Tatkala Mesir
sudah berada dalam naungan Khilafah, kehidupan masyarakatnya berada
dalam kesejahteraan dan kemakmuran. Seluruh kebutuhan hajat hidup
masyarakatnya terjamin oleh Negara. Mesir benar-benar dalam masa
keemasannya.
Mesir menjadi salah satu negara kunci
untuk masuk dan menguasai negara-negara di kawasan Timur Tengah dan
Afrika. Ini karena negeri dengan luas wilayah sekitar 997.739 km² ini
mencakup Semenanjung Sinai (dianggap sebagai bagian dari Asia Barat
Daya). Adapun sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika Utara.
Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah
barat, Sudan di selatan, Jalur Gaza dan Israel di utara-timur.
Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara
dan Laut Merah di timur.
Di bawah Khilafah, Terusan Suez dilalui
oleh arus 5% minyak dunia dan dianggap sebagai titik sumbatan. Mesir
bisa mengenakan biaya kargo dan melakukan penyulingan minyak mentah yang
melewati pelabuhan-pelabuhannya, yang akan menghasilkan miliaran dolar
bagi negara. Mesir pada hari ini memiliki 9 kilang minyak yang
memproduksi 710.000 barel minyak mentah perhari, yang bisa meningkat
secara signifikan.
Perut bumi Mesir pun mengandung barang
tambang berupa minyak bumi, fosfat, bijih besi dan mangan. Minyak bumi
terdapat di daerah pantai timur Teluk Suez. Fosfat di daerah pantai
barat Laut Merah. Bijih besi di tambang di sebelah timur Kota Aswan.
Mangan di Semenanjung Sinai.
Kondisi geopolitik yang strategis inilah
yang menyebabkan AS, Inggris dan sekutunya berusaha sekuat tenaga untuk
mengoyak-ngoyak Mesir dan melepaskannya dari Kekhilafahan.
George Rich, saat membagi ilmunya kepada
John Perkins, menuturkan bahwa Mesir selain punya posisi strategis
untuk memainkan peran penting di dunia arab, juga mempunyai dampak
strategis di kawasan Afrika. “Negeri ini merupakan jembatan baik dari
sudut pandang geografi, sosial, ekonomi, dan etnik; dan tentu saja
agama. Pergilah ke Mesir. Gunakan negeri itu sebagai daerah transit
untuk menaklukkan Timur Tengah dan juga daerah transit untuk Afrika,”
begitu petuah George Rich kepada kader mudanya John Perkins. 1
Dari sinilah upaya aneksasi dan
imperialisasi Mesir mulai dirancang dan dicanangkan secara rapi dan
tersistem. Imperialisme mulai merambah Mesir tatkala Prancis, melalui
Napoleon Bonaparte, mulai menjejaki tanah Mesir. Prancis selanjutnya
sedikit demi sedikit berusaha menancapkan pengaruhnya di tanah tersebut.
Usaha yang terlihat nyata adalah tatkala Prancis menempatkan Muhammad
‘Ali Pasya untuk memegang tampuk pemerintahan di negeri tersebut.
Muhammad ‘Ali Pasya (1805-1917) kemudian direkayasa oleh Prancis
seolah-olah sebagai orang yang sangat berjasa bagi kemajuan Mesir. Dia
diopinikan sebagai pembaru yang membawa kemajuan Mesir dari kegelapan
yang ditimbulkan oleh Islam. Tahun 1840, Muhammad ‘Ali Pasha diasingkan
oleh Sultan Utsmani atas desakan Prancis.
Muhammad ‘Ali mempunyal andil yang
sangat besar bagi kemerosotan Islam. Dia menelorkan program ‘pencucian
otak’ dengan dalih ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat ke Dunia
Islam melalul Mesir. Untuk merealisasikan program tersebut, ia mengirim
mahasiswa Mesir untuk belajar ke Prancis. Setelah kembali ke Mesir,
tentu dengan berbagai ragam dan corak pemikirannya, mereka menjadi guru
di berbagai universitas. Yang lebih parah, para lulusan tersebut
ditempatkan terutama di Universitas al-Azhar, tempat ribuan mahasiswa
dan berbagai negara Islam menimba ilmu pengetahuan. Dengan demikian,
penyebaran ide-ide sesat dari Barat menjadi efektif dan efisien; bukan
hanya di Mesir saja, namun lebih jauh dari itu. Ide-ide sesat itu
menyebar ke berbagai negeri Islam.
Pada masa selanjutnya, Prancis mulai
meniupkan ‘gagasan-gagasan besar dan revolusioner’ kepada para pemikir
dan pemimpin umat Islam di Mesir, yaitu ide nasionalisme dan
patriotisme. Patriotisme Mesir dipelopori oleh at-Tahtawi (1801-1873)
yang berpendirian bahwa Mesir dan negara lain baru bisa maju bila berada
di bawah penguasa sendiri, bukan di bawah tangan orang asing.
Maksudnya, Mesir, yang selama ini di bawah perlindungan Kekhilafahan
slamiyah—oleh Prancis melalui kaki tangannya—harus segera melepaskan
diri agar cepat maju dan berkembang. Adapun asionalisme Mesir dipelopori
oleh Mustafa Kamil (1874) yang mendirikan Hizb al-Wathan
untuk—seolah-olah—memperjuangkan kemerdekaan Mesir dari kekuasaan
Prancis. Dari Mesir inilah lahir ide nasionalisme Arab yang dipelopori
oleh Gamal Abdul Nasser.
Imperialisme Prancis semakin tak
terbendung tatkala dia berhasil ikut campur tangan dalam pemerintahan
Mesir pada tahun 1882 walaupun secara de facto tetap tunduk
pada Kekhilafahan Utsmani hingga tahun 1914. Atas desakan dan rekayasa
Prancis, antara 1914-1922 Mesir menjadi protektorat Prancis. Mesir
mendapatkan kemerdekaan dari Prancis tahun 1922. Negara ini mengambil
bentuk pemerintahan monarki konstitusional.
Untuk semakin menancapkan pengaruhnya, Prancis melalui Napoleon menerbitkan majalah Le Courtier d’Egypte dan La Degade Egyptienne sebagai
media publikasi ide-ide mereka yang berkedok majalah yang memberitakan
perkembangan ilmu pengetahuan. Muhammad ‘Ali sendiri menerbitkan surat
kabar aI-Waqâ’i al-Misriyah (Peristiwa-peristiwa Mesir). Media
tesebut menjadi alat propaganda untuk menjelek-jelekkan Islam dan
mengagung-agungkan imperialisme Prancis.
Serentetan rezim sekular selanjutnya
silih berganti menguasai Mesir. Sesudah Muhammad ‘Ali Pasha, Mesir
diperintah oleh Abbas I (1848- 1854) dan Abbas II (1854-1863). Pemimpin
selanjutnya adalah Khedive Ismail (1863-1879). Ia memperbaiki kembali
kehidupan sosial politik di Mesir. Pada pemerintahan Ismail inilah
intervensi Inggris semakin tajam dan mengakar hingga Terusan Suez mampu
dikuasai oleh Inggris.
Penguasaan Terusan Suez berawal dari
upaya mencegah kebangkrutan Negara. Ismail menjual Terusan Suez. Karena
pembeli saham tersebut adalah Inggris (1875), sejak itu Inggris mulai
mendapatkan kesempatan untuk melakukan intervensi terhadap
masalah-masalah dalam negeri Mesir.
Uang yang diperoleh dari penjualan
saham-saham itu ternyata tidak mampu menutupi kekurangan kas negeri
Mesir. Pada tahun berikutnya (1876) Khedive Ismail menghadapi
kebangkrutan lagi. Kemudian ia mengajukan permintaan pinjaman kepada
Prancis dan Inggris. Sebagai jawaban atas permintaan tersebut,
pemerintah Inggris mengirimkan Stephen Cave untuk meneliti hal-hal yang
berhubungan dengan keuangan Mesir. Hasil laporan itu menerangkan bahwa
kemakmuran daerah itu dapat diharapkan tetapi untuk mendapatkannya
diperlukan metode-metode pengelolaan keuangan yang lebih teliti dan
rapi. Akibat penyelidikan tersebut, dibentuklah suatu panitia terdiri
atas negara-negara Eropa yang bertujuan untuk mengurusi kemakmuran
Mesir. Efeknya, seperdua penghasilan negara berada di bawah pengawasan
panitia internasional yang biasa disebut Comite pour la Caisse de la
Dette Publique (1876). Panitia ini beranggotakan Inggris, Austria,
Italia, Prancis dan Jerman.22
Ragam pembaruan diadakan baik di bidang
politik maupun keuangan. Mesir dijadikan kerajaan konstitusional dengan
seorang Inggris, Wilson, sebagai menteri keuangan, dan seorang Prancis,
de Blignieres, sebagai menteri pekerjaan umum. Dengan demikian, masalah
keuanganlah yang membuka jalan bagi masuknya imperialisme Barat ke
Mesir.
Ismail lalu digantikan oleh anaknya,
Taufiq. Pemerintahan Taufiq bisa dikatakan sangat dekat dengan Inggris.
Oleh sebab itu, terjadilah peristiwa penting, yaitu revolusi yang
dipimpin oleh Ahmad Orabi yang berkeinginan memberikan ‘tausiah’ kepada
Taufiq agar jangan menjadi kaki tangan Prancis. Karena situasi yang
terjadi pada waktu revolusi tersebut sangat tidak menguntungkan Prancis,
Inggris menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan agresi
militernya. Akhirnya, Inggris berhasil menduduki Kairo 14 Desember 1882.
Seusai Perang Dunia I, pada November
1918, di Mesir muncul pemimpin yang bernama Saad-Zaghlul. Ia berusaha
menuntut kemerdekaan dari Inggris. Lalu Inggris menangkap dan
mengasingkan dia. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat Mesir. Akibatnya,
pada 9 Maret 1919 terjadilah tuntutan besar menentang Inggris di Kairo
dan seluruh penjuru Mesir yang menyebabkan Inggris mengubah pola
politiknya dan membebaskan Saad-ZagLul. []
Catatan kaki:
1 http://www.theglobal-review.com/content_detail.php? lang=id&id=12502&type=4#.VLtTSSuUe-A
2
https://andreaslantik.wordpress.com/2013/11/02/kejatuhan-mesir-ke-dalam-pengaruh-imperialisme-inggrisperancis-hingga-kebangkitan-nasionalisme
http://hizbut-tahrir.or.id/2015/02/05/barat-berupaya-melepaskan-mesir-dari-khilafah-bagian-2/