Selama tiga belas abad, kaum Muslim menikmati kemakmuran yang tak tertandingi melalui penerapan aturan-aturan Islam. Kemakmuran ini tidak hanya terbatas pada kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan obat-obatan, seperti yang kita sering dengar, melainkan juga pada semua aspek kehidupan; termasuk kesejahteraan sosial, kesehatan dan pendidikan.
Hal ini tidaklah aneh karena Allah SWT berfirman:وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Pemeliharaan Kesehatan
Dalam Islam, kesehatan individu sangat dihargai, dan hal ini dianggap sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, bersama dengan makanan dan keamanan. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa pun yang dalam satu harinya bebas dari penyakit, aman dari gangguan orang lain, dan memiliki makanan pada hari itu, maka hal itu adalah seperti memiliki dunia seisinya.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dalam Islam, memberikan kesehatan gratis dan pemeliharaan kesehatan yang layak adalah tanggung jawab Daulah Islam terhadap semua warganya; baik mereka kaya-miskin, Muslim-non-Muslim. Rasulullah saw. bersabda:
Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).
Memberikan kesehatan gratis kepada masyarakat adalah hal yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. di Madinah. Ibnu Ishaq melaporkan dalam buku Sirah-nya, bahwa sebuah kemah yang dibangun di masjid dan diberi nama seseorang yang bernama Rufaidah dari suku Aslam digunakan untuk memberikan diagnosis dan pengobatan untuk orang-orang secara gratis untuk orang-orang kaya maupun miskin. Ketika Saad bin Muadz ra. terkena panah selama Perang Khandaq, Rasulullah saw. mengatakan kepada para Sahabat untuk membawanya ke Kemah Rufaidah. Rufaidah dibayar oleh negara dari ghanimah sebagaimana yang disebutkan Al-Waqidi dalam bukunya yang berjudul Al-Maghazi.
Memberikan layanan kesehatan kepada warga negara terus berlanjut sepanjang Khilafah Islam dan kaum kafir sendiri yang menjadi saksi atas hal ini. Sebagai contoh, Gomar, salah seorang pemimpin pada masa Napoleon selama perang yang dilancarkan Prancis (1798-1801) untuk menduduki Mesir, menggambarkan pelayanan kesehatan dan fasilitas kesehatan berusia 600 tahun yang ia lihat, “Semua orang sakit biasa pergi ke Bimaristan (rumah sakit) bagi kaum miskin dan kaum kaya, tanpa perbedaan. Dokter berasal dari banyak tempat di wilayah timur dan mereka juga mendapat bayaran yang baik. Ada apotek yang penuh dengan obat-obatan dan instrumentasi, dengan dua perawat yang melayani setiap pasien. Mereka yang memiliki gangguan fisik dan kejiwaan diisolasi dan dirawat secara terpisah.
Mereka kemudian dihibur dengan cerita-cerita dari orang-orang yang telah sembuh (baik secara fisik maupun kejiwaan) dan akan dirawat di bagian rehabilitasi. Ketika mereka selesai dirawat, setiap pasien akan diberikan lima keping emas sehingga para mantan pasien itu tidak perlu bekerja segera setelah ia meninggalkan rumah sakit.”
Seorang orientalis Prancis, Prisse D’Avennes, menggambarkan rumah sakit yang sama dengan mengatakan, “Kamar-kamar pasien terasa dingin karena menggunakan kipas besar yang terpasang dari satu sisi ruang hingga ke sisi yang lain, atau terasa hangat karena parfum yang dihangatkan. Lantai-lantai kamar pasien itu ditutupi oleh cabang-cabang (Hinna) pohon delima atau pohon aromatik lainnya.”
Kesejahteraan
Kesejahteraan masyarakat ditunjukkan oleh hadis Rasulullah saw. bersabda, “Siapa pun yang meninggalkan uang, uang itu bagi yang mewarisinya, dan siapa pun yang meninggalkan anak yang lemah, maka (tanggungjawabnya) kepada kita.” (HR Muslim).
Dalam hal ini, negara bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal dan pakaian bagi mereka yang tidak mampu karena alasan apa pun. Kesejahteraan rakyat di bawah kekuasaan Islam adalah hasil dari penerapan hukum Allah SWT. Pemahaman bahwa Khilafah/Negara memiliki tanggung jawab terhadap rakyat adalah berdasarkan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar ra., sebagai khalifah saat itu, yang melayani seorang perempuan yang jompo dan buta yang tinggal di pinggiran Madinah. Khalifah Umar bin al-Khattab ra. ingin juga merawatnya, tetapi menemukan bahwa Khalifah Abu Bakar ra. telah memasak makanan, membersihkan rumah dan mencuci pakaiannya untuknya. Inilah pemahaman dan rasa tanggung jawab yang sama, yang membuat Umar ra., yang ketika itu adalah khalifah, untuk kembali ke Baitul Mal. Ia memikul sendiri karung gandum makanan untuk kembali menuju rumah seorang perempuan dan anak-anaknya yang tinggal di luar Madinah, lalu memasak makanan untuk mereka. Dia menolak tawaran para pembantunya untuk membawakan karung itu dengan mengatakan, “Maukah engkau memikul dosa-dosa saya dan tanggung jawab atas saya pada Hari Perhitungan?”
Perawatan kesehatan juga berlaku untuk anak-anak. Selama masa pemerintahan Khalifah Umar ra., ada kebijakan untuk memberikan upah setiap kali seorang anak selesai masa menyusui. Namun, suatu hari Khalifah Umar ra. mendengar seorang bayi menangis kemudian dia meminta kepada ibu anak itu untuk, “Bertakwalah kepada Allah SWT atas bayi Anda dan rawatlah dia.” Kemudian ibu itu menjelaskan bahwa dia berhenti menyusui anaknya lebih awal agar dia bisa menerima upah dari Negara. Keesokan harinya, setelah fajar, Khalifah Umar ra. merevisi kebijakan itu dengan membayar upah pada saat kelahiran. Khalifah Umar ra. takut Allah SWT akan meminta pertanggungjawabannya dan dia berkata sambil menangis, “Bahkan atas bayi-bayi, ya Umar!” — yang berarti bahwa ia akan diminta pertanggungjawaban karena tindakannya yang merugikan anak-anak.
Hewan-hewan juga dilindungi oleh sang Khalifah. Ibn Rusyd al-Qurthubi meriwayatkan dari Malik bahwa Khalifah Umar ra. Pernah melewati seekor keledai yang dibebani dengan tumpukan batu. Menyadari bahwa hewan itu terlihat menderita maka dia mengeluarkan dua tumpukan batu yang diambil dari bagian belakang. Pemilik keledai itu, seorang wanita tua, datang kepada Khalifah Umar ra. dan berkata, “Wahai Umar, apa yang kau lakukan dengan keledaiku? Apakah kamu memiliki hak untuk melakukan apa yang engkau lakukan?” Khalifah Umar ra. Mengatakan, “Apa yang menurutmu yang membuatku mau mengisi jabatan ini (Khalifah)?” Yang dimaksudkan oleh Khalifah Umar ra. adalah bahwa mengambil tanggung jawab sebagai khalifah, Umar ra. bertanggung jawab atas semua hukum Islam, yang meliputi pula tindakan yang disebutkan oleh hadis Rasulullah saw., “Berhati-hatilah untuk tidak membebani punggung hewan, karena dengannya Allah SWT telah membuat mereka bisa membawamu ke tempat-tempat yang sulit bagimu untuk mencapainya, dan menciptakan bumi sehingga kamu dapat memenuhi kebutuhanmu di atas muka bumi.” (HR Abu Dawud).
Artinya, kita harus mengasihi binatang dan tidak membebani mereka. Pola-pola penyediaan bagi orang-orang dan perawatan dengan baik bagi mereka berlanjut terus pada masa Khilafah sampai saat kehancurannya pada tahun 1924. Ibnu al-Jauzi melaporkan dalam bukunya mengenai masa hidup Khalifah Umar bin Abdul Aziz, bahwa Khalifah Umar ra. pernah bertanya kepada para gubernurnya di seluruh negeri untuk menghitung jumlah semua orang buta, orang-orang berpenyakit kronis dan orang-orang cacat. Dia kemudian memberikan seorang pemandu bagi setiap orang buta dan dua orang pembantu bagi setiap orang berpenyakit kronis atau orang cacat di seluruh negeri Islam yang membentang dari Cina di timur hingga ke Maroko di barat, dan Rusia di utara hingga ke Samudra Hindia di selatan. Ibnu al-Jauzi juga meriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra. meminta para gubernur itu untuk membawa kepadanya orang-orang miskin dan tidak mampu. Begitu mereka datang, beliau memenuhi semua kebutuhan mereka yang diambil dari Baitul-Mal. Dia kemudian bertanya siapa di antara mereka yang punya hutang dan tidak mampu membayarnya. Ia kemudian membayarkan hutang-hutang mereka secara penuh dengan dana yang diambil dari Baitul-Mal. Lalu dia bertanya siapakah yang ingin menikah tetapi tidak mampu. Lalu ia membayar biaya untuk pernikahan mereka. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di bawah kekuasaan Islam sedemikian baiknya selama masa pemerintahan Khilafah Umar bin Abdul Aziz sehingga negara tidak dapat menemukan orang-orang miskin yang berhak untuk mendapatkan zakat.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa pada masa Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, Negara membangun dan merawat masjid-masjid, membangun jalan, memenuhi kebutuhan rakyat, memberi uang untuk orang-orang cacat dan orang-orang sakit dan memerintahkan mereka untuk tidak mengemis melainkan meminta kepada Negara jika mereka tidak memiliki sesuatu yang mencukupi mereka. Dialah khalifah pertama yang membangun dan melembagakan Bimaristan (rumah sakit). Ia menugaskan seorang pembantu bagi setiap orang cacat, seorang pemandu bagi setiap orang buta, memberikan gaji bagi para imam masjid dan membangun “pemondokan “ bagi para pendatang dari luar dan pelancong dimana pun di wilayah Daulah Islam tersebut.
Selama masa Khilafah Umayah dan Khilafah Abbasiyah, rute para pelancong dari Irak dan negeri-negeri Syam (sekarang Suriah, Yordania, Libanon dan Palestina) ke Hijaz (kawasan Makkah) telah dibangun dengan dilengkapi “pondokan” di sepanjang rute yang dilengkapi dengan persediaan air, makanan dan tempat tinggal sehari-hari untuk mempermudah perjalanan bagi mereka. Sisa-sisa fasilitas ini dapat dilihat pada hari ini di negeri-negeri Syam. Catatan mengenai wakaf untuk beberapa rumah sakit di negeri-negeri Syam membuktikan hal ini. Sebagai contoh, ada catatan tentang wakaf Rumah Sakit An-Nuri di Allepo (Suriah) yang menyebutkan bahwa bagi setiap orang sakit mental ditugaskan dua orang pembantu yang bertanggung jawab yang memandikannya sehari-hari, menggantikan dengan baju yang bersih, dan membantunya melakukan shalat (jika mereka dapat melakukannya) dan mendengarkan al-Quran, dan menemaninya berjalan/berada di udara terbuka untuk bersantai.
Khilafah Usmani melakukan kewajiban ini juga. Hal ini terlihat dalam melayani masyarakat dengan membangun jalan kereta Istanbul-Madina yang dikenal dengan nama “Hijaz” pada masa Sultan Abdul Hamid II untuk memudahkan perjalanan para peziarah ke Makkah serta untuk meningkatkan integrasi ekonomi dan politik di daerah Arab yang jauh. Kaum Muslim kemudian bergegas untuk menyumbang dan menjadi relawan untuk membangun jalur kereta api itu, Khilafah Usmani menawarkan jasa transportasi kepada orang-orang secara gratis.
Ini hanya sebuah gambaran mengenai bagaimana kehidupan masyarakat di bawah kekuasaan Islam dulu pada masa Khilafah. Semoga Allah SWT membantu kita semua bekerja untuk mewujudkannya dan membuat kita bisa menyaksikannya dan menikmati keberadaannya lagi. Amin. [RZ Aulia: www.khilafah.com]
0 comments:
Post a Comment