Jebolnya Benteng Terakhir Kesabaran Publik. AGAMA adalah jalan bagi kita untuk memahami Sang Pencipta. Sedangkan tugas pemuka agama membimbing umatnya untuk memahami hakekat penciptaan. Islam, dalam kitab sucinya secara gamblang menjelaskan: “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS 51:56).”
Karena manusia di muka bumi juga harus bergelut dengan berbagai tantangan dan kebutuhan hidup yang nyata, membuat tugas para pemuka agama menjadi tidak mudah. Jangankan menyuruh umat menyembah-Nya, hanya sekedar meminta senantiasa mengingatNya saja, memerlukan kesabaran yang lebih.
Tapi dibandingan dengan di negara lain, tugas dan tanggungjawab para pemuka agama di Indonesia, di era rezim Yudhoyono ini, menjadi jauh lebih berat.
Memang, kalau sekedar menjelaskan kebesaran dan kemurahan Tuhan, dan karena itu kita patut bersyukur, amat sangat mudah. Sebab kesuburan dan kekayaan sumber daya alam yang dianugerahkan Allah kepada negeri ini alangkah besarnya. Bisa dilihat dan diraba. Sangat nyata.
Menjadi masalah pelik dan tak mudah menjelaskannya bila umat bertanya: “Kenapa sejak presiden dipilih langsung, makin lama hidup di negeri ini makin sulit? Kenapa Tuhan sangat tidak adil kepada kami orang-orang kecil?”
Ini pertanyaan nyata yang beredar di masyarakat kita sekarang. Sehingga di kalangan mayoritas rakyat Indonesia, berkembang metode untuk bertahan hidup, seperti diberitakan koran Kompas edisi 7 Januari 2011: Utang-Kurangi Makan- Bunuh Diri.
Maka berita kriminal yang berbasis utang-piutang menjadi hal biasa. Kisah rakyat kecil yang tak mampu beli beras, dan menggantikan dengan singkong kualitas rendah menyimpan racun, yang akhirnya merenggut 6 nyawa dalam satu keluarga di Jepara, yang terletak di provinsi lumbung padi Jawa Tengah, bukan lagi hal yang aneh.
Yang paling bikin gundah para pemuka agama adalah munculnya tren bunuh diri akibat depresi ekonomi di masyarakat. Sebab agama mereka masing-masing sudah mendoktrinkan bunuh diri itu dosa dan pelakunya bisa masuk neraka. Tapi kenapa mereka memilih masuk neraka ketimbang tetap bertahan hidup dan menjadi warga negara Indonesia yang baik dan sabar di bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono?
Apakah agama sudah tidak punya makna? Tapi kenapa tak ada satu pun pembesar negara yang dipimpin Yudhoyono mendengar dan melihat kejadian-kejadian horor yang menimpa rakyat Indonesia? Sehingga tak satu pun pembesar negeri yang berempati kepada nasib rakyat yang dipimpinnya?
Sebaliknya, di tengah jeritan penderitaan jutaan rakyat, para pembesar negeri ini malah sibuk membuat panggung untuk konperensi pers, dan menyatakan: ekonomi tumbuh sekian persen, kemiskinan terus berkurang, hukum sudah tegak di mana-mana, koruptor akan terus diburu…
Sulit menjelaskan bagaimana mungkin pemerintahan yang mengaku dipilih rakyat secara demokratis, bisa berbeda bagaikan bumi dan langit dengat hati rakyat yang memilihnya.
Mungkin kenyataan amat getir yang menimpa umatnya ini, yang membuat para pemuka agama sepakat berkumpul di gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, pada 10 Januari lalu.
Tapi bukan untuk menyenandungkan lagu pop: “Jangan ada dusta di antara kita…” Melainkan membuat maklumat: “Pencanangan Tahun Perlawanan Terhadap Kebohongan!”
Para pemuka agama itu selain Buya Syafi’I Ma’arif, adalah KH Solahudin Wahid (tokoh NU), Din Syamsudin (Ketua PP Muhammadiyah), Mgr Martinus Situmorang (Ketua Konperensi Waligereja Indonesia, KWI), Pendeta Andreas Yewangoe (Ketua Persatuan Gereja-gereja Indonesia, PGI), Bhikku Sri Pannyavaro (pimpinan umat Budha), dan pemuka umat Hindu Bali I Nyoman Udayana Sangging.
Sebenarnya, masih ada sejumlah tokoh lain, seperti ahli hukum Prof Dr JE Sahetapy atau Dr Johan Effendi. Mereka semua adalah tokoh-tokoh sepuh yang kita kenal orang-orang yang sabar.
Jadi mudah dibayangkan, bagaimana kondisi bangsa ini bila tokoh-tokoh yang selama ini menjadi benteng kesabaran publik saja sudah “jebol” batas kesabarannya. Juga mudah dibayangkan bagaimana kelanjutan nasib bangsa ini ke depan bila kita malah menjadi orang-orang yang sabar…!
rakyatmerdeka.com Jebolnya Benteng Terakhir Kesabaran Publik
Karena manusia di muka bumi juga harus bergelut dengan berbagai tantangan dan kebutuhan hidup yang nyata, membuat tugas para pemuka agama menjadi tidak mudah. Jangankan menyuruh umat menyembah-Nya, hanya sekedar meminta senantiasa mengingatNya saja, memerlukan kesabaran yang lebih.
Tapi dibandingan dengan di negara lain, tugas dan tanggungjawab para pemuka agama di Indonesia, di era rezim Yudhoyono ini, menjadi jauh lebih berat.
Memang, kalau sekedar menjelaskan kebesaran dan kemurahan Tuhan, dan karena itu kita patut bersyukur, amat sangat mudah. Sebab kesuburan dan kekayaan sumber daya alam yang dianugerahkan Allah kepada negeri ini alangkah besarnya. Bisa dilihat dan diraba. Sangat nyata.
Menjadi masalah pelik dan tak mudah menjelaskannya bila umat bertanya: “Kenapa sejak presiden dipilih langsung, makin lama hidup di negeri ini makin sulit? Kenapa Tuhan sangat tidak adil kepada kami orang-orang kecil?”
Ini pertanyaan nyata yang beredar di masyarakat kita sekarang. Sehingga di kalangan mayoritas rakyat Indonesia, berkembang metode untuk bertahan hidup, seperti diberitakan koran Kompas edisi 7 Januari 2011: Utang-Kurangi Makan- Bunuh Diri.
Maka berita kriminal yang berbasis utang-piutang menjadi hal biasa. Kisah rakyat kecil yang tak mampu beli beras, dan menggantikan dengan singkong kualitas rendah menyimpan racun, yang akhirnya merenggut 6 nyawa dalam satu keluarga di Jepara, yang terletak di provinsi lumbung padi Jawa Tengah, bukan lagi hal yang aneh.
Yang paling bikin gundah para pemuka agama adalah munculnya tren bunuh diri akibat depresi ekonomi di masyarakat. Sebab agama mereka masing-masing sudah mendoktrinkan bunuh diri itu dosa dan pelakunya bisa masuk neraka. Tapi kenapa mereka memilih masuk neraka ketimbang tetap bertahan hidup dan menjadi warga negara Indonesia yang baik dan sabar di bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono?
Apakah agama sudah tidak punya makna? Tapi kenapa tak ada satu pun pembesar negara yang dipimpin Yudhoyono mendengar dan melihat kejadian-kejadian horor yang menimpa rakyat Indonesia? Sehingga tak satu pun pembesar negeri yang berempati kepada nasib rakyat yang dipimpinnya?
Sebaliknya, di tengah jeritan penderitaan jutaan rakyat, para pembesar negeri ini malah sibuk membuat panggung untuk konperensi pers, dan menyatakan: ekonomi tumbuh sekian persen, kemiskinan terus berkurang, hukum sudah tegak di mana-mana, koruptor akan terus diburu…
Sulit menjelaskan bagaimana mungkin pemerintahan yang mengaku dipilih rakyat secara demokratis, bisa berbeda bagaikan bumi dan langit dengat hati rakyat yang memilihnya.
Mungkin kenyataan amat getir yang menimpa umatnya ini, yang membuat para pemuka agama sepakat berkumpul di gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, pada 10 Januari lalu.
Tapi bukan untuk menyenandungkan lagu pop: “Jangan ada dusta di antara kita…” Melainkan membuat maklumat: “Pencanangan Tahun Perlawanan Terhadap Kebohongan!”
Para pemuka agama itu selain Buya Syafi’I Ma’arif, adalah KH Solahudin Wahid (tokoh NU), Din Syamsudin (Ketua PP Muhammadiyah), Mgr Martinus Situmorang (Ketua Konperensi Waligereja Indonesia, KWI), Pendeta Andreas Yewangoe (Ketua Persatuan Gereja-gereja Indonesia, PGI), Bhikku Sri Pannyavaro (pimpinan umat Budha), dan pemuka umat Hindu Bali I Nyoman Udayana Sangging.
Sebenarnya, masih ada sejumlah tokoh lain, seperti ahli hukum Prof Dr JE Sahetapy atau Dr Johan Effendi. Mereka semua adalah tokoh-tokoh sepuh yang kita kenal orang-orang yang sabar.
Jadi mudah dibayangkan, bagaimana kondisi bangsa ini bila tokoh-tokoh yang selama ini menjadi benteng kesabaran publik saja sudah “jebol” batas kesabarannya. Juga mudah dibayangkan bagaimana kelanjutan nasib bangsa ini ke depan bila kita malah menjadi orang-orang yang sabar…!
rakyatmerdeka.com Jebolnya Benteng Terakhir Kesabaran Publik
0 comments:
Post a Comment