Siang itu, terlihat beberapa ikhwan dan akhwat berkumpul di dalam ruangan kecil bersekat tirai. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang serius. Tiba-tiba salah seorang ikhwan mengucapkan statement yang mengejutkan. “Tidak usah terlalu menonjolkan sisi Islamnya, lebih baik berikan alasan-alasan yang lebih mudah diterima, misalnya Nasionalisme, agar mereka tidak takut dengan kita,” demikian diungkapkan oleh salah satu anggota Lembaga Dakwah Kampus dari balik tirai.
Ironis, melihat realita pemikiran para aktivis dakwah kampus saat ini. Lembaga dakwah kampus yang seharusnya merupakan corong dalam penyeruan ide-ide Islam, kini telah buntu. Dibuntu oleh pemikiran kolot para aktivisnya yang telah terjebak dalam pragmatisme dan ketakutan ditinggalkan pengikut. Bagaimana mungkin kata-kata tersebut bisa keluar dari mulut seorang da’i. Orang yang tugasnya menyampaikan Islam, namun malah melarang rekannya mengatakan kebenaran Islam. Parahnya lagi, solusi pengganti yang diberikannya adalah ide yang lebih buruk dari Islam, yaitu Nasionalisme.
Perlu kita ketahui bahwa sebenarnya Nasionalisme bukan berasal dari Islam, melainkan dari luar Islam. Ide Nasionalisme ini sengaja dimunculkan oleh Barat untuk memecah belah kaum Muslimin sejak Khilafah masih berdiri dulu. Ide inilah yang menyebabkan negeri-negeri Islam akhirnya memisahkan diri dari Kekhilafahan. Negeri-negeri tersebut menginginkan berdiri sendiri karena terjadi kecemburuan terhadap penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa dalam Daulah Khilafah. Mereka merasa mempunyai bahasa sendiri dari negaranya, yang tidak kalah dengan bahasa Arab, misalnya bahasa Turki. Padahal Islam dan bahasa Arab itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan banyaknya negeri Islam yang lepas dari Daulah, serta mulai ditinggalkannya bahasa Arab oleh kaum Muslimin saat itu, akhirnya umat Islam pun terpecah belah. Hingga berujung pada runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah pada tahun 1924 silam, oleh seorang pengkhianat dari Turki yang bernama Mustafa Kemal Attaturk. Daulah Khilafah yang telah tegak selama kurang lebih 13 abad, berhasil diporak-porandakan oleh Barat, tidak lain dengan menggunakan senjata Nasionalisme. Barat pun berpesta atas kehancuran Islam.
Kini, sudah 86 tahun umat Islam hidup terlantar. Tanpa adanya sebuah institusi Khilafah yang melindungi dan menjaga kehormatan mereka. Tanpa seorang Khalifah yang membela urusan mereka. Semua itu karena ide Nasionalisme yang berhasil dicekokan oleh Barat ke dalam benak kaum Muslimin. Jika demikian, layakkah kita sebagai umat Islam justru membangga-banggakan alat pemecah belah kaum Muslimin, yang bernama Nasionalisme tersebut? Pantaskah kita sebagai kaum Muslimin mengadopsi pemikiran Barat yang bernama Nasionalisme, yang dengannya umat Islam telah kehilangan ikatan satu akidah? Sangat disayangkan jika kita tetap membiarkan ide jahat tersebut bersarang di dalam akal dan hati kita. Buang jauh-jauh Nasionalisme, saudara-saudariku! Jangan biarkan kita jatuh ke dalam lubang kehancuran yang sama. Umat Islam itu satu tubuh, dan diikat oleh ikatan yang kuat yaitu ikatan akidah. Ikatan yang mampu melintasi batas negara, melewati luasnya samudera, menembus hutan belantara. Tak memandang warna kulit, bentuk tubuh, suku, ras, maupun bahasa. Umat Islam itu satu dan bersaudara!
Selama 86 tahun kita telah dijejali hukum sekuler buatan Barat, yang memisahkan antara agama (Islam) dan kehidupan. Apalagi kalau bukan Kapitalisme, yang menganggap segala sesuatu sebagai materi belaka. Demokrasi, yang mengambil segala keputusan pada suara terbanyak. Tak peduli apakah keputusan itu bertentangan dengan syara’. Kebenaran bisa menjadi salah, dan hal yang salah bisa dianggap benar, dalam sistem yang katanya demokratis ini. Benar-benar pembodohan bagi umat Islam. Hukum-hukum sekuler seperti Kapitalisme maupun Demokrasi ini sejatinya juga bukanlah berasal dari Islam. Namun, secara langsung atau tidak langsung ternyata kita bisa menerima dan menerapkannya dengan lapang dada kan? Tapi kenapa ketika ada seorang atau sekelompok orang yang menawarkan penerapan sistem Islam, justru kita masih lama memikirkannya, hanya untuk menyatakan sebuah dukungan. Sekali lagi, padahal kita sendiri adalah orang Islam. Sungguh aneh jika kita sebagai umat Islam, merasa fine-fine saja ketika diatur dengan aturan selain Islam, namun justru takut atau berkilah saat ditawari aturan Islam.
“Terapkan dulu Islam di dalam hatimu,” ungkap salah seorang. “Egois!” jawab seorang yang lain. Itu berarti kita hanya mementingkan kebaikan bagi diri kita sendiri, tanpa memikirkan orang lain. Islam memang harus ditegakkan dalam hati kita. Namun, tidak hanya mencukupkan dengan hal itu saja. Lebih dari itu, Islam juga harus diterapkan dalam sebuah negara. Karena penerapan sistem Islam dalam negara itu bersifat mengikat masyarakat. Sehingga masyarakat yang tidak atau masih sedikit mengenal Islam pun, mereka akan terikat dengan aturan Islam. Dengan begitu, dapat dipastikan mereka akan menjalankan aturan-aturan Islam tersebut, atas dasar keterikatannya terhadap sistem yang diterapkan oleh negara (daulah). Lain halnya jika Islam hanya diterapkan dalam diri kita masing-masing, tanpa menerapkannya dalam negara. Maka jadilah Islam hanya diterapkan sebagai ibadah ritual belaka. Sholat, puasa, zakat, dzikir, tapi masih tetap terjebak dalam aktivitas riba, ikhtilat, dan lain-lain.
Wahai saudara-saudariku, ketahuilah bahwasanya setelah Rosulullah wafat, para sahabat rela menunda pemakaman jenasah beliau saw. hingga tiga hari, demi menentukan siapa Khalifah pengganti Rosulullah. Padahal tiga hari merupakan batas maksimal pemakaman jenasah. Dari sini tampak jelas betapa pentingnya umat Islam mengangkat seorang Khalifah yang memimpin mereka dengan aturan-aturan Allah. Bahkan para sahabat tidak membiarkan seharipun kosong tanpa seorang Khalifah, sehingga mereka bersegera menunjuk pengganti Rosulullah, yaitu Abu Bakar. Namun kini, tidak hanya sehari kekosongan itu terjadi. Hingga detik ini, sudah 86 tahun tidak ada seorang Khalifah yang memimpin kaum Muslimin. Parahnya, umat Islam saat ini telah teracuni oleh pemikiran Barat, tersilaukan oleh kemajuan budaya Barat, dan terlena oleh kenikmatan dunia yang sesaat. Sejarah tentang kejayaan Khilafah Islam pun telah terhapus dari benak kaum Muslimin. Inilah yang membuat umat Islam lupa bahwa posisi mereka saat ini sedang terancam, karena tidak adanya seorang Khalifah. Ancaman itupun kini telah menjadi kenyataan, dengan dibantainya ribuan umat Islam di Palestina, Afghanistan, dan negeri-negeri Islam lainnya. Direbutnya tanah Palestina oleh orang-orang Yahudi, pelarangan jilbab, pelecehan nabi Muhammad saw. dalam bentuk karikatur, pembakaran Al-Qur’an, fitnah teroris, dan lain-lain. Ini semua terjadi karena umat Islam saat ini tidak bersatu serta tidak punya satu kekuatan yang melindungi, yaitu Daulah Khilafah.
Maka dari itu, sudah saatnya kita bersatu, saudara-saudariku! Jangan terjebak oleh paham-paham yang dibawa oleh Barat, seperti, Nasionalisme, Kapitalisme, Demokrasi, Sekulerisme, Liberalisme, Feminisme, maupun Pluralisme. Cukup jadikan Islam sebagai satu-satunya isme yang kita yakini!
[Rizki Amelia Kurniadewi - LDF FISIP UB Malang]
source: http://www.facebook.com/notes/zakiya-el-karima/menjadi-muslim-berideologi-islam/479902221899
cari cari ...
Tuesday, September 21, 2010
Menjadi Muslim Berideologi Islam
5:57 PM
admin
No comments
0 comments:
Post a Comment