Jurus Mabuk Pemberantasan Korupsi. Gerakan perang melawan koruptor dan pemberantasan korupsi tampaknya seperti jauh panggang dari api. Hal ini bisa dilihat ketika baru-baru ini ternyata pemerintah telah siap mengeluarkan jurus mabuk berupa revisi UU Tipikor yang sarat dengan pasal-pasal penyubur tindak pidana korupsi sekaligus angin segar bagi para koruptor.
Berikut adalah revisi RUU Tipikor yang berisi pelemahan terhadap pemberantasan korupsi sebagaimana dijelaskan oleh peneliti hukum ICW, Donal Fariz jumpa pers di Jakarta, Minggu (27/3/2011):
1. Menghilangkan ancaman hukuman mati yang sebelumnya diatur di Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999.
2. Menghilangnya pasal 2 yang paling banyak digunakan aparat penegak hukum dalam menjerat koruptor.
3. Hilangnya "ancaman hukuman minimal" di sejumlah pasal. ICW menemukan tujuh pasal di RUU tipikor yang tidak mencantumkan ancaman hukuman minimal.
4. Penurunan "ancaman hukuman minimal" menjadi hanya 1 tahun. Hal tersebut dikhawatirkan menjadi pintu masuk untuk memberikan hukuman percobaan bagi koruptor bila dibandingkan dengan UU No 31 Tahun 1999 yang bervariasi mulai dari 1 tahun bahkan 4 tahun untuk korupsi yang melibatkan penegak hukum dan merugikan keuangan negara.
5. Melemahnya sanksi untuk "mafia hukum" seperti suap untuk aparat penegak hukum di UU No 31 Tahun 1999 jo UU 20/2001 suap untuk hakim ancaman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Sedangkan di RUU Tipikor minimal hanya 1 tahun dan maksimal 7 tahun (ditambah 1/3) atau 9 tahun.
6. Ditemukan pasal yang potensial mengkriminalisasi pelapor kasus korupsi.
7. Korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum (pasal 52). Dalam klausul tersebut disebutkan pelepasan penuntutan hanya dilakukan setelah uang dikembalikan dan pelaku mengaku bersalah. Hal ini tetap dinilai sebagai bentuk kompromi terhadap koruptor yang dikhawatirkan akan membuat korupsi kecil-kecilan yang terjadi di pelayanan publik akan semakin marak.
8. Kewenangan penuntutan KPK tidak disebutkan secara jelas dalam RUU (pasal 32), padahal di pasal sebelumnya posisi KPK sebagai penyidik korupsi disebutkan secara tegas. Hal ini menurut ICW harus dicermati agar tidak menjadi celah untuk membonsai kewenangan penuntutan KPK.
9. Tidak ditemukan dalam RUU Tipikor aturan seperti Pasal 18 UU 31 Tahun 1999 dan UU 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang tindak pidana tambahan, pembayaran uang pengganti kerugian negara, perampasan barang yang digunakan dan hasil untuk korupsi, penutupan perusahaan yang terkait korupsi. (detik.com).
Ironis memang, di tengah kegagalan dalam pemberantasan korupsi ini, kini malah muncul wacana revisi UU Tipikor "pro koruptor" ini. Tentunya jika jurus mabuk ini jadi di golkan, hanyalah akan membuat para koruptor tertawa, sementara rakyat semakin menderita, sebab sebagian uang hasil korupsi tersebut notabene juga uang rakyat dan sudah seharusnya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Sistem pemberantasan korupsi di Indonesia sejatinya sudah lemah, namun berusaha kembali semakin dilemahkan. Belum direvisi saja, korupsi masih menggurita, apalagi mau direvisi dengan jurus mabuk ini. Apakah benar-benar ingin membuat negri ini menjadi surga bagi koruptor.
Lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia setidaknya bisa dilihat secara kasat mata seperti hasil putusan pengadilan kasus mafia pajak dan mafia hukum kasus Gayus Tambunan serta tidak terungkapnya aktor-aktor dibelakangnya, biasnya penanganan kasus centuri, loyonya pengusutan skandal BLBI, rekening gendut Polri, dan masih banyak lagi.
Korupsi merajalela di desa maupun di kota, dari tingkat daerah hingga tingkat pusat, baik koruptor kecil ataupun kelas kakap. Semua ini adalah korupsi yang bersifat sistemik. Sistem sekulerisme yang melahirkan banyak koruptor di negri ini. Sistem telah mendorong orang untuk melakukan korupsi, meskipun dia sebelumnya bukanlah seorang koruptor.
Tidak heran jika sebelumnya dipandang dia adalah orang baik, ternyata juga diindikasi koruptor, bahkan juga ada yang terbukti koruptor. Padahal sebelumnya masih bersih.
Jalaslah bahwasanya ada dua penyebab utama di mana korupsi tak kunjung teratasi. Pertama adalah manusianya, yang kedua adalah sistemnya. Sistem yang baik ialah sistem dari sang maha pencipta, sistem yang dapat mendorong manusia menjadi baik, memiliki spirit ruhiah untuk mendekatkan diri pada Rabb semesta alam. Dan semua itu hanya ada dalam sistem Islam.
KPK memang layak didukung untuk menjerat para koruptor, namun tentu saja KPK tak mungkin berdaya jika terus dilemahkan. Apalagi kalau sampai KPK cuma sekadar dimanfaatkan, maksudnya seolah-olah negara telah berhasil memberantas korupsi dengan dimunculkannya ke media beberapa kasus korupsi yang telah ditangani KPK. Padahal itu adalah kulit korupsi saja. Hasil pilih tebang. Lebih parah lagi jika cuma digunakan sebagai alat untuk pembunuhan karakter lawan politik.
Di sisi lain korupsi di negeri ini adalah berupa korupsi sistemik, tentu penyelesainya harus sistemik pula. Tak bisa jika cuma sekedar kelembagaan. Sama halnya seperti semut yang melawan raksasa, bisa pula diibaratkan ketika kita ingin mematikan sebuah pohon Jambu di halaman, namun hanya dipotong beberapa daun atau rantingnya.
Itulah realitas negri ini. Satu hal yang penting, kita dituntut untuk mengubah realitas yang sekuler ini, bukan kita diperintah untuk menyesuaikan realitas sekuler yang yang ada. Jika realitas tidak sesuai dengan Islam maka umat Islam diperintah oleh Allah SWT untuk memperjuangkan agar realitas sesuai dengan Islam. Bukan sebaliknya, Islam disesuai-sesuaikan dengan realitas. Itulah prinsip akidah Islam.
Syariah Islam memiliki seperangkat sistem yang elegan untuk memberantas korupsi. Seperti: sistem pengawasan yang baik oleh individu, masyarakat dan negara. Sanksi tegas pemberi efek jera, pembuktian terbalik, keteladanan pemimpin, larangan menerima suap dan hadiah bagi pejabat Negara, memperhatian kesejahteraan yang adil bagi pada para pejabat, dan sebagainya.
Karena itu, solusi tepat berantas korupsi ialah dengan syariah Islam di dalam bingkai Negara khilafah. Untuk Indonesia yang lebih bersih. Lebih-lebih bagi orang yang beriman.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS Almaidah: 50). Wallahu A'lam
*) Ali Mustofa adalah Direktur Rise Media Surakarta, aktivis Gerakan Mahasiswa Pembebasan Solo Raya (Gema Pembebasan). Penulis tinggal di Gang Nusa Indah, Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo, Solo. E-mail: bengawanrise@gmail.com
(vit/vit)
detiknews.com Jurus Mabuk Pemberantasan Korupsi
0 comments:
Post a Comment