak ada lagi sumbatan bagi setiap warga, khususnya warga Papua, untuk menyerukan keinginannya, bahkan di forum-forum internasional, termasuk PBB. Apalagi Papua adalah ladang subur tempat melampiaskan ketamakan para kapitalis asing melalui instrumen negaranya untuk melakukan penjajahan sekaligus mengeruk habis kekayaan Papua.
Indonesia harus mencermati ‘dalang’ di balik tuntutan referendum ini. Sebab, masyarakat kecil kebanyakan sebetulnya tidak begitu paham dengan referendum tersebut. Sekelompok elit politiklah yang sebenarnya bermain dengan membangun jejaring baik di pusat kekuasaan maupun jejaring internasional (LSM-LSM asing). Namun, sesungguhnya mereka hanyalah ‘alat’. Kepentingan negara-negara besarlah sebenarnya yang memainkan peran penting di Papua. Kekuatan asinglah yang punya kepentingan dan bakal meraih keuntungan jika Papua merdeka atau memisahkan diri melalui referendum yang sedang diusahakan oleh mereka. Jika ini tidak dicermati Pemerintah, boleh jadi nasib Papua nanti akan seperti Timor Timur; lepas begitu saja dari pangkuan Indonesia.
Jangan Lepaskan Papua
Indonesia adalah negeri Islam. Papua adalah bagian dari negeri Indonesia, karena itu, wajib bagi kaum Muslim untuk meminta penguasa negeri berhati-hati atas kasus Papua, jangan sampai kasus ‘lepasnya’ begitu saja Timor Timur terjadi lagi. Untuk mengurangi pengaruh dan provokasi Asing di sana, wajib pula masyarakat untuk menyebarkan bahaya disintegrasi yang bertujuan memecah belah negeri ini.
Selain itu, penguasa harus menyadari bahwa politik sekular tidak memiliki kapasitas untuk membangun seluruh wilayah Indonesia, termasuk Papua, menjadi makmur, sejahtera dan berkeadilan. Sudah saatnya penguasa negeri ini menerapkan sistem Islam. Penguasa wajib menerapkan hukum syariah yang berasal dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya atas semua wilayah di negeri ini tanpa diskriminasi, antara satu provinsi dan lainnya. Dalam sistem Islam (Khilafah), semua orang yang memiliki kewarganegaraan negara akan memiliki hak yang sama, terlepas dari keturunan, warna kulit dan agama mereka.
Pemerintah juga harus mengeluarkan kekuatan ekstra untuk mencegah aksi separatis dan menanganinya secara adil di antara masyarakat. Dan hendaknya seluruh komponen masyarakat negeri ini menyadari adanya upaya provokator untuk Nasionalisasi bahkan Internasionalisasi kasus Papua. Arman Kamaruddin (Lajnah Intelektual HTI Sulsel) tribunnews.com Jangan Lepaskan Papua dari Indonesia !!!
0 comments:
Post a Comment