YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Bangsa Indonesia masih belum mampu lepas dari jerat stigma pascatragedi Gerakan 30 September 1965, kata antropolog dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta I Ngurah Suryawan.
"Tragedi Gerakan 30 September 1965 (G30S) memunculkan stigma yang merupakan awal luluh lantaknya solidaritas sosial dan relasi kemanusiaan bangsa Indonesia dan sampai saat ini belum sepenuhnya pulih," katanya di sela bedah buku "Kuasa Stigma dan Represi Ingatan" karya Tri Guntur Narwaya, di Yogyakarta, Jumat.
Ia mengatakan, tragedi G30S telah meruntuhkan identitas bangsa Indonesia dan melukai rasa kemanusiaan antaranak bangsa.
"Rezim Orde Baru dengan segala stigmatisasi, propaganda, indoktrinasi, dan sejarah tunggal tentang G30S memikul tanggung jawab sejarah yang besar," katanya.
Menurut dia, stigmatisasi dan propaganda yang dilakukan rezim Orde Baru berkembang menjadi sebuah kesadaran kolektif bangsa Indonesia yang hingga kini sulit dihapuskan.
"Saat rezim Orde Baru berkuasa, penulisan sejarah dibangun secara hitam putih untuk menunjukkan siapa pendukung dan penentang serta pelaku subversif dalam sejarah," katanya.
Orde Baru, menurut dia, menempatkan militer dan elite kekuasaan pendukungnya sebagai pahlawan dan sentral penulisan sejarah bangsa Indonesia.
"Komunisme dan Islam ekstremis dijadikan ’kambing hitam’ untuk melanggengkan kekuasaan Pada saat itu tidak ada yang berani menggugat kebenaran tunggal tersebut," katanya.
Ia mengatakan, pascareformasi 1998, beragam gugatan yang muncul atas versi tunggal milik rezim Orde Baru tentang G30S menjadi hal yang sangat konstruktif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
"Sebesar apa pun kuasa sejarah tersebut, selalu ada ruang untuk menggugatnya, tidak ada penulisan sejarah yang sama sekali tidak terbantah, gugatan atas versi tunggal Orde Baru menjadikan sejarah lebih demokratis, beragam, dan kritis," katanya.
0 comments:
Post a Comment