Berkurban dan Jiwa Kepemimpinan Kasus separatisme dan kontrak karya PT. Freeport Indonesia di Tanah Papua menyentak kita semua. Keadilan masyarakat terusik dengan perilaku pengelola negara yang tidak mencerminkan keberpihakan kepada penduduk lokal, kekayaan potensi alam di sana tidak dibarengi dengan kebijakan yang menyejahterakan masyarakat Papua, kecuali hanya segelintir. Hasil kekayaan ini lebih banyak dinikmati oleh orang-orang di luar daerah, bahkan di luar negeri, sehingga masyarakat Papua dengan berbagai latar belakangnya tetap merasakan kehidupan yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia, pra sejahtera.
Saya mendapat kesempatan berkunjung ke PT. Freeport Indonesia pada tahun 2004 lalu, atas undangan Himpunan Masyarakat Muslim PT. Freeport Indonesia buat membawakan kutbah Iduladha dan kegiatan dakwah lainnya. Saya bertemu dengan karyawan-karyawan muslim dari berbagai daerah dan menyampaikan tausiyah di beberapa masjid dalam lingkungan perusahaan.
Saya diajak oleh salah seorang karyawan buat melihat lokasi tambang di daerah Grasberg yang hanya dapat dicapai dengan kereta gantung karena ketinggiannya. Lokasi itu sangat kaya dengan berbagai jenis bahan tambang, ada emas, perak, tembaga dan nikel yang kelihatan dengan jelas dari struktur gunung-gunung yang dikeruk buat diolah. Ironisnya, saya juga melihat dalam perjalanan menuju Masjid Darussa’adah di mil 68, sekelompok penduduk lokal yang mendulang sisa-sisa emas di sungai pembuangan dari perusahaan dan belakangan saya ketahui dari penjelasan salah seorang pegawai, adalah perbuatan terlarang karena mengandung zat-zat kimia dan membahayakan kesehatan mereka. Kondisi di Kota Timika -yang saya kitari ketika hendak pulang ke Makassar- juga tidak sesejahtera kompleks perumahan di lingkungan perusahaan yang dilengkapi dengan fasilitas pendidikan dan perbelanjaan.
Jiwa Kepemimpinan
Kekurangadilan yang dirasakan oleh masyarakat adalah akibat dari hilang atau lemahnya jiwa kepemimpinan yang ada di tengah bangsa ini. Kebijakan pengelola negara yang kadang kurang tepat dan krisis keteladanan di segala bidang menjadi indikasi utama persoalan ini. Rasanya tidak mudah pada saat ini untuk mendapatkan seratus orang tokoh di tengah bangsa ini, yang dapat dijadikan panutan bagi masyarakat di semua lini dalam kehidupan, padahal salah satu prasyarat berkembangnya suatu bangsa dan peradaban adalah melimpahnya tokoh pemimpin pada seluruh bidang kehidupan, sehingga masyarakat dapat memiliki referensi (rujukan) keteladanan pada masing-masing tokoh tersebut.
Bercermin pada sejarah perjuangan Rasulullah, Muhammad saw. dalam melakukan perubahan, maka di antara langkah strategis yang beliau lakukan adalah membangun jiwa kepemimpinan di dalam diri para sahabat ra. Rasulullah saw. menanamkan sifat tauhid (mengesakan Allah swt) ke dalam jiwa setiap sahabat dengan dakwah dan teladan yang baik. Sifat tauhid menjadi pondasi dari bangunan jiwa kepemimpinan yang kuat, karena dapat memberikan kepada seorang manusia kemerdekaan penuh dari penghambaan dan ketundukan kepada sesama makhluk, sehingga dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah swt., tidak tunduk kecuali hanya kepada aturan yang datang dari Allah swt. atau yang sesuai dengannya.
Jiwa kepemimpinan yang kuat menjadikan penguasa suatu bangsa sejajar dengan penguasa bangsa lain atau bahkan lebih mulia, sehingga tidak mudah didikte oleh bangsa manapun kecuali jika sejalan dengan keinginan Allah. Jiwa kepemimpinan menjadikan seseorang sebagai qudwah (teladan) bagi sesama umat manusia di dalam kehidupan. Keteladanan sikap dan perilaku yang sesuai dengan perkataan, merupakan nilai moral yang dibutuhkan oleh suatu bangsa untuk maju dan disegani. Tumbuhnya kepercayaan dalam diri setiap anggota masyarakat terhadap pemimpinnya disebabkan oleh sifat keteladanannya, sehingga menjadi dasar terhadap pelaksanaan segala kebijakan yang bertujuan membangun kesejahteraan mereka.
Jiwa kepemimpinan juga menjadikan suatu bangsa dapat membangun peradaban yang tinggi dan mampu bertahan dengan peradaban itu. Tidaklah peradaban bangsa-bangsa besar pada zaman dahulu dapat terbangun dan bertahan kecuali karena mereka memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat. Kekuasaan masing-masing bangsa terbentuk menjadi suatu kekaisaran (imperium) yang memiliki wilayah begitu luas, demikian pula umat Islam yang memiliki wilayah pemerintahan sangat luas dan pengendalian yang kuat terhadap wilayah-wilayah tersebut, khususnya pada masa pemerintahan khulafa’ rasyidun. Pemerintah Islam pada zaman itu berhasil membangun peradaban dunia yang berlandaskan pada ajaran Alquran, berkat jiwa kepemimpinan para khalifahnya.
Berkurban
Berkurban dengan menyembelih seekor hewan ternak dilakukan oleh Rasulullah saw. atas perintah Allah swt.: “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah”. QS. al-Kautsar/108: 2. Rasulullah saw. menyembelih 100 ekor onta sebagai dam dan kurban pada pelaksanaan ibadah haji wada’ (perpisahan). Syariat ini dilanjutkan oleh umat Islam hingga saat ini, setiap selesai pelaksanaan salat Idul Adha, maka kaum muslim beramai-ramai menyembelih hewan kurban yang telah mereka siapkan sebelumnya.
Berkurban bagi kaum muslim seharusnya bukan sekadar bergembira merayakan hari besar ini, namun selayaknya mengambil hikmah dan pelajaran darinya. Berkurban menjadi wujud kesyukuran atas karunia Allah swt. berupa harta dan kehidupan yang layak, segala nikmat wajib untuk disyukuri dan wujudnya adalah dengan melaksanakan ibadah yang diperintahkan oleh Sang Pemberi nikmat. Berkurban juga dimaknai dengan latihan pengorbanan untuk menjadi pribadi yang kuat, khususnya mendidik jiwa kepemimpinan. Di dalam Bahasa Arab, kosa kata udhiyah (kurban) berakar kata yang sama dengan pengorbanan (tadhiyah), menunjukkan bahwa makna yang menyatukan antara keduanya adalah melakukan sesuatu buat mencapai kondisi jiwa yang tinggi.
Berkurban menjadi bagian dari pengorbanan dengan harta benda di jalan Allah swt. yang disebutkan sebanyak kurang lebih 10 kali di dalam Alquran bersanding bersama pengorbanan dengan nyawa. Pengorbanan dengan harta benda buat membersihkan diri dari sifat kikir dan melatih diri untuk menjadi pemimpin yang mau berkorban buat orang banyak secara tulus, memiliki empati kepada sesama umat manusia dan membangkitkan semangat berbagi dengan masyarakat.
Alquran mengingatkan kepada setiap yang hendak berkurban, bahwa yang akan sampai kepada Allah swt. dari hewan yang disembelih adalah nilai ketakwaan pelakunya (QS. al-Hajj/22: 37). Ketakwaan ini diukur dengan sifat keikhlasan dan pengorbanan yang ada dalam diri seorang yang berkurban, semakin kuat dorongan ketakwaannya maka semakin tinggi pula nilainya di sisi Allah swt. Ketakwaan juga menjadi ukuran pencapaian suatu proses latihan pengorbanan, olehnya itu jiwa kepemimpinan yang hendak dibangun dari ibadah kurban juga mengacu kepada nilai-nilai ketakwaan. Selamat berkurban dan selamat hari raya Idul Adha. fajar.co.id Rahmat Abd. Rahman (Ketua MUI Kota Makassar) 02/11/2011 Berkurban dan Jiwa Kepemimpinan
0 comments:
Post a Comment