Banyak aktifis Islam kontemporer yang mengaitkan kelemahan dan kemunduran umat Islam saat ini dengan keruntuhan khilafah Utsmaniyah tahun 1924 M. Dan tentu saja, gerakan zionisme internasional, salibis internasional serta sekulerisme Kamal Pasha dianggap sebagai sutradara dan aktor utama yang paling bertanggung jawab di belakang tragedi sejarah tersebut.
Oleh karena itu, menurut mereka jalan untuk mengembalikan kejayaan Islam adalah dengan menegakkan kembali khilafah Islamiyah. Tidak heran bila akhirnya isu penegakkan khilafah menjadi tema sentral kajian dan wacana pemikiran di banyak kalangan aktifis Islam.
Wacana pemikiran seperti ini sebenarnya tidak seratus persen salah, meskipun juga tidak seratus persen benar. Yang jelas, tegaknya kembali kekhilafahan Islam –terutama dalam kondisi umat Islam seperti saat ini —, tidak akan otomatis membalik nasib umat Islam seratus delapan puluh derajat, dari kemunduran dan keterbelakangan menjadi kejayaan dan kemajuan.
Jauh sebelum daulah ‘Utsmaniyah runtuh pada tahun 1342 H (1924 M), umat Islam telah lama tengelam dalam kubangan lumpur kemunduran. Bahkan saat daulah ‘Utsmaniyah masih tegak dengan kokoh, umat Islam telah mengalamai kemunduran dan keterbelakangan yang parah. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kerusakan dan penyelewengan dari bimbingan syariah Islam, di hampir seluruh aspek kehidupan umat Islam.
Realita Umat Islam Abad XII dan XIII Hijriyah
Perjalanan sejarah umat Islam selama beberapa abad sebelum runtuhnya daulah ‘Utsmaniyah, terutama sekali abad XII dan XIII Hijriyah, diwarnai dengan penyimpangan aspek aqidah dan ilmiah (al-inhirafat al-‘aqdiyah wa al-‘ilmiyyah) yang sangat parah. Secara global, penyimpangan aqidah tersebut bisa disebutkan sebagai berikut [1] :
A. Penyimpangan Akidah
1 – Membatasi konsep ibadah hanya dalam ritual peribadahan (al-sya’a’ir al-ta’abudiyah) yang sempit.
Ibadah hanya dimaknai dalam bentuk sholat, zakat, shaum, haji, membaca Al-Qur’an, dzikir dan seterusnya. Aktivitas-aktivitas ibadah yang berdimensi sosial —amar ma’ruf nahi munkar, jihad fi sabilillah, pendidikan, pertahanan dan militer— atau aktivitas-aktivitas ibadah yang lebih kental nuansa duniawinya —seperti aktivitas ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan penelitian, sosial budaya dan seterusnya — tidak dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep ibadah. Walhasil, pelan namun pasti, secara tidak sadar syarat ikhlas dan mutaba’ah mulai lepas dari sebagian besar aktifitas hidup umat Islam. Pelan dan pasti, kerusakan merembet ke berbagai bidang kehidupan. Fenomena yang telah mewabah ini menimbulkan dampak buruk :
Pertama. Ritual-ritual ibadah dilaksanakan dengan cara taqlid, tidak mempunyai pengaruh dan faedah karena dipisahkan dari ajaran-ajaran Islam yang lain.
Kedua. Kaum muslimin meremehkan aktivitas-aktivitas ibadah yang lain, karena menganggapnya bukan ibadah.
Ketiga. Memusatkan perhatian kepada aspek personal (kesalehan pribadi) dan mengabaikan aspek sosial (kesalehan masyarakat).
Keempat. Membuat ibadah-ibadah yang bid’ah.
Kelima. Ibadah (dalam artian ritual-ritual peribadahan) telah menggantikan kedudukan amal. Ritual membaca Al-Qur’an dan Al-hadits sudah menggantikan posisi mengamalkan isi Al-Qur’an, membaca sejarah ketinggian akhlak salaf sholih sudah menggantikan posisi beramal dengan akhlak yang mulia. Dan seterusnya.[2]
2 – Pemikiran sekte sesat Murjiah menyebar luas di kalangan umat Islam.
Akidah sekte sesat Murjiah dengan seluruh alirannya, telah meracuni umat islam sehingga menghambat kemajuan umat Islam. Secara umum, ketiga aliran Murjiah telah menyerang akidah umat Islam. Ketiga aliran Murjiah[3] tersebut adalah :
Murjiah Fuqaha’ yang menyatakan iman hanyalah keyakinan dalam hati dan ucapan dalam lisan, sedang amal fisik hanyalah pelengkap semata.
Murjiah Jahmiyah (Murji’ah Ghulat) yang menyatakan iman hanyalah meyakini (al-yakin) atau mengetahui (al-ma’rifah) dalam hati. Tanpa perlu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengamalkan amal fisik.
Murjiah Karamiyah yang menyatakan iman hanyalah mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisan, tanpa perlu meyakini dalam hati dan mengamalkan amalan fisik.
Murjiah Jahmiyah yang mengalahkan kedua aliran Murjiah lainnya, sebenarnya mulai redup dan turun pamornya. Sayang, keyakinan sesat mereka lantas diadopsi dan diteruskan oleh sekte sesat Asy’ariyah dan Maturidiyah, yang saat itu menjadi madzhab akidah resmi sebagian besar dunia Islam, bahkan menjadi madzhab resmi daulah ‘Ustmaniyah. Dengan dukungan negara dan dunia pendidikan, akidah sesat ini semakin mencengkeram dunia Islam.
Keyakinan mereka sangat meracuni akidah umat Islam. Mereka meyakini, seorang yang meyakini dalam hati akan keberadaan Allah dan Rasulullah, maka di sisi Allah ia telah menjadi seorang mukmin, sekalipun ia tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Bila ia meyakini dalam hati dan mengucapkan dua kalimat syahadat, sekalipun sama sekali tidak beramal fisik, maka ia seorang mukmin di sisi Allah dan berlaku atasnya hukum-hukum yang berlaku atas seorang muslim di dunia. Demikianlah pernyataan tegas para ulama mereka, seperti imam Abu Manshur al-Baghdadi, Sa’dudien al-Taftazani, al-Dasuqi, Al-Bajuri dan lainnya. Buku-buku mereka diajarkan di seantero sekolah dunia Islam dan dijadikan aqidah resmi negara.
Menyebarluasnya akidah sesat ini menyebabkan mayoritas umat Islam di dunia Islam meyakini hakekat iman adalah meyakini dalam hati, tanpa perlu amalan lisan dan fisik. Menurut keyakinan mereka, itulah ukuran keselamatan di akhirat nanti. Akibatnya ajaran-ajaran Islam tinggal sebuah wacana dalam benak pemikiran dan keyakinan hati mereka, tidak perlu dilaksanakan. Hakekat sholat, zakat, shaum, haji, jihad, amar ma’ruf, menuntut ilmu dan seterusnya adalah meyakini adanya perintah, bukan melaksanakannya. Akibatnya, setiap orang bisa saja berbuat syirik akbar dan kufur akbar tanpa perlu takut akan keluar dari Islam (murtad), karena hatinya masih meyakini adanya Allah Ta’ala. Walhasil, berbagai syirik akbar dan kufur akbar, loyalitas kepada orang-orang kafir dan pembatal-pembatal Islam lainnya diterjang begitu saja, dengan hati yang tenang karena masih meyakini dirinya sebagai seorang muslim di sisi Allah Ta’ala !!!!!
[3]- Lemahnya akidah al-wala’ dan al-bara’.
Al-wala’ dan al-bara’ merupakan kewajiban paling penting, setelah kewajiban tauhid dan haramnya syirik. Namun akidah ini mulai memudar dari aqidah umat Islam, terutama sekali dari aqidah para penguasa umat Islam saat itu.
Sultan Mahmud II (1808-1839 M) merupakan sultan daulah Utsmaniyah yang pertama kali mengadakan gerakan “reformasi” yang berintikan menghapus aqidah wala’ dan bara’ dari aqidah umat Islam. Ia menjadikan budaya Eropa sebagai standar kemajuan, dan berusaha keras menggiring umat Islam untuk berkiblat kepada budaya Barat. Mulai masa pemerintahannya, semua warga negara baik muslim, Nasrani maupun Yahudi mempunyai hak yang sama di hadapan hukum selama taat kepada sultan. Pada masa itu, orang-orang Nasrani mempunyai kebebasan yang luar biasa luasnya. Sekolah-sekolah Yunani, Armenia dan Katolik bertebaran di semua kawasan dunia Islam dengan perlindungan dan dorongan dari sultan. Berbagai identitas yang selama ini diatur Islam untuk orang-orang ahlu dzimah dihapuskan oleh sultan, sebaliknya tentara diperintahkan untuk berpakaian ala tentara salib Eropa. Sultan juga mendatangkan para pelatih militer Rusia untuk melatih tentara Utsmani. Akibatnya banyak rahasia militer bocor ke tangan Rusia dan Turki Utsmani mengalamai banyak kekalahan perang melawan Rusia.[4]
Pada masa pemerintahan Ibrahim Bek dan Murad Bek dari daulah mamalik, orang-orang nasrani mendapat kedudukan yang mulia di bidang militer. Mereka menjabat berbagai posisi penting. Kelak, ketika Perancis masuk ke Mesir tahun 1213 H, orang-orang nasrani inilah yang akan menghinakan dan membantai umat Islam.
Pada masa Mesir dibawah daulah ‘Utsmaniyah, gubernur Muhammad Ali Basya (memerintah selama 45 tahun), orang-orang nasrani kembali menempati posisi-posisi strategis di bidang pemerintahan. Sebagian besar pejabat negara adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Gubernur memang seorang yang kebarat-baratan dan bangga dengan peradaban Eropa. Ia rapat dan lemah lembut dengan orang-orang Barat, namun keras dan bengis terhadap umat Islam. Pada masa itu, orang-orang Islam terkena pajak 10 % namun orang-orang kafir justru hanya 2,5 %. Gubernur membuka Mesir seluas-luasnya kepada pendatang kafir Eropa, juga penelitian seluas-luasnya bagi peneliti Inggris. Lewat penelitian mendalam terhadap seluruh kondisi Mesir, dengan mudah Inggris bisa menduduki Mesir pada tahun 1882 M.
Tentara daulah ‘Utsmaniyah di Mesir pada gubernur Muhammad Ali Basya adalah angkatan perang modern yang terlatih bentukan Perancis. Perancis mendidik angkatan perang daulah ‘Utsmaniyah ini dengan tujuan memperalat gubernur dan pasukannya untuk memerangi Islam. Dengan pasukan yang dipimpin oleh jendral Perancis bernama Sulaiman, Muhammad ‘Ali Basya memberontak dan menyatakan merdeka dari daulah Utsmaniyah. Inggris turut campur dengan pura-pura membela daulah Utsmaniyah, namun sebenarnya mendukung Muhammad ‘Ali Basya untuk merdeka. Akhirnya Muhammad ‘Ali Basya di atas kertas tetap mengakui daulah Utsmaniyah, namun sebenarnya telah lepas dari Turki Utsmani. Keterlibatan Inggris ini sekedar politik belaka, agar niat jahat Muhammad ‘Ali Basya tetap terlaksana dan di sisi lain Inggris mempunyai pengaruh di Mesir seperti Perancis. Inggris menjamin kekuasaan Mesir akan turun temurun di tangan keluarga Muhammad ‘Ali Basya. Meski begitu, Muhammad ‘Ali tetap dikeroyok oleh negara-negara salib Eropa ketika menyerang Yunani. Kelak, tentara Muhammad Ali Basya inilah yang memerangi sampai ke akar-akarnya gerakan dakwah salafiyah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau. Muhammad ‘Ali Basya menumpas gerakan dakwah salafiyah ini dengan kedok mentaati sultan Turki Utsmani, padahal sebenarnya demi merealisasikan kepentingan Inggris dan Perancis.
Untuk program sekulerisasi dan westernisasi, Muhammad ‘Ali Basya menempuh dua hal :
- Mengirim para mahasiswa muslim belajar di Barat. Pada tahun 1842 M, mahasiswa yang dikirim ke Barat sudah mencapai jumlah 100 orang. Pada masa Khudaiwi Ismail, kedua anaknya Abbas Hilmi (12 tahun) dan Muhammad ‘Ali (10 tahun) sudah dikirim ke Swis. Sejak saat itu, anak-anak di bawah umur sudah mulai dikirim ke Barat.
- Menerapkan pendidikan Barat di Mesir dengan memakai kurikulum Barat dan meminggirkan peranan Al Azhar.
Para penggantinya, seperti Sa’id Basya mendukung dan membiayai gerakan kristenisasi sepenuhnya. Pada tahun 1859 M, ia memberi bantuan 30.000 frank kepada gerakan kristenisasi. Sekolah-sekolah Yahudi dan Nasrani mulai tumbuh bertaburan di seantero Mesir dengan dukungan pemerintah. Sekolah Yahudi pertama kali berdiri pada masa Muhammad ‘Ali Basya, sekolah Nasrani berdiri pada masa Khudaiwi Ismail, sekolah Yunani berdiri pada tahun 1847 dan sekolah Italia berdiri pada tahun 1860 M. Pada masa Khudaiwi, tepatnya 1869 M, seluruh agama yang ada telah mempunyai sekolah gratis. Pada tahun 1875 M, jumlah sekolah asing (non Islam) telah mencapai 93 buah dengan 8916 murid, sementara sekolah negeri hanya 36 buah dengan jumlah murid 4878 anak. Pada tahun 1887 M, jumlah sekolah negeri sebanyak 40 buah dengan murid sebanyak 5500 anak, sementara sekolah asing sebanyak 191 buah dengan murid sebanyak 22764 anak.[5]
Inilah cikap bakal sekulerisme, westernisasi dan liberalisme yang saat ini mencengkeram dunia Islam. Jelas, akidah wala’ dan bara’ telah jauh ditinggalkan oleh para penguasa negeri-negeri Islam, bahkan saat daulah ‘Utmaniyah masih berdiri. Sebagiannya bahkan dipelopori oleh para penguasa daulah ‘Utsmaniyah.
[4]- Asingnya umat Islam dari aqidah shahihah. Bahkan, aqidah shahihah diperangi.
Secara umum, dunia Islam saat itu telah terasing dari aqidah shahihah. Berbagai kesyirikan dan kekufuran melanda dan merajalela. Ketika sebagian umat Islam mendakwahkan aqidah yang benar, permusuhan dari daulah ‘Utsmaniyah dan umat Islam sangat keras. Dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah satu contoh nyata atas hal ini.
Ketika gerakan dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merebut Makkah dan Madinah dari penguasa sebelumnya yang melindungi berbagai kesyirikan, bid’ah dan khurafat merajalela, maka orang-orang sufi dan para pengikut kesyirikan memendam kemarahan, kebencian dan dendam yang mendalam. Mereka menyiarkan berita-berita bohong tentang dakwah beliau, antara lain gerakan ini menghalangi ummat Islam untuk menunaikan ibadah haji. Mereka juga menghalangi mengalirnya dana bantuan umat Islam seluruh dunia untuk kemakmuran kedua masjid suci, sehingga terjadi krisis ekonomi di kedua kota suci. Lebih jauh mereka menyiapkan tentara untuk memerangi gerakan ini.
Daulah ‘Utsmaniyah yang berada dibawah kendali kaum shufi berhasil menghasut sultan untuk memerangi gerakan ini. Berdasar fatwa para ulama saat itu, sultan menganggap gerakan dakwah ini sebagai gerakan kafir dan khawarij yang harus diperangi.
Pada tanggal 19 Shafar 1223 H, gubernur Syam Kanj Yusuf mengirim surat kepada gubernur Mesir Muhammad ‘Ali Basya mendorongnya untuk segera melaksanakan perintah sultan Daulah ‘Utsmaniyah. Menurut pakar sejarah Mesir imam Abdurahman al-Jibrati, ketika pada akhir Jumadil Tsaniyah 1228 H pasukan Mesir berhasil mengalahkan gerakan dakwah dan menguasai kembali dua kota suci, maka sultan Daulah ‘Utsmaniyah masa itu yaitu sultan Mahmud Khan bin sultan Abdul Hamid Khan bin sultan Ahmad Khan al-Maghazi mendapat gelar yang diakui oleh segenap umat Islam “Khadimu al-Haramain al-Syarifain” atas keberhasilannya mengusir gerakan khawarij dan kafir ini.
Dengan bantuan Inggris dan Perancis, Muhammad ‘Ali Basya terus menerus mendesak gerakan dakwah salafiyah ini. Para ulama di Al-Azhar Mesir diperintahkan untuk membaca shahih Bukhari demi kemenangan pasukan Mesir yang dipimpin oleh Ibrahim Basya. Setelah kemenangan diraih, mereka mengadakan pesta besar-besaran. Kota Kairo dihias selama tujuh hari (27 Dzulhijah 1228 H – 4 Muharram 1229 H), sebanyak 110 meriam dikeluarkan di muka umum, pada setiap jamnya ditembakkan tak kurang dari 80.000 peluru. Ini belum terhitung tembakan senapan ringan. Masyarakat tenggelam dalam pesta dan begadang siang malam.Yang lebih mengherankan lagi, para ulama dan fuqaha’ ikut meramaikan seluruh pesta ini bersama para pejabat Mesir.
Dalam peperangan menghadapi dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ini, sultan ‘Utsmaniyah telah bekerja sama dengan Napoleon Bonaparte. Dalam perang ini, daulah ‘Utsmaniyah telah melakukan sejumlah kekejian, antara lain :
- Setiap prajurit yang membunuh pengikut syaikh Muhammad akan mendapat bonus, dengan syarat membawa bukti telinga si korban. Maka pasukan ‘Utsmaniyah memotong telinga para syuhada’ pengikut syaikh Muhammad di kota Madinah, Qunfudzah, Qashim, Dharma dan lain-lain.
- Menghancurkan kota dan desa, dan bahkan membakar masjid-masjid.
- Menawan kaum wanita dan anak-anaka pengikut dakwah syaikh Muhammad, dan menjual mereka sebagai budak. Ini terjadi pada bulan Shaafar 1235 H, pasca perang.
Pada bulan Desember 1234 H (1818 M), imam Abdullah bin Su’ud, imam terakhir dari pengikut dakwah syaikh Muhammad digiring sebagai tawanan bersama dua orang tangan kanan beliau. Mereka diborgol, dibawa ke Istambul lewat Kairo. Kepala mereka dipenggal, dipertontonkan di hadapan rakyat dan setelah tiga hari dilemparkan ke laut. Sultan ‘Utsmani merayakan kemenangan ini dengan sholat syukur dan sejak saat itu ia digelari “Khadimu al-Haramain” (pelayan dua kota suci).
Penumpasan terhadap gerakan dakwah salafiyah ini adalah buah dari akidah yang menyeleweng yang dianut oleh sebagian besar sultan dan umat Islam saat itu. Perang ini juga bukan timbul karena kesalahpahaman. Perang ini murni perang antara penganut tradisi kesyirikan sufi-Murjiah dengan pengikut dakwah salafiyah. Perang ini didahului oleh fatwa dan rekomendasi para ulama masa itu yang mengkafirkan dakwah salafiyah. Tercatat di antara para ulama besar yang ikut mengkafirkan gerakan dakwah ini adalah imam Ibnu Abidin Al Hanafi, pengarang Ar Raddul Mukhtar (Hasyiyah Ibnu Abidin). Ulama lain yang paling getol memerangi gerakan ini dan menyebarkan berita-berita bohong tentang gerakan ini ke seluruh dunia adalah mufti Makkah, syaikh Ahmad Zaini Dahlan (wafat 1304 H).
Pada saat itu, orang-orang yang menampakkan tauhid dan memusuhi syirik, bid’ah dan shufi akan mendapat perlawanan keras seluruh masyarakat dan negaa dengan tuduhan menjadi pengikut Wahhabi. Di mana-mana para ulama yang mendakwahkan dakwah salafiyah ini diperangi. Pada masa berkuasanya Syarif Husain bin ‘Ali di Makkah, syaikh Abu Bakar bin Muhammad Khauqir seorang mufti madzhab Hambali (wafat 1349 H) dipenjara selama 18 bulan dan dilepas kemudian dipenjara lagi selama tujuh puluh bulan (7 tahun tiga bulan) dikarenakan beraqidah salaf dan mengingkari para penyembah kuburan.
Di Qazan, Rusia seorang ulama besar Syaikh Abdu Nashir Abu Nashr bin Ibrahim al-Qaurashawi (wafat 1227 H) menyebarkan aqidah salaf dan terang-terangan mengingkari perbuatan syirik dan bid’ah. Ketika pada tahun 1223 H ia berdakwah di Bukhara, seluruh ulama Bukhara menentang dan mengkafirkannya. Ia dihadapkan kepada gubernur Bukhara, Haidar bin Ma’shum al-Bukhari. Terjadi debat terbuka, sampai akhirnya syaikh Abdu Nashir harus berpura-pura meninggalkan aqidah salaf karena ancaman gubernur untuk membunuhnya. Meski sudah demikian, gubernur tetap menyesal karena tidak membunuhnya.
Di India, gerakan dakwah salaf ini mendapat tantangan hebat. Syaikh Ahmad Ridha al-Brilwi dalam bukunya Al-Kawakib al-Syihabiyah fi Kufriyati Abi Wahabiyah” mengatakan,” Sesungguhnya kelompok Wahhabi telah jelas kekafiran mereka berdasar ribuan alasan.” Ia juga menulis ,” Sesungghnya orang-orang Wahhabi lebih buruk dan lebih berbahaya dari orang-orang yang kafir asli yaitu orang-orang Yahudi, penyembah berhala dan lain-lain.”[6] Di Indonesia sendiri, para pengikut tradisi kesyirikan ini memerangi para pengikut dakwah salafiyah dalam perang besar yang dikenal dengan nama “Perang Paderi”, sebuah penamaan yang bermakna pelecehan dari penjajah salibis Belanda.
[5]- Filsafat dan ilmu kalam mewarnai buku-buku akidah karya para ulama.
Hal ini dimulai dengan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani dan Romawi kuno pada masa pemerintahan khalifah al-Ma’mun (wafat 218 H), pada masa daulah ‘Abbasiyah. Khalifah al-ma’mun sendiri yang secara langsung menjadi pembina dan penanggung jawab penerjemahan secara resmi dan besar-besaran buku-buku filsafat ini. Menurut penelitian ustad Abu Hasan Ali al-Nadawi, penerjemahan ini terus berlangsung sampai sekitar abad IV Hijriyah. Pada masa itu, pembelajaran filsafat Yunani kuno sangat digalakkan oleh negara. Herannya, gerakan penerjemahan ini dilakukan oleh para pekerja beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi yang menguasai bahasa Yunani kuno. Awalnya, gerakan ini mendapat tantangan dan penolakan keras para ulama ahlu sunah. Namun perlahan dan pasti, pada abad VIII Hijriyah, filsafat Yunani telah menguasia akal sebagian besar ulama dan umat Islam saat itu.
Meski beberapa ulama besar, seperti imam Ibnu Shalah dan Ibnu Taimiyah telah berjuang keras membantah filsafat Yunani dan membersihkan akidah umat, namun buku-buku filsafat Yunani dan ilmu kalam telah terlanjur begitu dalam merasuki buku-buku akidah umat, yang mayoritas dikarang para ulama Asya’ariyah dan Maturidiyah. Mereka tetap bersemangat mengajarkan buku-buku akidah yang bercampur baur dengan filsafat tersebut. Tidak saja mengajarkannya, mereka juga mengarang buku-buku yang berfungsi memberi syarah, hasyiyah dan ikhtishar. Di antara tokoh-tokohnya yang terkenal adalah imam al-Dardir al-Maliki (wafat 1201 H), syaikh ulama Malikiyah di al-Azhar, Mesir ; imam al-Shaban (wafat 1206 H), ulama al-Azhar yang sejawat dengan imam al-Dardir ; imam Muhammad bin Muhammad bin Abdu al-Qadir al-Maliki al-Azhari, imam Sa’dudien al-Taftazani, imam al-Habib bin ‘Ali al-Buslimani al-Susi al-Maghribi (wafat 1352 H), syaikh Habibu al-rahman al-Hindi, syaikh Muhammad al-Sanusi, syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Tadili (wafat 1311 H). Demikianlah, pemaparan akidah yang telah bercampur baur dengan filsafat dan ilmu mantiq ini menjadi tradisi pembelajaran aqidah di seantero dunia Islam, termasuk di al-Azhar.
[6]- Merajalelanya bentuk-bentuk kesyirikan, bid’ah dan khurafat.
Semua pakar sejarah telah menyebutkan, berbagai bentuk kesyirikan merajalela di dunia Islam. Diantaranya yang paling menonjol adalah :
Pertama. Membangun masjid dan kubah-kubah di atas kuburan.
Kedua. Menyembelih dan bernadzar untuk makam para wali dan ulama.
Ketiga. Istighatsah dan isti’anah memohon terkabulnya hajat kepada makam para wali dan ulama.
Keempat. Berdoa dan memohon kesembuhan kepada makam para wali dan ulama.
Kelima. Syirik akbar melalui pujian-pujian dan shalawat-shalawat syirik kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Keenam. Sikap al-Ghuluw kepada ahlu bait dan beberapa orang khusus.
Kebid’ahan dan khurafat juga menyebar luas di seantero dunia Islam. Banyak para pembohong yang menipu kaum awam umat Islam, dengan menyatakan keberkatan hal-hal yang mereka miliki. Seorang penjaga kubah-kubah makam di masjid Kairo, menipu kaum muslimin dengan menyatakan bahwa mata air sumur di masjid tersebut tembus dan bersumber dari mata air zamzam di Makkah. Khurafat-khurafat serupa juga terjadi di negeri-negeri lain.
[7]- Shufi dan Tarekat Merajai Dunia Islam.
Menurut syaikhu al-Islam Ibnu Taimiyah, bid’ah tasawuf dan tarekat mulai muncul pertama kali di kota Bashrah. Orang yang pertama kali membangun bangunan khusus untuk peribadahan sufi adalah murid-murid Abdul Wahid bin Zaid. Abdul wahid bin Zaid adalah murid imam Hasan al-Bashri.[1] Semula, gerakan ini hanyalah ajakan untuk zuhud dan tidak tenggelam dalam kenikmatan duniawi. Namun, pelan dan pasti, terjadi penyimpangan yang sangat jauh dari syariat Islam sampai tingkatan sufi dan tarekat yang hari ini ada di dunia Islam.
Di tengah kehidupan duniawi yang corat marut, kedzaliman para penguasa dan ketidak pedulian para ulama aqidah dan fiqih yang tenggelam dalam dunia filsafat dan ilmu kalam daripada menjawab beban umat yang terdzalimi, tidak heran bila tasawud dan tarekat menjadi pelarian mayoritas umat Islam.
Ustadz Muhammad Qutb dalam bukunya “Waqi’una al-Mu’ashir” mengatakan :
“ Shufi mulai menyebar dalam masyarakat daulah ‘Abbasiyah, namun saat itu masih merupakan sebuah unsur yang terpisah dari masyarakat. Adapun dalam naungan daulah ‘Utsmaniyah, dan lebih lagi di Turki, shufi telah menjadi masyarakat, dan bahkan telah menjadi dien (agama).”
“ Dan telah menyebar —khususnya dalam dua abad terakhir— semboyan yang sangat terkenal tersebut ; barang siapa tidak mempunyai syaikh, maka syaikhnya adalah setan. Sufi telah berubah —khususnya bagi kaum awwam— mejadi pintu masuk mereka ke dalam agama, dan bagi mereka sufi adalah ruang untuk melaksanakan ketaatan beragama.”[2]
Apa yang dikatakan oleh ustadz Muhammad Qutub, diamini oleh para pakar sejarah. Sejak awal berdiri sampai kejatuhannya, daulah ‘Utsmaniyah mempunyai peran aktif dalam menyebarkan kesyirikan dan memerangi tauhid, lewat penyebaran tasawuf syirik yang dibangun di atas dasar beribadah kepada kuburan dan para wali. Hal ini diakui sendiri oleh para pakar sejarah yang membela dan memuji daulah ini. Abdu al-Aziz al-Syanawi dalam bukunya “Al-Daulah al-‘Utsmaniyyah Daulatun Islamiyyatun Muftara ‘Alaiha” dengan bangga memuji sikap religius daulah ‘Utsmaniyah yang menyebarluaskan tasawuf syirik ini. Demikian luas dan kuatnya pengaruh tasawuf syirik ini, sehingga menguasai akidah umat Islam di Asia Tengah dan mayoritas negara-negara muslim dibawah kekuasaan ‘Utsmaniyah. Di antara thariqat shufi yang paling terkenal saat itu adalah Naqsyabandiyah, Maulawiyah,Baktasyiyah dan Rifa’iyah.
Apa yang disebutkan oleh dua pakar sejarah diatas, juga disebutkan oleh para ulama lain, misalnya Dr. Abdurahman bin Abdul Khaliq dalam al-Fikru al-Shufi Fi Dhaui al-Kitab wa al-Sunah, Dr. Mani’ al-Juhani dalam al-Musu’ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzahib al-Mu’ashirah, imam Su’ud bin Abdul Aziz (wafat 1229 H) dalam al-Duraru al-Sanniyah fi al-Ajwibah al-Najdiyah dan syaikh Husain bin Ghanam rahimahullah dalam Raudhatu al-Afkar.
Apa yang ditulis oleh para ulama dan pakar sejarah Islam ini bukanlah sebuah fitnahan dan berita bohong. Mari kita simak sekilas sejarah para sultan daulah ‘Utsmaniyah sejak awal.
- Sultan Urkhan I bin Utsman I (wafat 761 H), adalah sultan kedua setelah pendiri Daulah ‘Utsmaniyah, sultan Utsman I (wafat 726 H). Sultan Urkhan I memerintah selama 35 tahun, ia seorang penganut thariqat Paktasyiyah. Thariqat ini merupakan thariqat Syi’ah Bathiniyah yang didirikan oleh Khankar Muhammad Baktasy al-Khurasani, disebarkan di Turki tahun 761 H. Thariqat ini merupakan perpaduan antara aqidah wihdatul wujud (manungaling kawula gusti), beribadah kepada para masyayikh thariqat dan penuhanan mereka serta aqidah agama Rafidzah tentang para imam. Thariqat ini juga melakukan sikap ghuluw (berlebihan, ekstrim) dalam memuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam yang mengeluarkan mereka dari Islam. Wirid-wirid mereka berdasar aqidah Rafidzah Itsna ‘Asyariyah, dan sangat ekstrim dalam ziarah-ziarah kubur. Sultan ini telah membantu kaisar Romawi Timur dalam menghadapi raja Serbia, dengan janji akan dinikahkan dengan putri kaisar Romawi Timur.[3]
- Sultan Muhammad II Al-Fatih (wafat 886 H), memerintah selama 31 tahun. Setelah menaklukkan Konstantinopel pada tahun 857 H, ia menyingkap kuburan shahabat Abu Ayub Al-Anshari, membangun kubah di atasnya dan membangun masjid indah disampingnya. Sudah menjadi tradisi para sultan ‘Utsmaniyah, bila akan terjadi pergantian kekuasaan, sultan yang baru masuk ke kubah itu dan menerima pedang kebesaran sultan Utsman I (pendiri daulah) dari syaikh Thariqat Maulawiyah.
- Sultan Sulaiman Al-Qanuni (wafat 974 H), termasuk sultan paling terkenal dari daulah Utsmaniyah, memerintah selama 46 tahun. Ketika ia masuk kota Baghdad, ia membangun kubah di atas kuburan imam Abu Hanifah, menziarahi kota-kota suci Rafidzah (Najf dan Karbala’) serta membangun bangunan kuburan-kuburan yang telah dihancurkan di dua kota itu. Ia digelari al-Qanuni (bapak undang-undang modern) karena sultan yang pertama kali mengimpor undang-undang Eropa untuk diterapkan dalam pengadilan-pengadilan di dunia Islam.
- Sultan Salim Khan III (wafat 1223 H). Ketika gerakan syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan imam Su’ud bin Abdul Aziz menaklukkan Madinah pada tahun 1222 H, dalam makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ditemukan surat sultan Salim Khan III yang beristighatsah (meminta tolong agar dijauhkan dari musibah) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam.
- Sultan Abdul Hamid II (wafat 1327 H). Beliau seorang pengikut fanatik thariqat Syadzaliyah. Ketika dilengserkan oleh konspirasi zionis-salibis internasional pada tahun 1908 M, dan diasingkan, ia mengirim surat kepada syaikh thariqat Syadzaliyah, syaikh Mahmud Afandi Abu Syamat menerangkan beliau masih tetap konsisten membaca wirid-wirid Syadzaliyah siang dan malam. Thariqat Syadzaliyah adalah thariqat sufi quburiyah yang melakukan kesyirikan-kesyirikan kubur yang sudah sangat terkenal.[4]
Dahsyatnya pengaruh sufi di masa daulah ‘Utsmaniyah telah mempunyai peran besar dalam mematikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu kauni. Permusuhan para ulama sufi masa tersebut terhadap ilmu pengetahuan sudah sangat terkenal. Di masa daulah ‘Utsmaniyah, ulama-ulama besar semisal syaikh Muhammad al-Idimawi al-Halabi al-Syafi’i, syaikh Abdu al-Hamid al-Alusi (wafat 1324 H), Sayid Umar bin Abdullah al-Saqaf (wafat 1305 H), al-Haj ‘Ali al-Barqawi al-Maghribi, syaikh Khalid Abu al-Baha’ Dhiyaudien al-Naqsyabandi (wafat 1242 H) dan diikuti oleh sebagian besar ulama meninggalkan tugas pengkajian, dakwah dan fatwa. Mereka sibuk berusaha meraih ilmu haqiqat, dan meninggalkan ilmu syariah. Tak heran bila kebodohan terhadap ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan menjadi pemandangan seantero dunia Islam.[5]
Musibah ini semakin parah, dengan keaktifan para syaikh sufi masa itu dalam mengkaji dan mengajarkan karya para zindiq. Karya-karya tokoh sufi zindiq yang telah dikafirkan oleh 37 ulama pada zamannya — yaitu Muhyidin Ibnu ‘Arabi dengan karyanya Al-Futuhat al-Makkiyah dan Fusushu al-Hikam— diajarkan oleh para ulama besar semisal syaikh al-Thayib bin Muhammad al-Mubarak al-Jazairi al-Maliki, syaikh Abdu al-Qadir al-Jazairi, syaikh Hasan bin Ibrahim al-Lucknawi (wafat 1241 H), syaikh Ali Akbar al-Faidh Abadi (wafat 1210 H), syaikh Ibnu ‘Ajibah al-Hasani al-Maghribi (wafat 1224 H), imam al-Dardir al-Maliki (wafat 1201 H), dan syaikh Ali bin Ahmad al-Yusrathi al-Syadzili (wafat 1316 H). Banyak diantara ulama besar tersebut yang belajar langsung kepada Ibnu ‘Arabi dan al-Hallaj.[6]
[8]- Pergerakan sekte-sekte sesat dalam memerangi Islam semakin meningkat
Pada masa penjajahan salibis Barat terhadap dunia Islam ini, berbagai sekte sesat yang telah mencatat sejarah permusuhan panjang terhadap Islam, seperti Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, Druz, Nushairiyah dan Ismailiyah, mulai menunjukkan kembali taring-taring permusuhannya kepada kaum muslimin. Dalam abad XII dan XIII Hijriyah ini lahir pula dua sekte sesat yang telah keluar dari Islam, yaitu Qadiyaniyah dan Bahaiyah. Mereka bahu membahu dengan penjajah salibis Barat untuk menohok umat Islam. Selain menyesatkan banyak kaum awam umat Islam, mereka juga berperan besar merintangi perjuangan jihad umat Islam melawan penjajah salibis Barat.
Kelompok Ismailiyah —dikenal juga dengan nama Bathiniyah, Syi’ah atau ‘Ubaidiyah— telah melakukan serangkaian kekacauan dan serangan di Yaman. Mereka mampu menegakkan kerajaan Ismailiyah yang bertahan sampai tiga puluh tahun. Kesesatan mereka baru berhasil dilenyapkan setelah kerajaan mereka ditaklukkan oleh gubernur daulah ‘Utsmaniyah, Ahmad Mukhtar pada tahun 1289 H. Di Syam, kelompok Ismailiyah bersama penjajah Perancis memetahkan jihad umat Islam. Di Iran, dengan dukungan Inggris, kelompok Ismailiyah dipimpin Hasan Ali Syah mengadakan revolusi pada tahun 1840 M. Revolusi ini gagal, ia diselamatkan Inggris dan dibawa ke Afghanistan, namun ia ditolak olek bangsa Afghan. Inggris membawanya ke India, emnggelarinya Agha Khan dan menganggatnya sebagai pemimpin kelompok Ismailiyah Nizariyah. Ia menjadi imam bagi seluruh pengikut Ismailiyah di India.
Kelompok Nushairiyah dan Druz juga beberapa kali mengadakan kekacauan dan pemberontakan di Syam yang mengakibatkan terbunuhnya umat Islam. Di antaranya adalah pemberontakan Nushairiyah tahun 1834 M, di mana mereka menduduki kota al-Ladzikiyah dan membantai penduduknya. Atas jasa besar mereka membantu penjajah Perancis menduduki Syam, pada tahun 1920 Perancis mendirikan sebuah negara « daulah al-‘Alawiyah » untuk mereka. Salah seorang pemimpin kelompok Nushairiyah yang bernama Sulaiman al-Mursyid, bahkan mengaku sebagai Tuhan, dan Perancis mengangkatnya sebagai kepala negara daulah ‘Alawiyah dengan gelar Raisu al-Sya’b al-‘Alawi al-Haidari al-Ghasani. Pemimpin Nushairiyah lainnya, syaikh Shalih al-‘Ali terlibat langsung dalam menjatuhkan daulah ‘Utsmaniyah, dengan menutup jalanyang menghubungkan Tharsus dengan Himah, sehingga tentara bantuan daulah ‘Utsmaniyah tidak bisa sampai.
Kelompok Duz tidak kalah jahatnya. Ketika gubernur Mesir, Muhammad Ali Basya memberontak dari kekuasaan daulah ‘Utsmaniyah dan merebut Syam, kelompok Druz berperan besar mendukung dan membantunya. Mereka juga mendirikan negara di pegunungan Hauran, setelah mengusir dan membantai umat Islam dan kaum Nasrani yang tinggal di daerah tersebut. Pembantaian-pembantaian mereka terus berlanjut. Pada tahun 1298 H, mereka mengadakan pembantaian umat Islam di kampung Kurk dan Ummu Walad. Usaha-usaha daulah ‘Utsmaniyah untuk memberantas gerakan ini gagal, akibat pembelaan Inggris kepada kelompok ini. Pada tahun 1799 M, Pasukan kelompok Druz melempangkan jalan bagi penjajah Napoleon Bonaparte untuk menjajah Syam. Sebagai imbalannya, Perancis menghadiahkan negara Druz dengan pusat pemerintahan di kota Beirut. Selama masa jihad 25/7/1920 M sampai 17/4/1946 M, Druz tetap setia membela penjajah Perancis. Sebagai imbalannya, pada tanggal 24 Oktober 1922 M, Pertancis menegakkan negara Duz di gunung Hauran dengan nama « Daulatu Jabali al-druz al-Mustaqilah ».
Adapun kelompok Syi’ah Rafidzah, antara mereka «(daulah Shafawiyah Iran) dengan daulah ‘Utsmaniyah terjadi peperangan yang sangat panjang dan lama. Di antaranya adalah serangan dahsyat tentara Shafawiyah ke Iraq tahun 1235 H / 1820 M. Hampir saja Baghdad yang saat itu berada di bawah kekuasaan daulah ‘Utsmaniyah, jatuh ke tangan tentara Rafidzah. Allah Ta’ala takdirkan mereka ditimpa penyakit kolera, akhirnya terjadi perjanjian gencatan senjata. Di India, kaum Rafidzah bahu membahu dengan kaum Hindu, Sikh, Qadiyaniyah, Bahaiyah dan Inggris dalam memerangi umat Islam. Di Yaman, kelompok Syi’ah Zaidiyah mempunyai daulah Zaidiyah yang terus menerus menekan, mendzalimi dan memburu ahlu sunah. Mereka juga melakukan penyerangan dan pembantaian terhadap ahlu sunah di banyak kota di Iraq.
Kelompok Bahaiyah didirikan oleh Al-Baha’ Husain bin Ali Nuri Mirza (wafat 1309 H). Ia mengaku sebagai imam al-Mahdi, kemudian sebagai nabi dan akhirnya mengaku sebagai Tuhan. Gerakan ini muncul pada tahun 1260 H / 1844 M dibawah asuhan penjajah Rusia dengan tujuan merusak akidah umat Islam. Kelompok ini menyebarluaskan pemikirannya di Iran dan negara-negara dibawah kekuasaan daulah ‘Utsmaniyah. Sayangnya, daulah ‘Utsmaniyah tidak menaruh perhatian terhadap kelompok sesat ini. Justru daulah Rafidzah Iran-lah yang membunuh Al-Baha’ dan memenjarakan para pengikutnya.[7]
Kelompok Qadiyaniyah adalah gerakan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani (wafat 1326 H) di propinsi Punjab, India. Gerakan yang diasuh dan didukung oleh penjajah Inggris ini juga bertujuan merusak akidah umat dan menguatkan sendi-sendi penjajahan Inggris.
Demikianlah, berbagai kelompok sesat semakin giat menyebarkan kesesatannya dan menimbulkan kerusakan di tengah umat, serta terus-menerus melakukan konspirasi dengan musuh-musuh Islam untuk menghantam umat Islam dari belakang.
[9]- Sikap Pasif Para Ulama
Buruknya kondisi umat Islam di berbagai bidang kehidupan, semakin keruh dengan sikap pasif ulama. Ulama yang seharusnya melanjutkan tugas para Nabi dalam memimpin dan membimbing kehidupan umat, justru tenggelam dalam dunia tasawuf, menjauh dari kehidupan politik (baca : masyarakat), dan secara tidak sadar telah memasarkan sekulerisme dalam kehidupan umat.
Adalah syaikhu al-Azhar, imam al-Syarqawi, bersimpuh di hadapan syaikh tareqat Sayid al-Badawi. Bila rektor sebuah universitas Islam tertua yang menjadi standar ilmu pengetahuan Islam telah tenggelam dalam dunia sufi, terlebih lagi dengan para ulama di seluruh penjuru dunia Islam lainnya. Syaikh Muhammad al-Sanusi (wafat 1318 H) dalam suratnya kepada penguasa Tunisia juga mengungkapkan bahwa para ulama tidak tahu menahu tentang politik, dan akan menjauhi politik. Dalam wawancara dengan koran al-Jawaeb al-Mishriyah edisi 7 Muharram 1323 H, rektor al-Azhar syaikh Abdurahman al-Syarbini (wafat 1326 H) menegaskan bahwa tugas Al-Azhar hanyalah menjaga ilmu-ilmu agama, tidak lebih dari itu. Adapun urusan-urusan dunia dan ilmu pengetahuan modern, maka sama sekali dan tidak sewajarnya dihubung-hubungkankan dengan Al-Azhar.
Para ulama menyatakan mereka harus menjauhkan diri mereka dari dunia politik dan urusan kenegaraan. Mereka juga mencela habis-habisan para ulama yang membaca koran dan majalah. Namun yang mengherankan, mereka justru menjadi stempel bagi kekuasaan para penguasa saat itu. Para ulama yang menjauhkan dirid ari dunia politik ini, pada hakekatnya telah melegitimasi para penguasa —baik penguasa shalih maupun durjana— untuk melakukan tindakan apapun untuk mengatur negara, meskipun dengan hukum sekuler Barat. Inilah yang mendorong para ulama yang sadar pada masa itu, seperti syaikh Musthafa Shabri, untuk mengkritik sikap para ulama yang tidak mau tahu dengan kehidupan umat Islam.
Di satu sisi, para ulama cuek dengan urusan negara, namun di sisi lain mereka menjadi alat, mesin fatwa dan antek negara yang mulai berjalan di atas rel sekulerisme. Mereka hidup dalam istana-istana megah, rumah-rumah mewah dengan fasilitas kelas atas, lengkap dengan para pengawal dan pelayan. Mereka tenggelam dalam gemerlapnya fasilitas hidup duniawi, sebagaiimbalan dari legitimasi yang mereka berikan kepada para penguasa durjana masa itu. Dari ribuan ulama yang ada, untuk menemukan seorang di antara mereka yang hidup sederhana dan zuhud, adalah sangat susah. Pakar sejarah Mesir terkenal, imam Abdurahman al-Jibrati, menyebutkan bahwa syaikh Ahmad bin Salamah al-Syafi’i (wafat 1215 H) hampir tidak dikenal sebagai seorang ulama, karena kesederhanaannya dan penampilannya yang jauh dari mentereng seperti mayoritas para ulama lainnya. Adalah syaikh Muhammad Sa’ad bin Jalaludien tidak diangkat sebagai Sajadatu al-Sadah al-Bakriyah (jabatan tertinggi dari para syaikh thariqat masa itu), hanya dikarenakan ia seorang ulama yang miskin !!!!
Kata yang lebih tepat untuk mengungkapkan kondisi para ulama masa ini, adalah perkataan imam Sufyan al-Tsauri,” Harta adalah penyakit umat ini, sedang ulama adalah dokter umat ini. Apabila ulama sudah menyeret penyakit kepada dirinya sendiri, kapan ia bisa menyembuhkan orang lain ?[8]
B. Penyimpangan Ilmiah
Inilah bentuk-bentuk penyimpangan akidah yang telah dialami oleh mayoritas dunia Islam pada beberapa abad terakhir. Adapun dalam bidah ilmiah, penyimpangan yang terjadi adalah :
[1]- Aspek Pendidikan dan kurikulum pendidikan
Syaikh Muhammad Kurdi ‘Ali dalam Khuthathu al-Syam menyebutkan bahwa benih-benih kemunduran dunia pendidikan Islam mulai terihat jelas pada abada IX Hijriyah. Keadaan ini semakin parah pada abad X dan XI Hijriyah. Pada abad XII Hijriyah, sama sekali tidak ada hal yang jadid maupun tajdid (pembaharuan, pencerahan). Ilmu pengetahuan dunia maupun ilmu-ilmu syar’i macet total, berhenti di tempat dan tidak mengalami peningkatan sedikitpun.
Ustadz Muhammad Qutb dalam Waqi’una al-Mu’ashir menyebutkan dua bentuk kemunduran dunia pendidikan masa tersebut; Pertama. Membuang materi ilmu pengetahuan umum (al-‘ulum al-kauniyah) seperti kimia, fisika, biologi, matematika, ekonomi, politik dan seterusnya, dari sekolah-sekolah di dunia Islam. Kedua, Ilmu-ilmu syar’i mengalamai masa kebekuan, kejumudan dan statis dengan kuatnya keyakinan telah tertutupnya pintu ijtihad. Sebagai akibatnya, banyak persoalan masa tersebut yang tidak mendapatkan jawaban dari syariat dikarenakan tidak adanya ijtihad. Solusinya, produk pemikiran Barat diadopsi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh dunia Islam.
Kurikulum pendidikan pada masa itu juga sangat tidak memenuhi tuntutan zaman. Para ulama sibuk membuat mukhtashar, syarh dan hasyiyah. Sebagian besar sekolah dan universitas di dunia Islam mengajarkan aqidah berdasar madzhab Asy’ariyah –Maturidyah, dan warna ilmu kalam-filsafat sangat kental mewarnai pelajaran aqidah. Pelajaran-pelajaran inti lainnya diisi oleh ilmu mantiq, ilmu sejarah (sejarah para ulama thareqat), ilmu hikmah (filsafat Yunani kuno dan para filosof atheis seperti Ibnu Sina dll), tafsir para ulama Asy’ariyah-Maturidiyah-Mu’tazilah dan ilmu tasawuf.
Secara ringkas, syaikh Muhammad Bahjat al-Atsari dalam A’lamu al-‘Iraq menyebutkan bahwa ilmu pada masa itu dipelajari bukan untuk mengatur kehidupan dunia, melainkan untuk mencari berkah !!!!
[2]- Fanatisme Madzhab
Fanatisme madzhab begitu kuat menggejala di masa itu, tidak saja di kalangan awam namun juga dikalangan ulama. Universitas al-Azhar menjadi ajang rivalitas para ulama madzhab al-Hanafi dan madzhab al-Syafi’i. Demi membela pendapat madzhabnya, para ulama masa itu berani melakukan taqlid buta dan menyelisihi nash-nash yang sharih. Imam Mahmud Syukri al-Aluzi, seorang ulama besar pakar tafsir, menyebutkan bahwa secara terang-terangan para qadhi (hakim agama) daulah ‘Utsmaniyah menyatakan di hadapannya bahwa bila pendapat madzhab al-Hanafi dalam buku Maniyatul a-Mushali bertentangan dengan hadits shahih dalam shahih al-Bukhari, mereka akan memegangi pendapat dan membuang hadits shahih tersebut.[1]
Syaikh Muhammad Yusuf al-Banuri mengisahkan bahwa gurunya, syaikh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri telah menghabiskan separuh umurnya yaitu tiga puluh tahun untuk mempertahankan madzhab al-Hanafi. Menurutnya, ia telah berusaha meneguhkan bangunan madzhab al-hanafi sehingga tidak akan runtuh dalam seratus tahun berikutnya.
Pada masa daulah ‘Utsmaniyah, madzhab al-Hanafi menjadi madzhab resmi negara. Seluruh mufti dan qadhi harus bermadzhab Hanafi. Seorang yang menganut madzhab al-Hanafi lalu berpindah ke madzhab lain, akan dihukum ta’zir. Ta’ashub madzhab ini tidak terbatas dalam masalah fiqih saja, namun juga masuk dalam bidang lain seperti bahasa. Dengan menguatnya sikap taqlid dan Ta’ashub madzhab, kemampuan istinbath dan ijtihad para ulama pun sedikit demi sedikit melemah dan akhirnya mati. Ulama-ulama yang mencoba mendobrak tradisi ini, seperti imam al-Syaukani dan Mahmud Syukri al-Alusi, mendapat tekanan hebat dari penguasa, ulama dan masyarakat.
[3]- Ditutupnya pintu ijtihad
Setiap zaman akan menghadapi masalah-masalah baru yang tidak pernah dialami oleh zaman sebelumnya. Untuk itu, senantiasa diperlukan ijtihad dan istinbath ahkam dari nash-nash Al-Qur’an dan al-Sunah. Namun mulai awal abad V Hijriyah, dikalangan umat Islam mulai berkembang pemikiran bahwa pintu ijtihad telah tertutup, karena tidak adanya ulama yang mencapai derajat mujtahid mutlak, merajalelanya kesesatan dan hawa nafsu, serta sedikitnya para ulama yang bersikap wara’.
Para ulama yang mencoba membuka kembali usaha-usaha untuk tajdid, ittiba’ dan ijtihad menghadapi tekanan berat dari berbagai pihak. Di antaranya yang paling terkenal adalah peristiwa di damaskus, 1313 H yang dikenal dengan “peristiwa mujtahidin.” Bermula dari diskusi segelintir ulama ; imam Jamaludien al-Qasimi, syaikh Abdu Razaq al-Baithar, syaikh Salim Samarah, syaikh Badrudien al-Maghribi, syaikh Taufiq Afandi al-Ayyubi, Syaikh Amin al-Safar Jalani, syaikh Said al-Ghar dan syaikh Musthafa al-Halaq, di masjid Damaskus. Mereka akhirnya dihadapkan kepada pengadilan daulah Utsmaniyah di Damskus, pada hari Sabtu 11 Sya’ban 1313 H. Mereka diadili karena dituduh mengkaji buku-buku hadits dan mengistinbathkan ahkam, mencari dalil atas berbagai pendapat fikih yang sudah ada dan menganggap diri mereka sebagai mujtahid.[2]
Nasib serupa juga dialami para ulama yang mencoba mendobrak tradisi yang salah ini, seperti imam al-Syaukani, syaikh Shihabudien al-Marjani al-Qazani (wafat 1306 H), syaikh Abdu al-Haq bin Fadhl al-‘Utsmani al-Banarisi (wafat 1276 H), dan para ulama lainnya.
Tradisi ini telah mengakibatkan dua bencana besar dalam kehidupan kaum muslimin. Pertama. Kehidupan umat Islam mengalami kejumudan, kemandegan dan tidak mengalami perkembangan maupun kemajuan. Kedua. Sebagai akibat dari kemandegan, kehidupan umat Islam keluar dari tuntunan syariat Islam karena menganggap masalah-masalah yang baru terjadi tidak berada dalam ruang lingkup ijtihad dan syariat Islam.[3]
Buah dari Berbagai Penyimpangan
Dari berbagai pentimpangan aspek akidah dan ilmiah di atas, dalam diri umat Islam terkumpul berbagai penyakit kronis. Berbagai penyakit yang berwujud kemunduran, kelemahan dan keterbelakangan dalam berbagai aspek ini hanyalah sebagai sebuah buah dan hasil, dari berbagai benih penyimpangan dan penyelewengan yang ditanam oleh umat Islam sejak ratusan tahun yang lalu. Penyimpangan yang parah, apalagi bertumpuk-tumpuk, sudah pasti akan mengakibatkan bahaya yang merusak kehidupan umat Islam.
Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menyatakan bahwa kejayaan dan keruntuhan sebuah bangsa — termasuk umat Islam — adalah karena faktor diri sendiri (intern). Allah Ta’ala berfirman :
مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَآءَ فَعَلَيْهَا وَمَارَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِّلْعَبِيدِ
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabbmu menganiaya hamba-hamba(Nya) (QS. 41:46)
إِنَّ اللهَ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَابِأَنفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Al-Ro’du :11).
أَوَلَمَّآأَصَابَتْكُم مُّصِيبَةُُ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرُُ
Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata:”Dari mana datangnya (kekalahan) ini” Katakanlah:”Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 3:165)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
سَأَلْتُهُ أَنْ لاَ يُسَلِّطَ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَعْطَانِيهَا
“ Aku memohon kepada Allah agar tidak menguasakan musuh non muslim atas umat Islam, maka Allah mengabulkannya.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ahmad. Silsilah Ahadits Shahihah no. 1724].
Berbagai penyimpangan yang telah dilakukan oleh umat Islam, mengakibatkan dampak negatif intern maupun ekstern. Dampak negatif tersebut adalah :
[1]- Dampak negatif intern
* Kelemahan politik dan militer.
Umat Islam mengalami kelemahan dan kemunduran yang sangat tajam di bidang politik dan militer, sehingga kaisar Rusia Nicolas I pada tahun 1853 M mengejek daulah ‘Utsmaniah (dan dunia Islam) sebagai the sick man. Sejak akhir abad XVIII M, daulah ‘Utsmaniah sudah tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan jihad hujumi. Lebih dari itu, mulai menempuh politik membela diri dan merelakan lepasnya berbagai daerah kekuasaan di Eropa sebagai harga dari berbagai perundingan damai dan gencatan senjata. Negara-negara Eropa berlomba-lomba merebut berbagai wilayah daulah ‘Utsmaniah. Negara-negara besar Eropa mulai turut campur dalam urusan dalam negeri daulah ‘Utsmaniah dengan berbagai cara, terutama melalui berbagai perjanjian damai. Orang-orang kafir di negera-negara daulah ‘Utsmaniah mempunyai hak-hak istimewa dalam bidang hukum dan ekonomi. Semua perusahaan dan pebisnis kafir bebas berusaha di daerah daulah ‘Utsmaniah tanpa terkena pajak sama sekali. Rumah orang-orang kafir di daerah daulah ‘Utsmaniah sama sekali tak bisa disentuh hukum daulah ‘Utsmaniah, sekalipun dalam rumah tersebut terjadi kasus pelanggaran hukum yang berat. Konsul negara si kafir itulah yang akan menyelesaikan kasus tersebut. Dengan kebebasan ekonomi dan kekebalan hukum ini, orang-orang kafir ramai mendirikan bar, bioskop, pabrik minuman keras dan tempat-tempat maksiat. Tahun 1856 M, Pasha Turki pernah menutup bar seorang Yunani namun akhirnya dibuka kembali oleh Konsul Yunani dan Pasha tak bisa berbuat apa-apa. Ketika orang-orang Nasrani di Syam menuntut penghapusan jizyah dan kharaj, daulah ‘Utsmaniah terpaksa harus menurutinya. Di abad XVIII dan XIX M, hampir di seluruh pertempurannya melawan tentara salib Eropa, daulah ‘Utsmaniyah mengalami kekalahan, terutama pertempuran di laut. Ustadz Abu al-Hasan Ali al-Hasani al-Nadawi dalam bukunya, Madza Khasira al-‘Alam bi-Inhithathi al-Muslimin menggambarkan dengan sangat jelas kemunduran politik dan militer daulah ‘Utsmaniyah.
* Kelemahan ekonomi. Keberhasilan Portugal dan Spanyol untuk menemukan jalan perdagangan dunia ke Asia, telah menjadi titik awal kebangkitan ekonomi Eropa. Mereka berhasil merebut rute, pangsa pasar dan sumber bahan baku perdagangan dunia. Usaha mereka semakin mengakar kuat dengan keberhasilan mereka menjajah dan memonopoli kekayaan dunia Islam yang sangat kaya. Hal ini mengakibatkan kemiskinan dan kemunduran ekonomi yang berat di dunia Islam. Ketika sultan Abdul Aziz menjadi sultan daulah ‘Utsmaniyah tahun 1861 M, para sultan terdahulu telah meninggalkan hutang negara sebanyak 15 juta Pound Sterling. Pada tahun itu pula, hutang negara membengkak menjadi 103 juta Frank. Pada tahun 1870-1880 M, daulah ‘Utsmaniyah mengalami krisis ekonomi berkepanjangan. Untuk menutupinya, Turki Utsmani harus berhutang kepada Inggris di mana Inggris mensyaratkan pendirian bank-bank Inggris di Islambul dan lembaga pengawas keuangan dari Inggris.
Daulah ‘Utsmaniyah juga mempunyai hutang yang sangat besar kepada yang perusahaan raksasa Perancis “Orlando and Tonibee Ltd”. Ketika negara tidak mampu membayar hutang, Perancis memaksa pembayaran segera hutang tersebut. Ketika hal itu tdak dipenuhi, Perancis marah besar dan pada tahun 1901 M merebut pulai Midley dan Maltien. Hal ini mendorong negara-negara salibis Eropa untuk merebut beberapa pulai penting lain, sehingga memaksa daulah ‘Utsmaniyah untuk menuruti segala tekanan ekonomi mereka. Sampai perang Dunia Pertama, hutang daulah ‘Utsmaniyah mencapai 3900 juta Frank, mayoritas dari Perancis, Jerman dan Inggris.
Kondisi berbagai daerah Islam tak jauh berbeda dengan daulah ‘Utsmaniyah. Mesir pada masa pemerintahan keluarga Muhammad Ali Basya menempuh cara gali lobang tutup lobang dan hutang mencapai puncaknya senilai 100 juta pound sterling pada tahun 1876 M/1312 H, pada masa pemerintahan Khudaiwi Ismail. Akibatnya gaji para pegawai tidak dibayar dan rakyat dibebani pajak yang berlipat ganda. Sebagai akibatnya, Perancis dan Inggris sebagai negara debitor membentuk lembaga pengawas keuangan di Mesir. Pada tahun 1878 M, lembaga ini memaksa keluarga Khudaiwi untuk melepaskan sebagian besar asset negara, menunjuk Wilson (Inggris) sebagai mentri keuangan dan De Bliner (Perancis) sebagai mentri pekerjaan umum. Ketika Khudaiwi akan memecat kedua mentri asing ini, negara-negara Barat turut campur dan menjatuhkan Khudaiwi. Sebagai gantinya, mereka mengangkat anak sulung Khudaiwi, Taufiq.
Ketika sultan Maroko berhutang kepada Perancis pada tahun 1321 H, disepakati Bank Perancis mengucurkan piutang sebesar 62.500.000 frank dengan imbalan, Maroko menyerahkan kepada Perancis pemasukan seluruh pelabuhan di Maroko selama 35 tahun ; sejak 1 Juli 1906 M sampai 1 juli 1941 M.
Dr. Jamil Abdullah Muhammad al-Mishri mengutip pernyataan resmi seorang direktur perusahaan Amerika yang menanamkan modal dan memberikan piutang kepada negara-negara berkembang, bahwa setiap satu dolar yang mereka piutangkan akan kembali 4,67 dolar. Artinya, mereka menangguk laba sebesar 367 %. Jelas sekali, piutang ini menimbulkan kelemahan ekonomi dunia Islam.[4]
* Kelemahan ilmu pengetahuan dan agama. Dalam belenggu kehidupan aqidah murji’ah dan thariqat sufi, sudah sangat wajar bila umat Islam mengalami kemunduran dan keterbelakangan yang parah dalam aspek agama dan ilmu pengetahuan. Secara sekilas, kemunduran dan kelemahan di bidang ilmu syar’i telah dijelaskan di depan. Tentang kemunduran bidang teknologi dan industri, Imam Al-Ghazi dalam Nahru al-Dzahab fi Tarikhi Halb menyebutkan, ketika telegraf pertama kali masuk kota Halb tahun 1278 H, masyarakat menganggapnya sebagai setan. Ustadz Abu Hasan Ali al-Hasani al-Nadawi juga menyebutkan, bahwa industri perkapalan baru masuk ke Turki pada abad XVI M, percetakan, alat-alat medis dan sekolah-sekolah militer baru masuk pada abad XVIII M. Pada abad-abad tersebut, daulah ‘Utsmaniyah sangat asing dari industri, teknologi dan ilmu pengetahuan, sehingga menganggap segala penemuan baru di bidang teknologi dan industri sebagai sebuah sihir.[5]
* Kelemahan sosial dan moral. Dekadensi moral yang sangat parah telah menggejala di seantero dunia Islam. Penyalahgunaan harta wakaf untuk kepentingan memperkaya para pegawai wakaf, menjamurnya warung-warung khamr, rumah-rumah judi dan pelacuran — Husain bin Muhammad Nashif bahkan menyebutkan kota suci Makkah telah ramai dengan warung-warung minuman keras dan pelacuran—, tenggelamnya masyarakat dalam musik dan nyanyian, dan aneka ragam kebejatan moral lainnya menjadi pemandangan umum di tengah masyarakat.[6] Berbagai akhlak mulia sudah dianggap sebagai sebuah tradisi kuno, kering dari nilai-nilai keimanan dan setiap saat bisa ditinggalkan dengan alasan kemajuan zaman. Jilbab yang menjadi busana waniyta muslimah, misalnya, telah dianggap sebagai sekedar budaya setempat, dan manakala penjajah salibis Eropa datang dengan emansipasi wanitanya, dengan serta merta banyak yang melepaskan jilbabnya.
[2]- Dampak negatif ekstren
* Imperialisme negara-negara salibis Eropa. Pasca runtuhnya daulah Islam terakhir di Andalus, daulah Gharnathah tahun 1492 M, Paus telah menghasung dan memberikan berkatnya kepada tentara salibis Eropa untuk menjajah dunia Islam. Imperialisme salibis modern dimulai dengan penjajahan Belanda (VOC) atas wilayah nusantara pada awal abad XVII M, tepatnya dengan berdirinya VOC tahun 1602 M. disusul dengan serikat dagang Inggris yang mulai menanamkan cengkeraman dagangnya atas India, tahun 1009 H / 1600 M. Satu persatu negara-negara salibis Eropa menyerbu negeri-negeri Islam untuk dijajah. Secara sekilas bisa disebutkan, negara-negara salibis Eropa yang menjajah dunia Islam adalah : (1). Inggris, menjajah Malasyia, Semenanjung Malaka, pantai-pantai Teluk Arab, Mesir, Sudan, Cyprus dan Ghana. Pasca Perang Dunia I, Inggris juga menduduki Palestina, Iraq, dan Yordania Timur. (2). Perancis, menjajah Indo-China, Mali, Chad, Nigeria, Sinegal, Madagaskar, Mauritania, Maroko, Aljazair, Tunisia, Guinea dan Djibouti. Pasca perang dunia I, Perancis juga menduduki Suriah, Libanon dan Cilicia. (3). Italia, menjajah Libia, sebagian Somalia dan Eritrea. (4). Rusia, menjajah Siberia, Turkistan Timur, semenanjung Qarm, negeri-negeri Kaukasus sampai daerah Utara Iran. (5). Spanyol, menjajah Marakisy, pedalaman Maroko dan Moro Islam (Filiphina). (6) Belanda, menjajah Indonesia. (7). Portugal, menjajah Mozambique dan (8). Belgia, menjajah Kongo.[7]
* Al-Ghazwu al-Fikri dan imporisasi way of life dari Barat. Secara sederhana, al-gahzwu al-fikri mulai muncul dengan adanya penerjemahan dan kajian terhadap buku-buku filsafat Yunani Kuno di akhir abad II H dan awal abad III H. sebagian pihak menyebutkan, perang pemikiran ini dimulai sejak masa perang salib abad V dan VI Hijriyah, setelah raja perancis Louis IX dibebaskan dari penjara Manshurah, Mesir. Pada abad modern, serangan Napoleon Bonaparte pada tahun 1213 H / 1798 M ke Mesir dianggap sebagai langkah awal era perang pemikiran dunia salibis Barat terhadap dunia Islam. Sikap statis para ulama, ta’ashub madzhab dan wacana telah tetutupnya pintu ijtihad, semakin memudahkan orang-orang Barat untuk melancarkan perang yang membunuh akidah dan akhlak umat ini. Mereka menggunakan dua sarana sentral, kurikulum pendidikan dan media massa, untuk memasukkan racun-racun sekulerisme, emansipasi wanita, liberalisme, kapitalisme dan isme-isme destruktif lainnya ke dalam tubuh umat Islam. Target utama dari seluruh serangan ini adalah menyingkirkan syariat Islam dari kehidupan umat Islam.
Dengan usaha sangat serius lewat dunia pendidikan dan media massa, plus tekanan negara-negara Barat kepada para sultan daulah ‘Utsmaniyah, sedikit demi sedikit sistem perundang-undangan Eropa mulai diadopsi oleh daulah ‘Utsmaniyah. Dimulai oleh sultan Sulaiman yang menetapkan beberapa undang-undang dengan berkiblat kepada undang-undang Eropa —hal yang menyebabkannya digelari sebagai al-Qanuni—, lalu sultan Salim III yang memasukkan sistem militer dan politik ala Perancis. Penasehat sultan Salim III adalah Saint Maur, seorang diplomat Perancis yang sangat mewarnai kebijakan politik sultan Salim III.
Sultan Salim III dibunuh oleh sultan Musthafa IV, namun sultan Musthafa IV juga dibunuh oleh sultan Mahmud II. Sultan Mahmud II yang mulai memegang tampuk kekuasaan tahun 1808 M, sangat kagum dengan budaya dan tradisi Eropa. Di masa kekuasaannya, diberlakukan kebijakan westrenisasi besar-besaran, tanpa mengindahkan akidah dan budaya Islam sama sekali.[8]
Sultan Mahmud II adalah putra kedua sultan Abdul Hamid I dari istri perempuan Perancis. Ia sukses mensekulerkan daulah Utsmaniyah dan menyingkirkan syariah Islam setelah pada tanggal 13-14 Juni 1826 H berhasil menghancurkan pasukan Inkisyariyah —pasukan pengawal setia para sultan sebelumnya, setia kepada tradisi Turki lama —. Dengan keberhasilan ini, tak seorangpun yang berani menentang usaha westernisasi dan sekulerisasi yang diterapkan oleh sultan. Padatahun 1837 M, sultan memerintahkan penulisan sebuah ensiklopedi perdata. Masalah-masalah perdata yang tidak ada nash dari al-Qur’an dan al-Sunah, diambilkan dari sistem perundang-undangan sipil Eropa.
Ustadz Muhammad Rasyi Ridha menyebutkan, sebagian besar undang-undang Eropa diadopsi ke dalam perundang-undangan daulah Utsmaniah, namun justru ilmu pengetahuan, teknologi dan industri tidak dipelajari dengan baik. Pada masa sultan Mahmud II, sekolah-sekolah yunani, Armenia dan Katolik menjamur. Sejak tahun 1826 H, pengiriman para mahasiswa untuk belajar ke Barat juga mulai gencar. Di zamannya pula, musik mulai masuk ke dalam militer. Usaha westernisasi ini semakin hari semakin parah, dan dilanjutkan oleh para sultan dan mentri sesudahnya. Pada tahun 1839 M, ia digantikan oleh putranya, sultan Majid Abdul. Pada masa sultan Abdul Majid, tahun 1839 M, dikeluarkan undang-undang yang menyamakan status seluruh rakyat, apapun agama mereka —penghapusan ahlu dzimmah—. Di hadapan undang-undang negara, seluruh agama mempunyai kedudukan yang sama. Inilah awal tumbuhnya nasionalisme di dunia Islam. Pada tahun 1854 M dan 1856 M, ia mengeluarkan undang-undang yang meresmikan westernisasi dan sekulerisasi hukum dan undang-undang daulah ‘Utsmaniyah.[9] Sultan Abdul Hamid II diawal pemerintahannya, 1876 M, dipaksa untuk menetapkan dan menjalankan undang-undang Eropa tersebut, namun pada tahun 1878 M beliau membuangnya dan kembali menerapkan syariah Islam. Usahanya ini mendapat tekanan keras kaum nasionalis sekuler dan Barat, yang mengadakan kudeta militer pada tahun 1908 M. Peristiwa ini mengakibatkan pelengseran sultan pada tahun 1327 H / 1909 M.
* Kristenisasi.
Pada masa kemunduran dunia Islam, kristenisasi gencar menyerbu dunia Islam bersamaan dengan gencarnya serangan tentara salibis Eropa. Dengan berkedok sebagai warga negara asing dari Inggris, Amerika, Denmark atau Perancis, para misionaris berduyun-duyun melakukan aksi pemurtadan di daerah-daerah kekuasaan daulah ‘Utsmaniyah. Daulah ‘Utsmaniyah sendiri tidak bisa berbuat banyak, karena pembelaan konsulat-konsulat negara salibis Eropa yang melindungi para misionaris tersebut.
Dr. Jamil Al Mishri mengutip laporan majalah Time (AS) edisi 3/5/1982 M, bahwa 5.6 juta umat Islam Indonesia telah berhasil dikristenkan. Beberapa kali sensus menyebutkan bahwa jumlah umat Islam Indonesia menyusut dari 96 % menjadi 86 % sementara jumlah Nasrani Katholik dan Protestan meningkat dari 2 % menjadi 8,8 % selama masa kemerdekaan.[10]
Dr. Abdul Halim Uwais dalam laporannya di majalah Al Mujtama’ edisi 10 Sya’ban 1405 H menulis, di Afrika terdapat 104 ribu para penginjil, 93 ribu laki-laki dan perempuan yang bekerja secara sukarela pada lembaga-lembaga pembagi Injil, 16671 sekolah gereja untuk berbagai jenjang, 500 universitas di seluruh Afrika di bawah kendali gereja dan lebih dari 489 sekolah teologi untuk mencetak kader-kader penginjil dan misionaris. Setiap tahunnya AS mengirim lebih dari 600 juta dolar untuk kristenisasi di Afrika.
Majalah Da’wah Al Mishriyah edisi Dzulhijah 1403 H juga menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 17 juta para dokter, peneliti dan aktivis LSM yang tergabung dalam lembaga-lembaga misionaris dan penginjil, serta terdapat lebih dari 300 universitas dan sekolah teologi yang mencetak para penginjil dan misionaris yang siap diterjunkan di manapun juga.[11]
Penyimpangan Dunia Pendidikan, Awal Kehancuran
Uraian tentang realita umat Islam selama beberapa abad sebelum runtuhnya daulah ‘Utsmaniyah 1924 M di atas, secara jelas menggambarkan bahwa runtuhnya daulah ‘Utsmaniyah bukanlah titik balik kemunduran peradaban Islam. Justru, ratusan tahun selama keberadaan daulah ‘Utsmaniyah, keterbelakangan, kemunduran dan kerusakan telah menggerogoti umat Islam. Bahkan —maaf— daulah ‘Utsmaniyah banyak ikut berperan memperburuk suasana kemunduran tersebut, sekalipun dalam beberapa aspek juga berperan besar membawa umat Islam kepada kejayaan.
Berbagai kelemahan di bidang politik, militer, sosial, budaya, ekonomi dan iptek, juga fenomena al-ghazwu al-fikri, imperialisme modern dan kristenisasi, hanyalah buah dari bibit-bibit penyimpangan yang telah dilakukan oleh umat Islam. Seorang dokter yang arif tentu akan mencoba mengobati bibit-bibit yang menjadi sumber kerusakan, bukan mengobati buahnya. Dus, berbagai penyimpanganlah yang harus pertama kali diobati, bukan dampak negatif dari berbagai penyimpangan tersebut.
Dalam wacana jatuh bangunnya peradaban Islam ini, Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais[12] menyampaikan sebuah kajian berharga. Beliau menulis
“ Selalunya, sebuah peradaban runtuh dari dalam…sesungguhnya perang (serangan dari luar) datang tak lebih dari sebuah badai. Ia hanya mencabut pohon-pohon yang tidak mempunyai akar, atau pohon yang akarnya lapuk, atau berakar kokoh namun batangnya sakit sehingga akhirnya si batang pun tumbang. (memang) terkadang batangnya tumbang, namun akar-akarnya tetap layak —setelahnya —untuk membangun sebuah batang yang baru dan muncul sekali lagi.”
Menurut beliau, keruntuhan sebuah peradaban — tak terkecuali peradaban Islam — tak lepas dari tiga proses, yaitu marhalatu fasad al-fikr, marhalatu fasad al-suluk dan marhalatu al-inhiyar.
[1]- Marhalatu fasad al-fikr. Fase ini adalah fase yang menjadi titik awal sebuah kehancuran. Dimulai dengan rusaknya konsep hubungan manusia-Allah Ta’ala; manusia-manusia ; manusia-alam sekitar dan menyimpangnya manusia dari kebenaran, kesempurnaan dan kebajikan (al-inhiraf ‘an al-haq, al-kamal, al-khair). Sedikit-demi sedikit, manusia menyimpang dari jalan al-haq, menuruti hawa nafsu dan berjalan di atas ilmu (al-fikr / al-manhaj) yang bengkok. Proses ini merupakan perubahan total yang menyerang aspek pemikiran dan kejiwaan manusia (al-inqilabu al-dzihni wa al-nafsi al-mutadani). Manakala manusia sudah mulai menyimpang dari kebenaran dan ilmu yang benar, sejatinya ia telah memasuki babak keruntuhan pemikiran dan kegelapan akidah (al-inhiyar al-fikri wa al-dhulam al-‘aqdi ; QS. 2:6-7). Fase ini juga merupakan fase kebekuan dan kejumudan serta rusaknya konsep way of life (marhalatu inghilaq fikri wa fasad al-manhaj ; QS. 7 :96,16:112-113). Ini suatu hal yang sangat bisa dipahami, mengingat ilmu atau fikrah merupakan asas, fondasi dan titik tolak kehidupan di muka bumi ini. Sebuah peradaban akan tegak diatas sebuah dasar manhaj yang lurus, dan sebaliknya mankalaa penyimpangan pemikiran telah menjadi fondasi, keruntuhan peradaban tinggal menunggu saatnya (QS. 20:123-124). Kesesatan pemikiran ini bisa terjadi lewat beberapa pintu, yaitu (a)-mengikuti para pemimpin dan ulama yang menyesatkan (itttiba’ al-thawaghit min al-ashnam al-basyariyah), atau (b)- aliran-aliran pemikiran yang menyimpang (al-madzahib al-munharifah), atau (c)- tokoh-tokoh panutan yang hidup hedonis (QS. 33:67-68; 34:34). Ilmu yang salah akan menghasilkan tindakan yang salah pula. Secara padat, Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais meringkasnya denga menyebutkan kaedah emas “salamatu al-fikr hiya al-dhamin li-salamati al-suluk.” Dalam kajian kita atas realita umat Islam di atas, jelas sekali penyimpangan pemikiran dan konsep way of life ini berawal dari penyimpangan akidah (pint 1-8) dan penyimpangan ilmiah (point 1-3). Dalam hal ini, para ulama, da’i, mubaligh, ustadz, guru, pemerintah dan setiap orang yang menaruh perhatian terhadap kejayaan Islam mempunyai tanggung jawab besar untuk menjaga kelurusan al-fikr, dan mengobati berbagai penyimpangan al-fikr. Bila kewajiban ini tidak ditunaikan secara benar —imam al-Khatib al-Baghdadi (392-462 H) dalam al-Faqih wa al-Mutafaqih menyebutkan “wa hafizha syari’ata al-iman bi al-muta’allimin wa amarahum bi al-ruju’i ilaihim fi al-nawazil[13]”—, berarti penyimpangan al-suluk (point penyimpangan akidah no.9) pun telah terjadi. Artinya, mereka telah menjadi masinis bagi runtuhnya gerbong peradaban Islam.
[2]- Marhalatu fasad al-suluk. Secara normatif dan empirik telah terbukti bahwa tartibu al-suluk al-sayyi’ ‘ala al-fikr al-sayyi’, sebuah pemikiran yang buruk akan menelurkan tindak tanduk yang bejat (QS. 30:41,8:53,17:16). Fase ini merupakan fase al-dzunub, di mana sarana-sarana hidup kemewahan telah merajalela, kehidupan materialisme menggejala dan al-fikr sudah tundauk kepada materi. Ketika kebejatan moral dan sosial sudah di luar ambang batas, kemungkaran dan kemaksiatann sudah menjadi menu harian masyarakat, maka hukuman Ilahi adalah peringatan yang paling cocok. Allah Ta’ala mengadzab mereka, karena memang sudah sangat layak untuk menerima peringatan terakhir tersebut (QS. 34:34-35). Kesesatan pemikiran telah mendorong mereka untuk menempuh pola hidup yang salah. Kesesatan pemikiran telah membutakan mereka dari melihat kebenaran sunatullah dan sejarah (QS. 6:6,9:69). Inilah yang telah terjadi pada kaum-kaum terdahulu ; kaum nabi Nuh (QS. 11:46), kaum ‘Aad (QS. 11;59), kaum Tsamud (QS. 11:65,67), kaum Luth (QS.78,82-83), dan kaum Madyan (QS. 11:94-95). Ini pula yang telah terjadi pada diri umat Islam (point dampak negatif intern 1-4 dan ekstern 1-3). Dari rangkaian sejarah dalam surat Huud di atas, Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais menyimpulkan dari ayat 100-102, bahwa inna al-suluk al-akhlaqi al-munharif huwa thariqu al-inhiyar al-hadhari, wa laisa al-dho’fa al-madiyya awa al-taqanniya. Allah Ta’alaala Maha Pengasih kepada hamba-Nya. Dengan rahmat-Nya, manusia diberi jeda waktu untuk kembali kepada al-haq. Bila setelah jeda dan penangguhan ini manusia tetap dengan fasadu al-fikr dan fasadu al-suluknya, maka fase ketiga telah menantinya (QS. 6:44, 3;178,6:6). Pada saat itulah, tiada bergua lagi penyesalan (QS. 10:101).
[3]- Marhalatu al-inhiyar. Fasadu al-fikr dan fasadu al-suluk telah terkumpul pada diri umat Islam. Maka masyarakat Islam pun mulai menghalami pukulan-pukulan mematikan dari intern umat, maupun dari ekstern umat. Inilah sunatullah, dan sunatullah sennatiasa menjamah setiap hamba, tak peduli ia sebuah umat yang menamakan dirinya umat Islam (QS. 4:123). Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais memungkasi penjelasannya dengan sebuah kesimpulan yang sangat telak “ laqad ashbaha al-bina’ al-ijtima’i hasyan yaquumu ‘ala ususin fasidah…fala amala fi ‘ilajihi, bal laa budda in isqathihi.” Beliau lalu menyitir QS 9:109 dan QS. 13 :25.
Penutup
Uraian di atas, saya kira, sudah cukup untuk memahami judul makalah ini. Ya, pendidikan dan dakwah adalah salah satu ujung tombak bagi kemajuan dan kejayaan umat. Berperannya pendidikan dan dakwah yang benar, akan menjadi titik awal kemajuan umat. Sebaliknya, pendidikan dan dakwah yang salah, atau benar namun tidak terarah dan tepat guna, akan menjadi pintu pertama terjerumusnya umat Islam ke dalam jurang kemunduran.
Evaluasi menyeluruh dan terus menerus, senantiasa diperlukan oleh seluruh pihak yag terlibat dalam pendidikan dan dakwah Islam, untuk mencapai sebuah sholah al-fikr. Namun sholah al-fikr semata belum cukup bagi para aktivis pendidikan dan dakwah.Mereka juga dituntut untuk menunjukkan sholahu al-suluk, memberi qudwah dan uswah kepada umat dengan mengejawantahkan al-fikr ke dalam aksi nyata, sholahu al-suluk. Bila ini berhasil dilaksanakan, maka akan tersajikan suguhan total football yang sangat menawan. Para aktivis pendidikan dan dakwah tidak saja akan menjadi benteng pertahanan yang baik bagi syariah Islam, namun juga akan memerankan diri sebagai playmaker yang mampu memimpin dan mengatur tempo permainan. Bahkan, —syukur-syukur—, bisa bertandem dengan ahlu al-jihad[14] memerankan diri sebagai duet striker maut yang siap mengoyak jala musuh. Bila ini yang terjadi, gol-gol indah siap memeriahkan pentas peradaban Islam di panggung dunia. Sebaliknya, bila para aktivis pendidikan dan dakwah tidak sigap mengembangkan diri, memupuk kemampuan dan meningkatkan mutunya, atau kadar minimal kesholehan fikr belum terpenuhi, sangat wajar bila banyak pihak akan menuding pendidikan dan dakwah sebagai biang kerok kemunduran umat Islam. Dan, tudingan tersebut akan semakin menemukan sasarannya manakala para aktivis pendidikan dan dakwah gagal menampilkan kesholehan suluk, dengan tidak adanya qudwah dan uswah hasanah kepada umat. Wallahu Ta’ala A’lam bish Shawa. oaseimani.com
cari cari ...
Thursday, November 18, 2010
Analisa Sederhana tentang Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah
2:34 PM
admin
No comments
0 comments:
Post a Comment