hizbut-tahrir.or.id. Lambat laun akhirnya hubungan bilateral AS-Indonesia mulai mengkristal. Menteri Luar Negeri AS Hillary Rodham Clinton dan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa bertemu di Washington pada tanggal 17 September 2010, dalam perhelatan penting kali pertama Komisi Bersama AS-Indonesia. Sebuah kristalisasi dari pertemuan-pertemuan sebelumnya yang dilakukan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden Barrack Obama (AS), begitu juga pertemuan yang dilakukan pejabat terkait dari masing-masing pihak pada lawatan-lawatan sebelumnya.
Upaya menuju hubungan strategis sudah dibicarakan SBY dengan Obama di sela-sela pertemuan di Singapura (2009). Begitu pula saat kedua presiden menghadiri KTT G-20 di Toronto (6/2010), arah hubungan bilateral bergeser kepada bentuk yang lebih luas dengan titel Kemitraan Komprehensif AS-Indonesia. Jauh hari Hillary Clinton pada lawatan pertama sebagai Menlu AS, Indonesia masuk menjadi prioritas untuk kawasan Asia Pasifik. Selama di Indonesia (18-19 Febuari 2009) bertemu dengan pejabat kementerian luar negeri RI, Hilary mengenalkan pentingnya “kemitraan strategis AS - Indonesia”. Karena Indonesia adalah negara yang penting bagi AS sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia. Sehingga Menlu AS merasa penting untuk merangkul Indonesia lebih awal. Pejabat Indonesia cukup respek, Menlu RI (saat itu Hasan Wirajuda) juga menggarisbawahi pernyataan Deplu AS akan pentingnya Indonesia bagi AS; “Sepanjang RI-AS menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, demokrasi, dan pluralisme, ada cukup alasan untuk mengeratkan hubungan bilateral” (7/2/09). Pada hari kedua lawatannya, tanggal 19 Februari 2009 Hillary melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden SBY.
Pada awalnya rencana kunjungan Obama, untuk meresmikan agreement (perjanjian) kemitraan komprehensif AS-Indonesia. Sekalipun batal, namun upaya intensif kedua belah pihak terus berjalan untuk menyiapkan lebih luas substansi kemitraan yang dikehendaki. Di bulan Juli 2010 Menhan AS Robert Gates juga melawat ke Indonesia bertemu dengan pejabat Dephan dan Presiden SBY. Yang sebelumnya juga sudah ada pertemuan antara Robert Gates dengan Menhan RI Purnomo Y di Singapura. Isu kerjasama pertahanan dan keamanan menjadi misi Gates, bahkan dari pihak presiden SBY sendiri berjanji untuk mengawal reformasi militer (22/7/2010). Alasannya, selama ini isu pelanggaran HAM oleh TNI menjadi ganjalan utama hubungan bilateral AS-Indonesia di bidang militer dan pertahanan. Selain misi membangun kerjasama militer menjadi prioritas kunjungan Gates ke Indonesia, (http://www.defense.gov/news/newsarticle.aspx?id=60124). Misi menghadirkan Peace Corp di Indonesia yang diinisiasi sejak kunjungan Menlu Hillary Clinton pada Februari 2009 akhirnya mengalami kemajuan yang signifikan, di rilis Kemitraan Komprehensif AS-Indonesia disebut Gedung Putih tanggal 27 Juni 2010 menjadi bagian substansi penting termasuk kerja sama iptek dan OPIC (kerja sama pembiayaan sektor swasta), bahkan Kementerian Pertahanan AS dan Indonesia telah meneken perjanjian Penataan Kerangka Kerja untuk aktivitas-aktivitas pertahanan.
Sebelum pertemuan Komisi bersama AS-Indonesia (17/10/2010) di Washington, Duta Besar AS untuk Indonesia Cameron Hume pada hari Rabu (18/7/2010) mengatakan pertemuan diplomatik tingkat tinggi akan terjadi antara kedua pemerintah di Washington pada bulan September untuk memperluas kerjasama bilateral. Dia mengatakan pembicaraan mencerminkan peningkatan hubungan antara dua negara demokrasi terbesar di dunia. Ada enam bidang kerjasama dan bantuan yang akan dibicarakan. Kedua pemimpin akan fokus pada pertahanan, energi, perdagangan dan investasi, pendidikan, demokrasi dan isu-isu lingkungan.(http://www.voanews.com/tibetan-english/news/usa/US-Indonesia-to-Expand-Bilateral-Cooperation-99492099.html)
Dari Gedung Putih sendiri (27/6/2010) melalui kantor juru bicaranya menyatakan Kerjasama Komprehensif AS - Indonesia adalah sebuah komitmen jangka panjang dari Presiden Obama dan Presiden Yudhoyono untuk memperluas, memperdalam dan meningkatkan kerjasama bilateral antara Amerika Serikat dan Indonesia. Kerjasama ini menggaris bawahi kepentingan global dari meningkatnya kerjasama antara negara demokratis kedua dan ketiga terbesar di dunia, manfaat-manfaat besar yang dapat diperoleh dari kerjasama di bidang ekonomi dan pembangunan, serta pentingnya memupuk pertukaran dan pengertian antara kedua negara dengan penduduk yang paling beragam di dunia.
Kedua negara telah menghasilkan kemajuan yang besar sejak Kerjasama ini mulai diusahakan pada pertengahan tahun 2009. Bersama-sama, kedua negara telah meluncurkan program Peace Corps yang mendorong pengertian yang lebih besar antara penduduk Indonesia dan Amerika. Kedua pemerintah kita telah menandatangani perjanjian-perjanjian seperti kerjasama Science and Technology Cooperation dan kerjasama Overseas Private Investment Corporation, yang menekankan pada usaha untuk memperdalam kerjasama dalam sektor-sektor yang paling dinamis dalam hubungan antara kedua negara. Departemen Pertahanan AS dan Kementerian Pertahanan Indonesia juga telah menandatangani perjanjian Framework Arrangement on Cooperative Activities in the Field of Defense yang akan meningkatkan kualitas kerjasama pertahanan antara kedua negara. Baru-baru ini pada tanggal 18 Juni di Jakarta, Kepala Bank Export-Import AS (Ex-Im Bank) Fred Hochberg mengumumkan sebuah kerjasama fasilitas kredit sebesar 1 milyar dollar AS dengan 11 bank Indonesia untuk memfasilitasi perdagangan bilateral.
Melalui Gedung Putih lebih lanjut dijelaskan, adanya peningkatan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam interaksi dan konsultasi tingkat tinggi antara kedua negara untuk isu-isu bilateral, regional dan global. Pertemuan antara Presiden Yudhoyono dan Presiden Obama yang terbaru ini adalah pertemuan mereka yang kedua dalam waktu delapan bulan. Menteri Pertahanan AS, Robert Gates, juga telah bertemu dengan Menteri Pertahanan Indonesia Purnomo Yusgiantoro di Singapura pada tanggal 4 Juni lalu untuk berdiskusi tentang peningkatan kerjasama pertahanan yang telah terjalin kuat diantara kedua negara. Pada tanggal 25-26 Mei lalu, Menteri Perdagangan AS Gary Locke memimpin misi dagang tingkat kabinet AS yang pertama ke Indonesia untuk mempromosikan ekspor teknologi energi ramah lingkungan dari AS. Sebelumnya, Kepala Badan Administrasi Perlindungan Lingkungan Hidup (Environmental Protection Agency - EPA) Lisa P. Jackson meluncurkan program “Breathe Easy Jakarta” berkerjasama dengan Kantor Pemerintah Daerah Jakarta untuk menganalisa dan mengurangi sumber-sumber utama polusi udara di Jakarta. Perwakilan Sains dari Gedung Putih, Dr. Bruce Alberts di bulan Mei lalu juga mengunjungi Indonesia untuk mengusahakan kerjasama-kerjasama baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, Wakil Menteri Luar Negeri AS untuk Bidang Politik William Burns dan Wakil Menteri Luar Negeri AS untuk Demokrasi dan Masalah Global Maria Otero juga telah mengunjungi Indonesia untuk berdiskusi dengan mitra sejawat mereka tentang berbagai masalah strategis.
Kedua Menteri Luar Negeri dari AS dan Indonesia akan bersama-sama memimpin sebuah Komisi Bersama yang akan dibentuk di tahun ini untuk menjamin kemajuan dan momentum dari Kerjasama Komprehensif AS - Indonesia. Presiden dari kedua Negara tersebut kemudian akan meluncurkan (memformalisasikan) Kerjasama Komprehensif tersebut ketika Presiden Obama mengunjungi Indonesia yang direncanakan di akhir 2010. Berdasarkan hal tersebut, pada hari ini kedua Presiden sepakat untuk meluncurkan inisiatif-inisiatif penting untuk meningkatkan Pendidikan Tinggi dan untuk menghadapi Perubahan Iklim.( http://www.whitehouse.gov/the-press-office/us-indonesia-comprehensive-partnership)
Peneguhan kerjasama dan persahatan abadi AS-Indonesia
Maka pertemuan di Washington, DC pada tanggal 17 September 2010 oleh Menteri Luar Negeri AS Hillary Rodham Clinton dan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa adalah kristalisasi proyek kemitraan komprehensif ala pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono bersama Obama Presiden Amerika Serikat. Sebuah pondasi dari seluruh bentuk dan pola konstruksi hubungan bilateral AS-Indonesia pada masa-masa mendatang. Komisi Bersama adalah komponen kunci dari Presiden Obama dan komitmen Presiden Yudhoyono jangka panjang untuk memperluas, memperdalam, dan meningkatkan hubungan bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat untuk menghadapi tantangan abad ke-21. Diketuai oleh Sekretaris Clinton dan Menlu Natalegawa, kerjasama bilateral di berbagai isu dalam rangka untuk mempromosikan perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran ekonomi, bukan hanya untuk Amerika Serikat dan Indonesia, tetapi juga regional dan global.
Clinton dan Menlu Natalegawa berjanji untuk memperdalam hubungan antara kedua negara dengan menegaskan Rencana Aksi untuk Kemitraan Komprehensif AS-Indonesia yang mencakup kerjasama politik dan keamanan, kerjasama ekonomi dan pembangunan, dan kerjasama dalam sosial-budaya, ilmu pendidikan, dan hal-hal teknologi. Kedua menteri juga menegaskan bahwa hubungan AS-Indonesia adalah sebuah persahabatan abadi yang didasarkan pada nilai-nilai bersama kami termasuk demokrasi, toleransi, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keragaman, dan promosi bersama kami pembangunan ekonomi.
Mereka berjanji bahwa Amerika Serikat dan Indonesia, sebagai mitra penting, akan terlibat dekat, dan sering konsultasi pada perkembangan global dan regional.
Kedua menteri menegaskan bahwa Komisi Bersama serta Kelompok Kerja adalah untuk membantu kedua negara dalam mengatasi tantangan bersama menggunakan Rencana Aksi untuk Kemitraan Komprehensif AS-Indonesia. Ada enam pokja (kelompok kerja) yang diluncurkan dengan memprioritaskan pada beberapa isu dan aspek serta kemungkinan kelompok kerja tambahan yang sesuai.
Pertama, Kelompok Kerja Demokrasi dan Masyarakat Sipil. Dengan Sekretaris Clinton dan Menteri Luar Negeri Natalegawa yang disetujui bersama mempromosikan tata pemerintahan yang baik, meningkatkan demokrasi, dan memperkuat perlindungan hak asasi manusia melalui peningkatan dialog dan kapasitas.
Kedua; Kelompok Kerja Pendidikan, mengulangi tujuan meningkatkan jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Amerika Serikat dan meningkatkan jumlah mahasiswa Amerika yang belajar di Indonesia selama lima tahun ke depan. Mereka juga mengakui nilai meningkatkan dan memperkuat kemitraan universitas-ke-universitas, mendukung peningkatan yang disponsori pemerintah yaitu program pertukaran pendidikan, dan melibatkan sumber daya dan keahlian dari sektor swasta, yayasan dan pendidikan tinggi masyarakat.
Ketiga; Kelompok Kerja Iklim dan Lingkungan, menegaskan kembali komponen Kemitraan Komprehensif AS-Indonesia tentang perubahan iklim mengumumkan pada pertemuan G-20 di Toronto tahun ini. Menggunakan Kelompok Kerja sebagai forum untuk pertukaran praktek terbaik dan informasi mengenai perubahan iklim dan lingkungan.
Keempat; Kelompok Kerja Perdagangan dan Investasi, pada pertemuan Komisi Bersama sebelumnya, Wakil Duta Besar USTR Demetrios Marantis dan Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar bertemu di Indonesia untuk menilai kemajuan yang telah dicapai oleh kedua pemerintah dalam meningkatkan perdagangan bilateral dan hubungan investasi setelah pertemuan terakhir Lembaga Perdagangan dan Investasi (TIC) di Washington, DC, pada tanggal 13-15 Mei 2009. Mereka menegaskan kembali komitmen mereka untuk memperkuat kerjasama di bidang perdagangan dan investasi serta untuk menyelesaikan masalah yang tersisa dalam kerangka TIC / TIFA.
Kelima; Kelompok Kerja Keamanan, dari hasil pertemuan terakhir Dialog Keamanan Indonesia - Amerika Serikat (IUSSD) di Washington, DC, pada tanggal 25-26, 2010. Mereka menegaskan hubungan keamanan yang kuat kedua negara, dan berjanji untuk melanjutkan kerjasama yang erat di program yang berkaitan dengan keamanan maritim, bantuan kemanusiaan dan bantuan bencana, perdamaian, dan reformasi pertahanan dan profesionalisasi. Mereka juga melaporkan penandatanganan baru-baru ini dari Pengaturan Kerangka Kerjasama Kegiatan di Bidang Pertahanan, dan menyoroti Dialog Keamanan Indonesia-Amerika Serikat secara tahunan sebagai forum unggulan bagi kedua negara untuk membahas masalah keamanan. Delegasi Indonesia berbagi informasi tentang reformasi TNI terhadap profesionalisme, modernisasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Keenam; Kelompok Kerja Energi, tindak lanjut dari pertemuan terakhir dari Dialog Kebijakan Energi (EPD) di Washington, DC, pada 28-30 Juni, 2010. Dimana EPD adalah mekanisme utama untuk kerjasama bilateral dan diskusi kebijakan di bidang keamanan energi bersama, perdagangan energi dan investasi, serta penerapan teknologi energi yang bersih dan efisien. Pada pertemuan EPD Juni, kedua belah pihak setuju untuk mengidentifikasi area baru untuk memperluas kerjasama kegiatan bilateral . Indonesia mengusulkan berfokus pada pertukaran informasi tentang kebijakan untuk memperbaiki iklim investasi, membangun kapasitas dan mempromosikan pembangunan ekonomi berkelanjutan; partisipasi dalam gas Metan ke Pasar, dan mendorong kemitraan investasi publik-swasta di sektor energi. Kedua delegasi berjanji untuk meningkatkan komunikasi di tingkat teknis dan bekerja dan mengembangkan rencana kerja konkret.
Hillary Clinton dan Marty Natalegawa menegaskan pentingnya Komisi Bersama dalam memperkuat hubungan bilateral dan menawarkan visi kerjasama strategis untuk masa depan yang lebih baik. Kedua delegasi berharap untuk diskusi masa depan pada isu yang diangkat di Komisi melalui interaksi resmi, kerja kelompok, dan ada dialog bilateral. Kedua negara berjanji untuk mengintensifkan diskusi tentang bagaimana untuk lebih memperdalam dan memperluas kerjasama. Kedua belah pihak merencanakan untuk menyelenggarakan pertemuan berikutnya dalam Komisi Bersama di Indonesia pada tahun 2011. (http://www.america.gov/st/texttransEnglish/2010/September/20100917165033su0.1977612.html?CP.rss=true)
Jalan mulus penjajahan AS atas Indonesia
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dengan instrumen Kemenlu dan para diplomat (Dubes)-nya memikul misi kemitraan komprehensif AS-Indonesia bisa dipastikan akan berjalan mulus. Seorang Dino Pati Djalal (Dubes Indonesia untuk AS) menjadi menjadi salah satu kuncinya. Dalam laporan tahunan Kemenlu RI sendiri dengan tegas memposisikan Amerika adalah negara sahabat bahkan lebih dari sahabat. AS yang merupakan kekuatan utama dunia penting bagi Indonesia dari sudut politik, keamanan internasional dan ekonomi. Misal, di bidang kerjasama keamanan, kedua negara memanfaatkan dua forum untuk membicarakan masalah keamanan, yaitu melalui Indonesia-US Security Dialog (IUSSD) dan Bilateral Defense Dialog (BDD). Kerjasama counter-terrorism RI-AS berjalan dengan baik. Pemerintah AS terus menaruh perhatian terhadap peran Indonesia di kawasan dalam memerangi terorisme, oleh karena itu AS meningkatkan bantuan, khususnya dalam capacity building Kepolisian RI sehingga upaya membongkar jaringan teroris di Indonesia, menghukum para pelaku, dan mencegah terjadinya aksi terorisme di kemudian hari terus menunjukkan hasil. Di bidang hubungan ekonomi, AS merupakan salah satu pasar utama bagi ekspor Indonesia. Ini cermin sikap dasar polugri RI memandang dan menempatkan AS, Indonesia menjadi ruang terbuka basis dari kepentingan kapitalis Amerika.
Seorang Dino, saat berbicara di berbagai kesempatan selama dua pekan pertama keberadaannya di Washington, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Amerika Serikat itu menyatakan optimistis dapat mendorong cara pandang yang berbeda oleh pihak pemerintah dan masyarakat Indonesia dan Amerika Serikat terhadap hubungan kedua negara yang lebih setara dan menyeluruh. Dalam kerangka itu, ia mengajak semua pihak di kedua negara menjadi agen transformasi dengan mengubah “cara pandang” dan menanggalkan kaca mata masa lalu dalam menyikapi hubungan Indonesia-AS. Sulu Indonesia melihat Amerika Serikat sebagai friendly country. Sekarang kita melihat Amerika sebagai comprehensive partner, strategic partner.
Sesungguhnya “kemitraan komprehensif” yang sebelumnya dalam bentuk “kemitraan strategis” tidak lain adalah penjajahan AS di Indonesia dalam beberapa aspek utama. Sekalipun aspek lain juga tidak luput dari upaya kooptasi agar sepenuhnya bangsa Indonesia berada dalam sub-ordinat AS dengan ideologi kapitalis yang diembannya. Misalkan aspek pendidikan, aspek pertahanan dan keamanan, aspek legislasi oleh DPR bersama pemerintah, begitu juga aspek-aspek strategis lainnya, sebuah penjajahan non-fisik akan memberikan dampak berkelanjutan dari masa ke masa dan dalam rentang waktu generasi ke generasi. Sekalipun melihat fakta penjajahan tersebut membutuhkan lebih kesadaran dan kaca pembesar (lup) untuk memperjelas realitasnya. Umat Islam harus benar-benar memahami konstelasi perebutan dominasi dan kepentingan atas nilai-nilai strategis yang dimainkan negara-negara kapitalis dengan penjajahan menjadi metode dan watak dasarnya. Berikut beberapa fakta dalam bidang yang mendasar, dimana dalam kemitraan komprehensif meniscayakan menjadi pintu masuk peneguhan (establisme) penjajahan AS atas Indonesia.
Bidang Ekonomi dan Pembangunan
Prof. Mubyarto, dalam bukunya, Ekonomi Terjajah, menjelaskan bahwa setelah 60 tahun merdeka, kondisi perekonomian rakyat Indonesia tidak banyak berubah; bahkan jika dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda. Secara relatif, PDB perkapita Indonesia cenderung merosot. Pada 1820, PDB perkapita Indonesia terhadap Belanda meliputi 39 persen. Pada 1950 merosot menjadi 15 persen. Pada 1992, setelah 47 merdeka, hanya meningkat sedikit menjadi 16 persen.[i]
Fenomena penjajahan ekonomi oleh Negara AS yang diistilahkan oleh Mubyarto sebagai “The Global Empire” tersebut sesungguhnya tidak hanya menimpa Indonesia saja, melainkan melanda hampir seluruh Dunia Islam. Fenomena tersebut semakin terkuak setelah muncul buku yang ditulis oleh John Perkins yang berjudul, Confessions of an Economic Hit Man. Buku tersebut membuka rahasia Pemerintah AS yang berani membayar tinggi orang-orang seperti Perkins untuk membuat negara-negara yang kaya sumberdaya alam (SDA) untuk mendapat utang luar negeri sebayak-banyaknya sampai negara itu tidak mungkin lagi dapat membayar utangnya, kecuali dengan menguras seluruh SDA yang dimilikinya.[ii]
Indonesia adalah salah satu contoh negara yang telah sukses masuk dalam jeratan “Global Empire”-nya AS tanpa harus melalui pendudukan militer. Apa yang terjadi di Indonsia sangatlah sesuai dengan paparan Perkins di atas. Indonesia saat ini telah terjerat dalam perangkap utang yang hampir tidak mungkin untuk dibayarnya. Dalam angka utang yang berkisar 150 miliar dolar AS, Indonesia harus menyisihkan anggaran belanja pertahunnya sekitar 30-40% hanya untuk membayar pokok utang ditambah bunganya. Yang kini hutang Indonesia hampir mencapai 2000 triuliun.
Untuk membayar utang luar negeri yang jumlahnya tidak sedikit tersebut, Indonesia harus menguras cadangan devisa yang dimilikinya. Padahal untuk memperoleh devisa tersebut Indonesia harus banyak melakukan ekspor. Selama ini ekspor yang diandalkan Indonesia tidak lain adalah ekspor yang berasal dari SDA yang dimilikinya. Akibatnya, sampai saat ini telah terjadi eksploitasi SDA besar-besaran di seantero bumi zamrud katulistiwa tersebut.
Eksploitasi mineral di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1999, Indonesia dikenal sebagai penghasil timah ke-2 terbesar di dunia, pengekspor batubara thermal terbesar ke-3 di dunia, penghasil tembaga ke-3 terbesar di dunia, penghasil emas ke-5 dan nikel ke-7 di dunia.[iii] Yang menjadi pertanyaan, dari hasil eksploitasi tersebut, berapa konstribusi yang diterima Indonesia?
Jawabannya sangat mengagetkan, sesungguhnya konstribusi industri pertambangan untuk negara sangatlah rendah, yaitu hanya berkisar antara 2,54%-2,92% dari pendapatan kotor domestik (PDB). Di samping itu menurut Penelitian Price Waterhouse Coopers (PWC) tentang pembelanjaan yang dilakukan oleh 12 perusahaan pertambangan besar di Indonesia sejak tahun 1994-1998, hampir 95,3% digunakan untuk pembelian lewat impor. Artinya, uang yang ada kembali ke kantong negara asing dan tersisa hanya sebesar 4,7% yang ditinggal di dalam negeri. Selama ini negara dikecohkan oleh angka kontribusi sektor pertambangan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.[iv]
Di sisi lain, meningkatnya produksi komoditi tambang Indonesia ternyata juga diikuti dengan meningkatnya kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM di seputar lokasi pertambangan. Mulai PT Freeport (1967-sekarang), limbah tailing Freeport dari 7.275 ton/hari pada tahun 1973, saat ini meningkat menjadi 223.100 ton/hari dan mengubah 35.000 ha hutan menjadi hamparan ‘padang pasir’ tailing. Protes suku Amungme pada tahun 1977 atas penindasan yang mereka alami sejak operasi PT Freeport dibalas oleh pasukan keamanan dengan menghancurkan kebun-kebun, rumah-rumah, juga pembunuhan terhadap suku Amungme. Itu baru sebagian potret buram PT Freeport. Di Indonesia masih banyak perusahaan tambang yang beroperasi dan memiliki potret yang tak berbeda dengan Freeport. Sebut saja, PT Inco (1974-sekarang), PT Newmont Minahasa Raya (1996-sekarang), PT Newmont Nusa Tenggara (1999-sekarang), PT Indo Muro Kencana (1987-sekarang), PT Kelian Equatorial Mining, PT Unocal (1998-sekarang), PT Kideco Jaya Agung (1992-sekarang), Adaro, Arutmin, dan banyak lagi lainnya.[v]
Jika kondisi negara sudah mengalami pemiskinan, maka eksploitasi yang terjadi berikutnya adalah dalam dunia tenaga kerja. Negeri-negeri Islam saat ini merupakan negeri yang memiliki sumber daya manusia (SDM) melimpah dengan tingkat pendidikan yang masih relatif rendah. Perpaduan antara kemiskinan, melimpahnya SDM, dan tingkat pendidikan yang rendah akan menghasilkan nilai upah tenaga kerja yang sangat rendah.
Murahnya upah tenaga kerja tersebut benar-benar telah dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan asing yang dikenal sebagai perusahaan multinasional (Multi National Coorporations/MNC). Sejak dekade 1960-an, perusahaan-perusahaan tesebut mulai membanjiri negara-negara berkembang dengan dukungan modal yang besar dan teknologi yang canggih.[vi]
Dengan banyak masuknya MNC tersebut, apa yang telah didapatkan oleh negeri yang ditempati tersebut? Ternyata tidak lebih dari eksploitasi tenaga kerja murah itu sendiri. Tidak lebih dari itu. MNC tersebut tidak pernah memberikan bagian “kue” keuntungannya untuk kaum pekerja murah tersebut. Apalagi untuk kebaikan memberikan alih teknologinya. Teknologi inti yang canggih dari mereka masih tetap saja “disembunyikan” di negaranya, sedangkan alih teknologi yang mereka berikan hanyalah sekadar teknologi “kulit”-nya saja. Oleh karena itu, walaupun di Indonesia, Malaysia dan negeri Islam lainnya ada puluhan pabrik mobil dan motor, tetaplah negeri ini tidak pernah menjadi produsen, kecuali hanya untuk membuat “karoseri”-nya saja.
Di sisi lain penjajahan di Indonesia dalam bidang ekonomi dilakukan oleh kreditor internasional (IMF, Bank Dunia, ADB, dll), perusahaan multinasional, serta negara-negara maju yang bermuara pada kepentingan AS dan Sekutunya. Perubahan kebijakan publik atau Structural Adjusment Program (SAP) merupakan prasyarat bagi terlaksananya agenda neoliberal di Indonesia. Karena itu, biasanya SAP diterapkan sebagai prasyarat utang luar negeri yang dikucurkan agar mereka bisa turut menentukan dan merumuskan kebijakan di Indonesia. Misalnya, perumusan UU Migas dibiayai dan digagas oleh ADB dan UNDP. UU Ketenagalistrikan dan Sumber Daya Air dibiayai oleh Bank Dunia. Hal ini merupakan bukti penjajahan kekuatan ekonomi asing dalam perumusan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak di Indonesia.
Di bawah payung UU Migas 22/2001 yang liberal dan eksport minded, perusahaan asing (multinasional) diizinkan mengelola sektor migas, baik di hulu maupun hilir. Dengan demikian, Pertamina sebagai BUMN harus rela kehilangan dominasinya di sektor migas. Skenario restrukturisasi sektor energi di Indonesia dengan produknya UU Migas No. 22 tahun 2001, pada kenyataannya adalah sebuah cetak biru penguasaan dan pengontrolan atas sumberdaya energi bangsa ini, dengan segala dampak yang ditimbulkan baik secara langsung maupun tidak langsung, di antaranya adalah krisis kelangkaan BBM hingga kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005.
UU Migas 22/2001 adalah produk kebijakan yang lahir atas intervensi IMF/World Bank terhadap Pemerintah Indonesia sejak masa krisis moneter tahun 1997. Di belakang IMF/World Bank ini berdiri berbagai perusahaan minyak dunia yang dikenal dengan “The Five Sisters”, seperti Caltex/Chevron, Texaco Coorporation, Unocal, BP, Exxon Mobile Oil, Shell, dan lainnya.
Liberalisasi Ekonomi di Indonesia
Liberalisasi ekonomi merupakan ciri khas sistem Kapitalisme. Hanya saja bentuk dan cara liberalisasi tersebut mengalami perkembangan seiring dengan perubahan realitas sistem Kapitalisme dan tarik-menarik kepentingan negara besar khususnya Amerika Serikat.
Dalam booklet Sarana dan Cara Imperialisme Barat di Bidang Ekonomi yang dikeluarkan Hizbut Tahrir (1998), dijelaskan Amerika menyebarkan ide tentang pembangunan ekonomi dan keadilan sosial untuk menggiring negara-negara baru merdeka masuk ke dalam cengkramannya. James Petras (2004) menyebut hal itu sebagai ekpansi penjajah (imperialist expansion) dalam wujud neoliberalisme dan globalisasi.
Amerika mendorong pembangunan berbasis utang dan investasi asing di dunia ketiga. Dengan cara ini, Amerika menjebak mereka dalam perangkap utang (debt trap) sehingga mudah didikte bahkan hingga “bertekuk lutut”.
Sebelum Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Amerika telah mengincar negeri kita. Dalam bahasa David Ransom, Indonesia merupakan “œhadiah yang terkaya bagi penjajah” di dunia. Presiden AS, Richard Nixon pernah menyebut Indonesia sebagai “hadiah terbesar” di wilayah Asia Tenggara (Ransom: 2006). Sedangkan Presiden Lyndon Johnson menyatakan kekayaan alam Indonesia yang melimpah sebagai alasan Amerika mendekati dan “membantu” Indonesia (Johnson Library: 1967).
Amerika berupaya mempengaruhi sistem politik di Indonesia dan menempatkan orang-orangnya di pemerintahan. Soemitro Djojohadikusumo yang menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam pemerintahan koalisi adalah pejabat pro Amerika.
Mafia Berkeley sudah memiliki peran penting sejak awal Orba dalam meliberalisasi ekonomi Indonesia. November 1967, Mafia Berkeley mewakili pemerintah Indonesia dalam sebuah konferensi yang digagas Life Time Corporation di Genewa Swiss. Dalam konferensi tersebut, Mafia Berkeley menyetujui pengkaplingan wilayah dan sumber daya alam Indonesia untuk para korporasi raksasa dunia (Pilger: 2008).
Pada tahun 1967 pula Undang-Undang Nomor 1 tentang Penanaman Modal Asing disahkan pemerintah. Perusahaan asal Amerika, Freeport merupakan korporasi asing pertama yang memanfaatkan undang-undang tersebut.
Mafia Berkeley memformat pembangunan Indonesia bertumpu pada utang. Sementara Amerika memainkan peranan melalui IMF, Bank Dunia, ADB, dan PBB. IMF bertugas menciptakan stabilisasi ekonomi, penjadwalan utang, dan memobilisasi utang baru. Sedangkan Bank Dunia berperan dalam memandu perencanaan pembangunan dan rekonstruksi perekonomian Indonesia.
Bergesernya mazhab ekonomi negara-negara besar, dari Keynesian menjadi Neoliberal, semakin mendorong IMF dan Bank Dunia menerapkan program penyesuaian struktural dalam pinjaman yang mereka berikan kepada Indonesia. Pada tahun 1980-an Indonesia melakukan liberalisasi sektor keuangan dan perbankan secara signifikan, khususnya setelah keluar Pakto 88 melalui tangan Trio RMS (Radius-Mooy-Sumarlin).
Indonesia juga terlibat dalam liberalisasi perdagangan dan pasar bebas khususnya setelah bergabung dengan World Trade Organization (WTO), APEC, dan AFTA.
Kebijakan neoliberal di Indonesia semakin tidak terkendali dengan masuknya IMF dalam penataan ekonomi sejak akhir 1997. Melalui kontrol yang sangat ketat, IMF memaksa Indonesia menjalankan kebijakan neoliberal, termasuk menalangi utang swasta melalui BLBI dan merekapitalisasi sistem perbankan nasional yang tengah ambruk dengan biaya Rp 650 trilyun. Momen ini juga dimanfaatkan Bank Dunia, ADB, USAID, dan OECD untuk meliberalisasi ekonomi Indonesia melalui program pinjaman yang mereka berikan.
Pemerintahan neoliberal di Indonesia berlangsung menjelang akhir kekuasaan Orde Baru hingga saat ini. Sepanjang itu, pemerintahan neoliberal mengukir prestasi meningkatkan utang negara dua kali lipat dalam waktu 10 tahun dari US$ 67,3 miliar menjadi US$ 65,7 miliar untuk utang bilateral/multilateral dan Rp 972,2 trilyun dalam bentuk hutang obligasi. Karenanya, pemerintahan Soerharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY-JK menjadi bagian tidak terpisahkan dari penerapan kebijakan ekonomi neoliberal. Jadi sangat aneh klaim pasangan incumbent SBY-Boediono tidak menjalankan ekonomi neoliberal. Begitu pula sama anehnya dengan kedua pasangan calon presiden lainnya yang mengklaim bersih dari neolib, sebab mereka pernah menjadi incumbent.
Bidang Politik dan Keamanan
Penjajahan politik atas Dunia Islam, termasuk Indonesia, sulit untuk dikatakan tidak ada. Bahkan Barat menggunakan dua jenis pendekatan dalam melancarkan intervensinya itu. Sebut saja, yang pertama, adalah pendekatan hard power. Dengan pendekatan ini Barat menjadikan keunggulan teknologi militernya sebagai modal untuk menanamkan investasinya di Dunia Islam. Serangan militer AS yang singkat atas Afganistan dan Irak, misalnya, menjadi posisi tawar yang tinggi untuk menggertak negeri-negeri Islam yang “vokal” dalam mengkritisi kebijakan luar negeri AS. Pendekatan hard power inilah yang sebenarnya harus ditafsirkan oleh publik Muslim sebagai bentuk penjajahan meski pemerintahan AS mempropagandakan tindakannya tersebut sebagai war on terror, war againsts terrorism, atau pre-emptive strike (serangan mendahului). Apapun propaganda itu, semangat di balik pendekatan hard power sejatinya tetaplah penjajahan.
Pendekatan kedua, yaitu soft power, lebih ditujukan untuk mengubah persepsi Dunia Islam terhadap keyakinannya (baca: ideologi Islam). Clash of civilization yang diakibatkan oleh adanya perbedaan diametral dan asasi antara keyakinan Islam dan Barat dianggap menjadi mitos dan out of date. Apabila masih ada ulama yang menyebutkan Islam sebagai dîn wa dawlah (agama dan negara), maka ia dianggap sebagai sosok yang konservatif, puritan, dan tidak layak untuk diikuti, atau-jika menggunakan istilah propaganda hitam-sebagai pengikut Osama bin Laden yang melancarkan teror dan konflik. Pendekatan soft power tetap bermuara pada intervensi politik Barat atas persepsi Dunia Islam, dengan tujuan agar umat Islam menerima secara taken for granted (tawqîfi) apa yang dikehendaki Barat atas mereka. Dengan kalimat lain, Barat memerlukan penerimaan Dunia Islam secara utuh atas upayanya menguasai sumber-sumber ekonomi dunia dan menancapkan Kapitalisme secara kukuh.
Kasus Afganistan dan Irak sesungguhnya dapat menjadi contoh yang baik untuk melihat bagaimana Barat menjajah daerah tersebut.
Dalam konteks Indonesia, intervensi asing dalam setiap separatisme cukup terasa. Sebagai contoh, pasca penandatanganan MoU Helsinski antara Pemerintah RI dan GAM yang dianggap banyak pengamat lebih menguntungkan kelompok separatis, pihak mediator Barat mengambil kendali. Kehadiran Aceh Monitoring ini diduga merupakan kepanjangan tangan dari pihak Barat yang ingin mengambil keuntungan dari perdamaian RI dan GAM. Dalam kasus separatisme lainnya, seperti RMS, keterlibatan asing cukup terlihat; dari mulai pengadaan persenjataan yang relatif canggih yang dimiliki RMS hingga kaburnya pemimpin RMS ke Washington DC. Bahkan disinyalir, menurut laporan intelijen TNI, jumlah intelijen asing yang melakukan spionase dan terlibat langsung dalam konflik cukup banyak. Hal ini sangat memungkinkan, mengingat banyak sekali pulau-pulau kecil di gugusan kepulauan Maluku yang dapat dijadikan tempat persembunyian.
Strategi Aktif Barat dalam Intervensi
Membaca realitas penjajahan politik Barat atas Dunia Islam setidaknya kita dapat memahami bahwa Barat menjadikan beberapa isu digunakan untuk mengintervensi (baca: menjajah) Dunia Islam.
Pertama: perang melawan terorisme. Kampanye ini telah memuluskan Barat, khususnya AS, menguasai berbagai negeri Islam dengan cara merusak pranata politiknya, menggulingkan penguasanya-yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan Barat-sekaligus mengangkat penguasa boneka, serta mengklasifikasikan mana negeri yang pro terhadap Barat dan negeri yang kontra. Selain itu, derivat dari kebijakan ini telah mengubah paradigma dunia terhadap Islam dan umatnya. Islam disebut sebagai agama teror dan umatnya disebut teroris. Tidak hanya itu, kampanye ini telah merusak pula cara pandang umat Islam terhadap aktivitas jihad, seiring dengan munculnya tudingan bahwa jihad adalah terorisme. Pemahaman salah inilah yang telah mengkooptasi benak umat Islam.
Kedua: isu demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Kampanye Barat dengan menggunakan isu ini ditujukan untuk mengubah cara memahami konsep Islam. Islam yang seharusnya dipahami sebagai sebuah ideologi dan sistem hidup yang khas, dengan isu demokratisasi dan HAM, diubah menjadi sistem nilai (values) yang hanya menjadi spirit dalam aktivitas religi. Artinya, konsep Islam yang pada awalnya khas dan vis a vis dengan konsep Barat kemudian bias disesuaikan. Tentu saja penyesuaian ini memiliki maksud: membuang konsep Islam yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi dan HAM. Lalu dipromosikanlah dalam dunia Barat konsep Islam modern yang di dalamnya telah terjadi “penyesuaian” konsep Islam. Kelompok yang sejalan dengan Barat ini kemudian disebut Islam moderat, sedangkan yang berseberangan dengan kelompok ini disebut Islam garis keras. Menyikapi isu ini, Mantan Menlu Hassan Wirayuda menyebutkan bahwa Islam moderat adalah modal dasar bagi Indonesia dalam upaya memperbaiki hubungan internasional dengan negara-negara Barat.
Ketiga: politik pecah-belah dengan pendekatan stick and carrot. Isu ini digunakan untuk mem-”peta-konflik”-kan umat Islam. Terjadinya dikotomi antara Islam moderat dan Islam garis keras, betapapun sederhananya, tetap saja akan membingungkan umat Islam secara umum. Bahkan tidak hanya itu, isu ini, jika disikapi secara emosional, dapat memancing pertikaian sesama umat Islam. Betapa besar energi yang harus terkuras untuk masalah ini, padahal pada saat yang sama, Barat telah mengeksploitasi kekayaan Dunia Islam dan mencengkeramkan Kapitalismenya. Politik stick and carrot pun kemudian digunakan Barat untuk memukul kelompok Islam yang menentang agenda dan ideologinya pada satu sisi dan membiayai kelompok yang mengkampanyekan ide-ide kebebasan Barat-yang dibungkus dengan religiusitas-pada sisi lain. Konsekuensinya, jika kelompok moderat menang tentu saja penjajahan Barat atas Dunia Islam seakan-akan mendapatkan legitimasi dari kelompok Islam. Namun sebaliknya, jika kelompok moderat kalah, Barat harus berhadapan dengan umat Islam.
Bidang Sosial-Budaya, Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden tanggal 20 Januari 2005 lalu, George W. Bush berkata, “When you stand for your liberty, we will stand for you.” (Jika Anda berjuang untuk kebebasan Anda, kami akan bersama Anda).
Bush juga menegaskan, “The best hope for peace is the expansion of freedom.” (Harapan terbaik untuk perdamaian adalah melakukan ekspansi kebebasan) (Newsweek, 31/1/2005).
Pemilihan kata ekspansi kebebasan (expansion of freedom) dalam pidato Bush di atas menunjukkan adanya upaya pemaksaan nilai-nilai kebebasan ke dalam tubuh masyarakat di dunia, Terutama terhadap negeri-negeri kaum Muslim.
Ekspansi kebebasan yang diagendakan Amerika tidak lepas dari upayanya menyebarkan ideologi sekular Barat. Dengan kekuatan teknologi dan media massa yang dikuasainya, Barat berusaha menggiring opini dunia ke arah pembentukan masyarakat ideal-dalam persepsi mereka-yang memuja kebebasan tanpa ada kekangan atau batasan apapun. Inilah yang kini tengah menghantui masyarakat di negeri kita.
Kebebasan yang dikampanyekan ideologi Kapitalisme-sekular pada hakikatnya merupakan bom waktu yang akan meluluhlantakkan moral dan susila masyarakat. Niel Postman, kritikus sosial Amerika, mendeskripsikan fenomena ini sebagai berikut: “Kata-kata malu, harga diri, dan kesucian kini telah kehilangan warna dan nilainya.”
Akibatnya, masyarakat Barat, khususnya anak remaja, tanpa rasa malu mempraktekkan seks bebas dalam kesehariannya; seperti yang digambarkan dalam film remaja, American’s Pie. Karena itu, tidak aneh jika surat kabar Amerika Newsweek edisi bulan Januari tahun 1997 menulis: Lebih dari separuh anak yang dilahirkan di Swedia dimiliki oleh ayah-ibu yang tidak menikah. Di Prancis dan Inggris angka ini mencapai sepertiganya. Adapun di Amerika, tingkat kehamilan di luar pernikahan lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan yang terjadi di negara-negara Barat lainnya.
Di Indonesia, gejala kehancuran moral di tengah masyarakat kian terlihat. Pornografi berkembang biak dengan subur. Di lapak-lapak kaki lima, vcd/dvd porno dijual bebas dengan harga terjangkau. Di loper-loper koran, tabloid/majalah esek-esek pun terpajang tanpa penghalang. Di tangan para pelajar dan mahasiswa, komik cabul menjadi ‘buku pelajaran’ favoritnya. Di dunia maya, cyberporn merajalela tak terkendali. Kini, pornografi kian mendapat angin legalisasi dengan penerbitan simbol pornografi dunia, Majalah Playboy, versi Indonesia.
Melalui tayangan televisi, para pengusaha entertainment dan broadcasting menjajakan pornoaksi dengan atraktif. Masyarakat disuguhi goyangan erotis dari penyanyi dan penari latarnya yang berpakaian seksi. Liputan seputar bisnis esek-esek pun, tak ketinggalan, menghadirkan tayangan vulgar. Tak ayal, pornografi dan pornoaksi memicu perilaku seks bebas, seks menyimpang, lokalisasi prostitusi, hingga kehancuran pondasi keluarga di tengah masyarakat. Komunitas gay, lesbian, dan waria mendapat pengakuan. Hubungan seks sedarah (incest) meramaikan pemberitaan media. Bahkan petualangan seksual yang menghadirkan gaya hidup pesta seks (orgy), tinggal serumah (kumpul kebo), tukar pasangan (swinger), hingga fenomena prostitusi pelajar, gigolo, ‘om senang’ dan ‘tante girang’ menjadi tren.
Pergaulan bebas juga senantiasa dikampanyekan dalam film remaja, baik sinetron atau layar lebar, seperti kisah prostitusi terselubung yang dilakukan pelajar dalam film Virgin atau film Buruan Cium Gue yang mengajak remaja menapaki jalan menuju seks bebas. Hasilnya, survey yang dilakukan synovate menunjukkan, remaja di 4 kota besar Indonesia melakukan hubungan seks pertama kalinya di rumah. Jika 72 persen remaja pria merasa senang setelah melakukan hubungan seks, 47 persen remaja wanita menyesal. (Detik.com, 26/1/05).
Akibatnya cukup fatal. Meski bukan penyebab utama, perilaku seks bebas memberikan kontribusi terhadap mewabahnya virus HIV/AIDS di Indonesia. Hingga akhir September 2005, negeri yang berpenduduk 220 juta jiwa ini sudah memiliki 8.251 kasus HIV/AIDS, terdiri dari 4.065 kasus HIV dan 4.186 kasus AIDS. (Cybermed.cbn.com, 4/12/2005).
Kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD) akibat praktek seks bebas melahirkan penyakit sosial bernama aborsi. Menurut hasil pertemuan pakar kesehatan reproduksi tahun 2001, terdapat 3,5 juta kehamilan yang tidak diinginkan baik pasangan yang sudah menikah maupun belum. Dari jumlah itu, 60% digugurkan. (Pikiran Rakyat, 19/4/05).
Paham kebebasan juga berhasil membidani lahirnya sikap individualis yang mengarah pada gaya hidup hedonis; gaya hidup yang sering dipertontonkan oleh para selebriti. Kehidupan glamour dengan segala aksesoris kemewahan, balutan busana yang mengumbar aurat, hingga tingkah laku yang sensasional dan mengundang kontroversi, semuanya menjadi konsumsi publik. Akibatnya, tak sedikit yang meniru perilaku permissive (serba boleh) dalam meraih kesenangan dunia dengan membenarkan segala cara seperti yang dicontohkan para idola selebritinya itu.
Gaya hidup hedonis yang steril dari nilai spiritual ini mengebiri nalar pelakunya dalam menghadapi realita. Akibatnya, tak sedikit yang terjebak mengkonsumi narkoba atau minuman beralkohol sebagai pelarian dari permasalahan hidup yang dihadapinya. Penelitian yang dilakukan Asian Harm Reduction Network (AHRN) terhadap remaja pengguna narkoba di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok menemukan mereka mengkonsumsi narkoba pada umur 9 tahun. (Tempointeraktif, 16/2/05).
Dari paparan di atas, bisa dipahami bahwa paham liberalisme hanya menimbulkan kesenjangan sosial, melahirkan penyakit sosial, dan menghancurkan moral masyarakat. Atas dasar inilah, Noam Chomsky seorang cendekiawan terkenal AS, mengungkapkan prediksinya bahwa dalam waktu dekat paham liberalisme akan menemui kehancurannya, menyusul fasisme dan Komunisme.
Menuju Masyarakat Indonesia Yang Liberal
Diakui atau tidak, budaya liberal sebagai dampak dari praktek kebebasan individu semakin mengokohkan cengkeramannya dalam kehidupan keseharian kita. Fenomena-fenomena sosial yang mengarah pada pembentukan masyarakat liberal semakin mengkristal. Kondisi ini bisa dijelaskan dengan memahami dua faktor yang menjadi indikator cerminan sebuah masyarakat liberal.
Pertama: Individualisme. Menurut pandangan para liberalis, pemerintah atau lembaga manapun tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan setiap individu. Dengan kata lain, kebebasan setiap individu tidak boleh dibatasi. Adanya pengekangan kebebasan individu terkait dengan perilaku, beragama, kepemilikan, dan mengemukakan pendapat justru akan memicu konflik antara rakyat dan penguasa. Karena itu, negara wajib menjaga agar kebebasan individu tetap terjamin, bukan malah memasungnya. Dengan alasan inilah, para pekerja seni di negeri kita merasa keberatan dengan rencana pengesahan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang dinilai hanya akan memasung kebebasan berekspresi kaumnya.
Kedua: yang berkuasa di dalam masyarakat liberalis adalah sekularisme. Mereka mengasingkan agama dari kehidupan masyarakat dan membatasi kegiatan keagamaan agar tidak merambah sektor publik. Agama diprivatisasi dan aturannya direduksi sebatas pada nasihat-nasihat moral dan ritual ibadah. Ketika agama dikucilkan, masyarakat terjebak dalam arus budaya hedonis; sebuah gaya hidup yang memuja materi dan kesenangan jasmani. Setiap individu berlomba-lomba meraih kebahagiaan hidup berupa kekayaan dan popularitas. Kesenjangan sosial pun terbentuk.
Masyarakat liberal terbentuk karena didukung oleh opini media massa dan kebijakan pemerintah. Media massa sebagai jendela informasi masyarakat sangat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku dan cara berpikir masyarakat. Dengan dalih kebebasan pers, sisi edukatif yang lekat dalam media massa tergusur.
Dalam tinjauan teori sosiologi komunikasi massa, tayangan-tayangan vulgar TV yang menyajikan pornografi, pornoaksi, atau penyimpangan seksual adalah suatu “diskusi publik” agar nilai kebebasan (freedom, liberty) mengisi ruang publik (public sphere), kemudian menjadi opini umum (public opinion), dan selanjutnya berproses menjadi shared values, yaitu acuan nilai kultural yang disepakati bersama (Ashadi Siregar, “Pengantar”, Politik Editorial Media Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2003).
Pembentukan masyarakat liberal di negeri ini semakin kondusif dengan kebijakan-kebijakan Pemerintah yang pragmatis, seperti legalisasi aborsi untuk mengurangi tingginya kematian ibu hamil; program kondomisasi untuk menekan angka penularan HIV/AIDS; hingga pemberian izin yang dikantongi penerbit Majalah Playboy versi Indonesia. Bukankah kebijakan-kebijakan ini memuluskan jalan menuju perilaku seks bebas di tengah-tengah masyarakat?
AS dengan ideologi kapitalis memiliki watak imperialisme, dan watak itu juga menjadi basis konstruksi politik luar negeri Amerika terhadap negara-negara dunia ketiga dan dunia Islam khususnya.(wallahu a’lam)
0 comments:
Post a Comment